Di Balik Surat Gubernur
Pihak TEMPO menemukan kejanggalan dalam proses penyitaan surat Gubernur Sutiyoso yang dijadikan alat bukti.
SEBUAH alat bukti bisa membuat perkara semakin gamblang, tapi juga bisa sebaliknya, membuat kabur, bahkan mencurigakan. Tak percaya? Intip saja persidangan kasus Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, Bambang Harymurti, dan dua awak redaksi majalah ini, Iskandar Ali dan Ahmad Taufik, yang digelar di Pengadilan Jakarta Pusat. Mereka didakwa menyiarkan berita bohong lewat tulisan Ada Tomy di Tenabang?, yang dimuat di majalah ini awal Maret silam.
Buat membuktikan hal itu, pihak pengadu, Tomy Winata (bos PT Artha Graha), telah menyodorkan bukti surat Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ke polisi. Anehnya, ada kejanggalan pada tanggal yang tercantum dalam surat Gubernur dan tanggal penyataan alat bukti ini. Dari situ terungkap jelas: penyitaan alat bukti diduga terjadi sebelum surat Gubernur (alat bukti itu sendiri) dikeluarkan. Kok bisa?
Itu sebabnya, Rabu pekan lalu, Bambang Harymurti didampingi pengacaranya melaporkan dugaan pemalsuan surat atau rekayasa itu ke Markas Besar Kepolisian RI. "Karena prosesnya terbalik-balik, surat itu sangat layak diduga palsu atau dipalsukan," ujar Trimoelja D. Soerjadi, salah satu pengacara TEMPO.
Diakui oleh penasihat hukum Tomy Winata, Desmon J. Mahesa, pihaknya menyodorkan alat bukti berupa surat Gubernur kepada Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini. Maksudnya, ingin memperjelas karena dalam artikel yang menjadi biang perkara itu disebutkan, ada proposal Tomy dalam proyek renovasi Pasar Tanah Abang. "Soalnya, pihak TEMPO selalu mengatakan proposal itu ada," kata Desmon.
Surat tertanggal 13 Maret 2003 itu diteken sendiri oleh Gubernur Sutiyoso dan ditujukan kepada Desmon, selaku kuasa hukum Tomy Winata. Isinya menyatakan bahwa Gubernur tidak pernah menerima permohonan proposal renovasi Pasar Tanah Abang dari pihak mana pun, khususnya Tomy Winata. Surat ini untuk menjawab surat Desmon kepada Gubernur dengan tanggal yang sama.
Kesamaan tanggal itu, bagi pihak TEMPO, merupakan keanehan karena adat birokrasi kita yang amat lamban. "Jawaban Gubernur yang kurang dari 12 jam ini sungguh sangat luar biasa! " tutur Firman Wijaya, salah satu pengacara TEMPO.
Desmon tak mengelak ihwal jawaban Gubernur yang cepat. Katanya kepada TEMPO, ia memberikan surat itu pada pagi hari langsung kepada Sutiyoso, lalu sorenya surat jawaban dari Gubernur sudah keluar. Reaksi Sutiyoso? Dia malah bangga karena telah menjawab surat Desmon dengan cepat. "Wah, itu berarti staf saya mengalami kemajuan, dong," ujarnya.
Hanya Firman Wijaya juga menemukan kejanggalan lain dalam surat perintah penyitaan surat Gubernur yang dilampirkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kliennya. Surat perintah yang diteken Ajun Komisaris Besar M. Tito Karnavian tersebut tertanggal 12 Maret 2003. Anehnya, penyitaan sudah dilakukan oleh anak buahnya, Ajun Komisaris Polisi Ponadi, sehari sebelumnya. Ini tampak dari berita acara penyitaan yang diteken pada 13.00 WIB, tanggal 11 Maret 2003, oleh Ponadi, Tomy Winata, dan dua orang saksi.
Proses penyitaan itu semakin ganjil karena alat bukti yang disita, surat Gubernur itu, baru diteken oleh Sutiyoso pada 13 Maret 2003. Jadi, menurut Trimoelja, ketika penyitaan dilakukan, surat Gubernur Sutiyoso diduga belum ada. Ia menyatakan kekacauan tanggal ini bukan sekadar keteledoran, karena tanggal dalam berita acara penyitaan ditulis dengan kata-kata, selain angka.
Trimoelja yakin telah terjadi manipulasi surat. Dari beberapa surat itu setidaknya ada yang dipalsukan tanggalnya. Bagi Trimoelja, hal ini juga membuktikan kedekatan Tomy Winata dengan petinggi kepolisian dan birokrat.
Namun Kapolda Metro Jaya, Irjen Makbul Padmanagara, menampik semua tudingan tersebut. Ia menyatakan, "Itu hanya kesalahan administrasi dalam penanggalan berita acara penyitaan surat."
Meski begitu, pihak TEMPO tetap menduga ada pemalsuan atau rekayasa dalam penyitaan surat Gubernur itu. "Karena itu, dakwaan terhadap ketiga klien kami pun cacat dan semestinya batal demi hukum," ujar Trimoelja.
Pernyataan itu juga disampaikan dalam eksepsi pekan lalu. Dan kini giliran nurani hakim yang bicara.
