Skip to main content

Ketua Komisi Yudisial: "Kami Memulai dengan Komitmen Moral"

SUDAH sekitar 200 pengaduan masuk ke Komisi Yudisial sejak lembaga ini berdiri pada Agustus lalu. Pengaduan terbanyak perihal perilaku hakim. Namun, tanpa otoritas kelembagaan, institusi ini tak bisa berbuat banyak. "Salah satu agenda utama yang disiapkan komisi ini adalah mengamendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial," kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas kepada wartawan Tempo L.R. Baskoro, Abdul Manan, dan L.N. Idayanie yang menemuinya sebelum Lebaran di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Yogyakarta, 17 Juli 1952.

Apa pentingnya amendemen itu bagi komisi yang Anda pimpin?

Pertama, supaya Komisi Yudisial lebih bergigi atau lebih memiliki otoritas kelembagaan sesuai dengan filosofi dibentuknya undang-undang ini. Kedua, untuk meringankan beban Mahkamah Agung. Supaya pimpinan MA lebih fokus pada peran manajemen kontrol dan memikirkan upaya mendongkrak profesionalitas dan moralitas hakim. Itu kan butuh pikiran besar dan waktu memadai. Ketiga, justru untuk membebaskan MA dari konflik-konflik interest, karena yang mau diberi sanksi kan satu korps, pegawai negeri sipil lagi, kecuali hakim nonkarier.

Ini program prioritas?

Ini salah satu agenda utama. Agenda utama lainnya adalah membangun sistem IT (teknologi informasi) untuk membackup database hakim.

Untuk apa database tersebut?

Tugas Komisi Yudisial kan melakukan seleksi calon hakim agung untuk diusulkan ke DPR. Kami memahami bahwa seleksi hakim agung ini baru pertama kali dilakukan instansi di luar MA, yaitu oleh Komisi Yudisial. Karena ini awal, kami tak boleh main-main, dalam arti berpikir simplistis itu kami hindari. Supaya tak simplistis, harus ada satu konsep dan paradigma yang jelas. Konsep jelas itu, salah satunya, memerlukan data track record hakim. Saya pernah bertanya kepada Wakil Ketua MA Mariana Sutadi tentang soal ini. Katanya, yang ada baru track record hakim yang bermasalah. Sedangkan kami butuh yang bermasalah maupun yang bagus. Kami berpikir positif bahwa dari 6.000-an hakim se-Indonesia, sebagian besar masih clean. Dan kami punya kewajiban untuk menggandeng mereka melalui tawaran program yang sudah kami putuskan itu. Melalui database itu, seleksi hakim agung betul-betul didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.

Selama ini anggaran untuk kesejahteraan hakim sering dikeluhkan MA. Komisi Yudisial juga memperhatikan hal ini?

Begini, untuk meningkatkan moralitas, spiritualitas, dan profesionalisme hakim itu butuh anggaran besar. Karena itu, salah satu agenda kami adalah membackup MA dari sudut anggaran. Selain dari anggaran negara, kami juga harus berpikir zigzag untuk mencari funding lain, tentu, sepanjang tidak mengikat. Kami paham situasi anggaran negara. Di samping prosedurnya lama, negara ini kan sedang terkapar dari segi kemampuan ekonomi.

Apa lagi yang disiapkan Komisi Yudisial untuk memperbaiki kinerja hakim?

Dalam teori hukum dikatakan, putusan hakim itu harus ada sumber-sumber hukumnya. Urutan sumber hukum itu adalah fakta yang jadi sengketa atau perkara. Kedua, peraturan perundangan. Ketiga, yurisprudensi. Keempat, doktrin hukum. Kelima, hukum tidak tertulis. Putusan hakim yang ideal memenuhi lima unsur itu. Nah, ada putusan hakim tingkat peninjauan kembali yang tidak ada pertimbangan hukumnya. Di pengadilan tinggi ada juga yang sekadar menguatkan putusan tingkat pertama dan tidak ada pertimbangan hukumnya. Kita akan buat softwarenya. Nantinya putusan hakim itu akan kita muat biar orang bisa melihat kualitas putusan hakim itu secara akademis.

Bagaimana posisi Komisi Yudisial di luar negeri?

Macam-macam. Di Eropa, ada yang ikut menerapkan sanksi, ada juga yang ikut ngurusi pendidikan hakim. Di beberapa negara, anggaran hakim juga di tangan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial di beberapa negara Eropa mengurusi soal kesejahteraan juga.

Bagaimana dengan kode etik hakim di luar negeri?

Hakim tak boleh menerima orang beperkara, itu salah satu aturan umum. Ada cerita menarik dari seorang hakim di Belanda. Suatu ketika dia bertemu temannya di sebuah restoran dan kemudian makan bersama. Pagi harinya, di kantor dia bertemu temannya itu. Dia bertanya ada apa dan dijawab "Saya menghadiri sidang yang perkaranya ditangani Bapak." Hakim itu lalu bilang kepada temannya sesama hakim, "Saya ketemu orang ini dan diajak makan bareng. Ternyata orang ini punya perkara. Bagaimana, ya?" Cerita itu mengisyaratkan bahwa prinsip kehati-hatian itu sudah universal. Analog dengan itu, maka janganlah hakim main golf atau tenis bersama pengacara.

Kami sendiri memulai membuat komitmen moral sebelum mengucapkan sumpah, di antaranya tidak akan membawa urusan keluarga. Kalau, misalnya, ada program studi banding ke suatu tempat, tentu saya tidak akan bawa istri dengan anggaran negara. Kalau mantu, tak mengundang para hakim, kecuali hakim itu famili dekat ya.

Itu komitmen di antara anggota Komisi Yudisial?

Iya. Saya juga salut dengan Hakim Agung Ahmad Kamil. Waktu mantu, tidak ada pengacara yang diundang. Nah, makanya saya katakan, hakim agung yang bersih di MA itu masih banyak.

Akibat kasus Harini Wiyoso, kini ada suara yang meminta bekas hakim dilarang menjadi pengacara. Bagaimana menurut Anda?

Kalau itu melanggar HAM. Cuma, asosiasi advokat perlu berpikir selektif. Kalau ada mantan hakim, mantan jaksa, ikut tes pengacara, dipelajari betul dan dicek. Kalau sekali pernah main mafia, ya jangan diluluskan.

TEMPO Edisi 051113-037/Hal. 98 Rubrik Hukum

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236