Skip to main content

DPR Menolak, Siapa Peduli

Tiga pos duta besar masih kosong. Pertimbangan DPR tidak mengikat?

SEDIANYA, Kamis pekan lalu, sejumlah duta besar dilantik Presiden Megawati. Tapi pelantikan itu tertunda karena Presiden berhalangan. Dari info yang masuk, ada yang menarik: tiga pos dubes ternyata masih kosong. Termasuk pos Australia yang selalu menjadi pos prestisius, mengingat "pasang surut" hubungan Jakarta dengan Negeri Kanguru itu.

Pos itu sedianya ditempati Susanto Pudjomartono, bekas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post dan mantan redaktur pelaksana Majalah TEMPO. Akhir Februari lalu Susanto telah mengikuti rapat dengar pendapat umum (clarification hearing) dengan Komisi Hubungan Luar Negeri DPR. Wartawan dengan jam terbang 37 tahun itu sebelumnya telah mengikuti "pendidikan" sebagai calon duta besar di Departemen Luar Negeri.

Bukan Susanto seorang yang tidak masuk daftar. Ada dua pos duta besar lain yang sampai sekarang belum jelas kapan akan diisi, yaitu Swedia dan Rusia. Departemen Luar Negeri juga belum memberikan kepastian tentang pos di Australia, Swedia, dan Rusia itu. "Prosesnya belum selesai," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa.

Agaknya kekosongan tiga pos ini ada kaitannya dengan ketidaksetujuan DPR. Komisi Hubungan Luar Negeri DPR memberikan pertimbangan agar Susanto tidak ditempatkan di Australia. Hasil rapat komisi itu disampaikan ke pimpinan DPR dan diteruskan ke Presiden Megawati. Apa keberatan DPR?

Permadi, anggota Komisi I dari PDI Perjuangan, menjelaskan bahwa Komisi tidak menolak Susanto menjadi duta besar, tapi menolak penempatan Susanto di Australia. Kenapa? "Australia itu kami nilai penting, selain sikapnya yang agak memusuhi Indonesia," katanya. Ia menambahkan bahwa untuk Australia perlu seorang duta besar yang sangat berpengalaman. Menurut Permadi, Susanto diusulkan Komisi I untuk ditempatkan di Rusia.

Alasan pengalaman itu juga yang dikemukakan DPR untuk pos duta besar di Swedia, yang sedianya ditempati Perwitorini, Direktur Politik di Direktorat Jenderal Multilateral, Politik, Sosial, dan Keamanan Departemen Luar Negeri. Komisi I menganggap, untuk negara yang menjadi "sarang" pucuk pimpinan Gerakan Aceh Merdeka itu, perlu ada duta besar dengan keahlian khusus. Yaitu, "Orang yang berpengalaman menangani masalah yang berhubungan dengan GAM," kata Permadi.

Adapun pos Rusia semula akan diisi Imron Cotan, kini kuasa usaha ad interim Kedutaan Besar RI di Australia. Namun, menurut Djoko, Komisi I mengusulkan Imron naik pangkat sebagai Duta Besar RI untuk Australia. "Penampilannya hebat, mantap, dan mampu meyakinkan orang Australia. Kenapa tidak Imron saja yang jadi duta besar di sana, biar tidak pindah-pindah," kata Djoko Susilo anggota Komisi I yang ikut melakukan uji visi dan misi calon duta besar. Ini pula yang membuat pos Rusia pun ikut-ikutan belum terisi.

Usul Komisi I ini terkesan tidak konsisten, karena sebelumnya pernah menolak pencalonan seorang duta besar berusia 50 tahun dengan alasan "terlalu muda". Imron Cotan saat ini berusia 48 tahun.

Terlepas dari soal mutu dan konsistensinya, pertimbangan DPR memang disyaratkan dalam Amendemen I UUD 45 pada tahun 2001. Presiden atas pertimbangan DPR menempatkan duta besar di negara sahabat. Soal mengikat atau tidaknya pertimbangan itu sempat mengundang perdebatan di Senayan, termasuk penempatan angkatan duta besar yang dilantik pada Kamis pekan lalu. Menurut Burhan D. Magenda, anggota Komisi I dari Fraksi Golkar, ada anggota DPR yang tetap menginginkan agar penempatannya sesuai dengan usul pemerintah. Ada yang berkeras mengubah penempatan pemerintah. Akhirnya, setelah diskusi, 30 anggota Komisi I setuju mengajukan "catatan" untuk tiga pos tadi.

Bukankah Amendemen UUD 1945 Pasal 13 ayat 1 mengatakan bahwa DPR hanya memberikan pertimbangan? "Itu bahasa halusnya. Pertimbangan DPR itu mengikat, tidak sembarangan," kata Djoko. Menurut Burhan, tidak jelasnya pasal ini pula yang menjadi akar persoalan penempatan duta besar ini.

Sebelum kasus ini, pemerintah pernah menolak pertimbangan DPR. Itu terjadi pada Februari lalu, ketika Presiden melantik Moh. Irsan sebagai duta besar untuk Jepang, Amin Rianom untuk Turki merangkap Azerbaijan, dan Hardikun Supandar untuk Aljazair. Padahal DPR meragukan kemampuan diplomasi ketiganya. "Anggota Komisi menganggap itu fait accompli," kata Ibrahim Ambong, Ketua Komisi I saat itu. Djoko Susilo berharap pemerintah tidak mengulanginya. "Kalau Mega terus, harus menanggung konsekuensinya," ujar Djoko dengan nada menggertak.

Susanto Pudjomartono sendiri memilih tak banyak komentar. "Silakan tanya Departemen Luar Negeri saja soal ini," kata mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post itu. Departemen yang ditunjuk Susanto itu pun belum punya jawaban pasti. Namun, menurut sebuah sumber yang dekat dengan Presiden Mega, Susanto dipastikan akan tetap mengikuti jejak Sabam Siagian, bekas Pemimpin Redaºksi The Jakarta Post, yang juga pernah berkantor di Darwin Avenue 8, Canberra--kantor Kedutaan RI di Australia. "Ibu kenal dan percaya pada Mas Santo, dan pos Canberra sudah 18 bulan kosong," katanya.

DPR boleh menolak, tapi Presiden jua yang menentukan.

Abdul Manan

TEMPO Edisi 030727-021/Hal. 41 Rubrik Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236