Skip to main content

Menanti Kabar Ginandjar

Tim pengkaji menyimpulkan SP3 dicabut. KPK mestinya mengambil alih.

BEGITULAH, proses pengusutan korupsi proyek eksploitasi migas Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas di Sumatera Selatan dan Jawa Barat, pada 1992 lalu, akhirnya berkembang tak jelas. Kejaksaan Agung pun terkesan pelit membagi informasi tentang kasus ini.

Satu-satunya informasi adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membentuk tim ahli untuk mengkaji apakah kasus ini layak ditindaklanjuti atau tidak. Soalnya, Jaksa Agung terdahulu, M.A. Rachman, pada 12 Oktober 2004 telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Penyidikan kasus ini dimulai pada masa Jaksa Agung Marzuki Darusman, ketika Marzuki membentuk tim penyidik koneksitas, gabungan antara penyidik kejaksaan dan oditur militer Mabes TNI. Sejumlah bukti menunjukkan adanya penggelembungan dana dalam proyek yang dimulai pada November 1991 itu.

Kerja sama Pertamina dan PT Ustraindo dalam bentuk technical assistance contract diduga melanggar aturan main. Tidak ada studi kelayakan terhadap kualitas PT Ustraindo, tidak ada tender terbuka, dan pemilihan sumur minyak untuk dieksplorasi pun ditentukan oleh perusahaan swasta itu.

Ginandjar Kartasasmita pun sempat mendekam di sel tahanan Kejaksaan Agung, bersama bekas Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe (alm.). Marzuki Darusman memerintahkan Jaksa Fachmi menahan Ginandjar, tanpa meminta surat perintah penahanan dari Panglima TNI--seperti saran Kepala Oditur Jenderal TNI waktu itu, Subandi Parto.

Putusan Marzuki dipraperadilankan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan memutuskan penyidikan dan penahanan cacat hukum. Mestinya ada surat perintah Panglima TNI karena Ginandjar berstatus perwira TNI aktif yang dikaryakan di Departemen Pertambangan dan Energi.

Pro-kontra penyidikan kasus ini terus berlanjut hingga Abdul Rahman Saleh jadi Jaksa Agung. Pembentukan tim pengkaji yang terdiri dari Harkristuti Harkrisnowo, Sukma Violetta, Iskandar Sonhadji, Winarno Zain, Dindin S. Maolani, I Gde Made Sadguna, dan Bambang Widjojanto diharapkan memberi masukan yang lebih kritis dan independen.

Tak sampai tiga bulan, dari 13 Juli hingga 29 Agustus, tim ahli menyelesaikan kajiannya. Dua hari kemudian, tim yang diketuai Harkristuti mengirimkan hasil kajiannya kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Hendarman Supandji.

Dalam hasil kajian setebal 22 halaman itu, tim ahli menyimpulkan SP3 dicabut, dan Jaksa Agung M.A. Rachman dinilai keliru mengeluarkan SP3. Tim kemudian menyarankan Ginandjar harus diperiksa kembali.

Alasannya, tindakan Ginandjar selaku Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina, yang menyetujui technical assistance contract, merupakan perbuatan melanggar hukum. Walaupun ia mengetahui PT Ustraindo tidak layak menjadi mitra, Ginandjar tetap memberi izin perusahaan itu mengikat kerja sama dengan Pertamina. Proyek ini akhirnya macet dan berujung pada kerugian negara.

Namun, hingga pekan terakhir November, Jaksa Agung tak kunjung memberi kabar tentang hasil kajian tim ahli itu. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Masyhudi Ridwan, pun hanya bisa memberi jawaban normatif. "Masih dipelajari dan dikaji lebih dalam," katanya kepada Abdul Manan dari Tempo, Kamis pekan lalu.

Masyhudi membantah ada perintah dari atasannya untuk tidak menyentuh dulu kasus Ginandjar Kartasasmita. "Enggak ada itu, enggak benar," katanya.

Menurut Ketua Forum 2000, Romli Atmasasmita, Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya segera mengambil alih penyidikan kasus ini. "Sudah empat kali pergantian jaksa agung, belum ada yang diseret," katanya. "Padahal buktinya sudah kuat."

Rasa ingin tahu atas nasib hasil kajian timnya juga disuarakan Harkristuti. "Kami secara informal sudah nanya, tapi tidak ada jawaban," katanya. Ironisnya, tim ahli tidak punya wewenang mendorong kajian ini ditindaklanjuti. Atau sebaliknya, memprotes jika dipetieskan.

Apalagi, sebelum bekerja, mereka sudah diminta membuat surat perjanjian untuk tidak membocorkan kepada siapa pun hasil kajian itu, meski sanksi pidananya tidak ada. "Sanksinya sebatas moral," kata Harkristuti.

Namun, jika Kejaksaan Agung tak kunjung menjelaskan tindak lanjut kajian tim ahli hingga akhir tahun ini, Harkristuti berjanji akan mempertanyakannya secara resmi kepada Jaksa Agung. "Saya akan tanya bagaimana sebenarnya hasil kerja kami," ujarnya.

Maria Hasugian

TEMPO Edisi 051204-040/Hal. 116 Rubrik Hukum

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236