Endri Kurniawati, Abdul Manan, Istiqomatul Hayati, Multazam (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 031012-032/Hal. 52 Rubrik Hukum
SEBUAH alat bukti bisa membuat perkara semakin gamblang, tapi juga bisa sebaliknya, membuat kabur, bahkan mencurigakan. Tak percaya? Intip saja persidangan kasus Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, Bambang Harymurti, dan dua awak redaksi majalah ini, Iskandar Ali dan Ahmad Taufik, yang digelar di Pengadilan Jakarta Pusat. Mereka didakwa menyiarkan berita bohong lewat tulisan Ada Tomy di Tenabang?, yang dimuat di majalah ini awal Maret silam.
Buat membuktikan hal itu, pihak pengadu, Tomy Winata (bos PT Artha Graha), telah menyodorkan bukti surat Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ke polisi. Anehnya, ada kejanggalan pada tanggal yang tercantum dalam surat Gubernur dan tanggal penyataan alat bukti ini. Dari situ terungkap jelas: penyitaan alat bukti diduga terjadi sebelum surat Gubernur (alat bukti itu sendiri) dikeluarkan. Kok bisa?
Itu sebabnya, Rabu pekan lalu, Bambang Harymurti didampingi pengacaranya melaporkan dugaan pemalsuan surat atau rekayasa itu ke Markas Besar Kepolisian RI. "Karena prosesnya terbalik-balik, surat itu sangat layak diduga palsu atau dipalsukan," ujar Trimoelja D. Soerjadi, salah satu pengacara TEMPO.
Diakui oleh penasihat hukum Tomy Winata, Desmon J. Mahesa, pihaknya menyodorkan alat bukti berupa surat Gubernur kepada Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini. Maksudnya, ingin memperjelas karena dalam artikel yang menjadi biang perkara itu disebutkan, ada proposal Tomy dalam proyek renovasi Pasar Tanah Abang. "Soalnya, pihak TEMPO selalu mengatakan proposal itu ada," kata Desmon.
Surat tertanggal 13 Maret 2003 itu diteken sendiri oleh Gubernur Sutiyoso dan ditujukan kepada Desmon, selaku kuasa hukum Tomy Winata. Isinya menyatakan bahwa Gubernur tidak pernah menerima permohonan proposal renovasi Pasar Tanah Abang dari pihak mana pun, khususnya Tomy Winata. Surat ini untuk menjawab surat Desmon kepada Gubernur dengan tanggal yang sama.
Kesamaan tanggal itu, bagi pihak TEMPO, merupakan keanehan karena adat birokrasi kita yang amat lamban. "Jawaban Gubernur yang kurang dari 12 jam ini sungguh sangat luar biasa! " tutur Firman Wijaya, salah satu pengacara TEMPO.
Desmon tak mengelak ihwal jawaban Gubernur yang cepat. Katanya kepada TEMPO, ia memberikan surat itu pada pagi hari langsung kepada Sutiyoso, lalu sorenya surat jawaban dari Gubernur sudah keluar. Reaksi Sutiyoso? Dia malah bangga karena telah menjawab surat Desmon dengan cepat. "Wah, itu berarti staf saya mengalami kemajuan, dong," ujarnya.
Hanya Firman Wijaya juga menemukan kejanggalan lain dalam surat perintah penyitaan surat Gubernur yang dilampirkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kliennya. Surat perintah yang diteken Ajun Komisaris Besar M. Tito Karnavian tersebut tertanggal 12 Maret 2003. Anehnya, penyitaan sudah dilakukan oleh anak buahnya, Ajun Komisaris Polisi Ponadi, sehari sebelumnya. Ini tampak dari berita acara penyitaan yang diteken pada 13.00 WIB, tanggal 11 Maret 2003, oleh Ponadi, Tomy Winata, dan dua orang saksi.
Proses penyitaan itu semakin ganjil karena alat bukti yang disita, surat Gubernur itu, baru diteken oleh Sutiyoso pada 13 Maret 2003. Jadi, menurut Trimoelja, ketika penyitaan dilakukan, surat Gubernur Sutiyoso diduga belum ada. Ia menyatakan kekacauan tanggal ini bukan sekadar keteledoran, karena tanggal dalam berita acara penyitaan ditulis dengan kata-kata, selain angka.
Trimoelja yakin telah terjadi manipulasi surat. Dari beberapa surat itu setidaknya ada yang dipalsukan tanggalnya. Bagi Trimoelja, hal ini juga membuktikan kedekatan Tomy Winata dengan petinggi kepolisian dan birokrat.
Namun Kapolda Metro Jaya, Irjen Makbul Padmanagara, menampik semua tudingan tersebut. Ia menyatakan, "Itu hanya kesalahan administrasi dalam penanggalan berita acara penyitaan surat."
Meski begitu, pihak TEMPO tetap menduga ada pemalsuan atau rekayasa dalam penyitaan surat Gubernur itu. "Karena itu, dakwaan terhadap ketiga klien kami pun cacat dan semestinya batal demi hukum," ujar Trimoelja.
Pernyataan itu juga disampaikan dalam eksepsi pekan lalu. Dan kini giliran nurani hakim yang bicara.
Endri Kurniawati, Abdul Manan, Istiqomatul Hayati, Multazam (Tempo News Room)
TEMPO Edisi 031012-032/Hal. 52 Rubrik Hukum
Comments