'Memenangi' Aceh Lewat Wartawan
TNI melatih wartawan bertahan di daerah konflik. GAM tetap membuka diri terhadap pers. "Menembak" diganti "meliput".
TENTARA Indonesia dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka saling gempur, tapi keduanya tampak "sepakat" akan satu hal: merebut simpati wartawan. Kedua pihak boleh saling menyalakkan senjata dengan tampang dan hati berkobar, tapi kepada wartawan mereka akan tetap bertutur dengan wajah tersenyum.
Di palagan pertempuran Aceh, sejauh ini para wartawan tak mengalami kesulitan mewawancarai tentara Indonesia. Mereka juga leluasa menghubungi Teungku Sofyan Daud lewat telepon seluler atau telepon satelitnya, di mana pun juru bicara GAM itu berada. TNI dan GAM rupanya tahu benar, perang di Aceh tidak sekadar upaya menghabisi lawan, tapi juga merebut hati dunia--lewat jembatan media massa.
Jauh-jauh hari, menjelang operasi keamanan di Aceh, TNI bahkan mengundang para wartawan ke Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat. Di sana, di daerah latihan Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, 54 wartawan dari media cetak, radio, televisi, dan Internet mengikuti pelatihan bergaya militer.
Mereka berkumpul dengan seragam loreng di Markas Besar TNI Cilangkap, lalu ke Sanggabuana--berjarak dua jam perjalanan--dengan tiga truk militer. Seperti laiknya tentara, para wartawan ini tinggal di barak-barak. Pelatihan Prosedur Kedaruratan, program pembekalan bagi wartawan yang hendak meliput ke Aceh, ini berlangsung tiga hari, 11-14 Mei. Para pelatih berasal dari Kostrad, di bawah pimpinan Kolonel Bahram.
"Sanggabuana dipilih karena alamnya tak jauh beda dengan situasi di Aceh," kata Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Tono Suratman. Boleh jadi, pelatihan di Sanggabuana ini diilhami program penyertaan wartawan (embedded journalist) yang dilakukan militer Amerika Serikat terhadap para peliput Perang Teluk II yang ikut dalam pasukannya. "Ini pelatihan (militer) pertama kepada wartawan sejak Indonesia merdeka," kata Tono.
Di sana mereka dikenalkan dengan keterampilan menyelamatkan diri saat meliput di daerah konflik, termasuk ketika terjebak di tengah kontak senjata atau tersesat di belantara. Seperti dialami wartawan TEMPO Abdul Manan, yang ikut pelatihan itu, gojlokan ala militer benar-benar melelahkan. Sebelum tiba di Sanggabuana, mereka harus mendaki 225 anak tangga, dan sudah harus dihukum berjalan jongkok hanya gara-gara tak kompak menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung....
"Mulai detik ini Anda wajib mematuhi hukum militer, di antaranya disiplin. Karena itu, setiap pelanggaran ada sanksinya," kata Letkol D.J. Nachrowi, Kepala Bidang Penerangan Umum TNI, mengingatkan peserta. Di hari pertama, para wartawan, yang dibagi dalam dua peleton dan enam regu, baru dikenalkan dengan aturan-aturan militer, baris berbaris dan penghormatan, serta apel tiga kali dalam sehari. Juga ada kejutan ketika mereka dibangunkan dengan letusan senjata disertai gedoran pintu dan teriakan pelatih pada tengah malam di saat mereka lelap tertidur. Di malam buta itu mereka sigap berbusana militer, berbaris di lapangan terbuka, lalu dibubarkan.
Esoknya, para wartawan dikenalkan dengan rupa-rupa senjata yang lazim digunakan TNI dan GAM, seperti jenis AK-47, SS-1, AK SN, M-16, AR Galil, dan Micro Galil. Senjata standar TNI adalah SS-1 berjarak tembak 600 meter buatan PT Pindad, Bandung. Sedangkan senjata standar GAM adalah AK-47 dengan jarak tembak 700 meter bikinan Rusia. Ada juga M-16 buatan Amerika Serikat, AR Galil dan Micro Galil, dua jenis senjata produksi Israel, serta senjata AK SN buatan Bulgaria.
Setelah mengenal senjata, mereka diajari cara mengenakan rompi antipeluru. Pada umumnya rompi antipeluru hanya mempan tembakan di atas jarak 35 meter. "Kurang dari itu, tak ada gunanya," kata seorang pelatih. Mengenakan rompi merupakan beban tersendiri bagi wartawan. Di Aceh, GAM menggunakan senjata jenis AK-47 dengan kaliber 7,65 milimeter. Rompi yang tahan terhadap tembakan senjata jenis ini beratnya 18 kilogram. Lempeng baja di baliknya jauh lebih tebal dari rompi biasa, yang beratnya 15 kilogram.
Selain dengan rompi, para wartawan bisa berlindung pada aneka jenis bahan seperti tong berisi air, tong berisi pasir, tumpukan karung pasir, dan kayu berdiameter minimal 60 sentimeter. Mereka yang tersesat di hutan harus pula mengingat-ingat kiat hidup bertahan lama dengan bekal tipis. Pelatih menunjukkan aneka jenis dedaunan, buah, umbi-umbian, serta binatang yang bisa dimakan. Sebagai contoh, para wartawan disuguhi daging ular dan biawak dengan bumbu kecap.
Materi inti pelatihan ini merupakan simulasi pertempuran dan pengamanan terhadap wartawan di daerah konflik. Misalnya, apa yang harus dilakukan wartawan ketika pos TNI diserang oleh GAM dan ia berada di situ. Ada teknik 5M begitu mendengar tembakan: menghilang, mengguling, merayap, membidik, dan menembak. Karena mereka wartawan, M yang terakhir diganti dengan "meliput". Mereka lalu diajarkan melakukan pertolongan darurat terhadap korban luka pada kontak senjata.
Di malam hari para wartawan ikut jurit malam, yang dalam tradisi militer merupakan ajang uji nyali. Satu per satu mereka diminta jalan sendirian ke hutan dan perbukitan yang gelap pada jarak 1,5 kilometer. Sepanjang jalan mereka melintasi kuburan, juga boneka pocong. Seorang wartawan sampai-sampai menyembah nisan dan berteriak ngeri tatkala bertemu pocong.
Pelatihan di Sanggabuana ini memang bermanfaat besar bagi para wartawan. Tapi, sebagaimana suara yang mengecam keikutsertaan wartawan Amerika dengan tentara di medan perang Irak, ikut sertanya wartawan Indonesia dalam pelatihan ini juga dipertanyakan pelbagai kalangan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Tidak ada masalah soal pelatihan itu. Tapi, dalam liputan di Aceh, wartawan jangan diwajibkan memakai pakaian loreng, juga atribut militer lain termasuk senjata," kata Rommy Fibri, Ketua AJI Jakarta.
Menurut Ira Koesno, wartawan SCTV yang ikut pelatihan, bila wartawan juga memakai seragam TNI, mereka bisa menjadi sah untuk ditembak. Tapi Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin bilang, TNI tidak akan mewajibkan para wartawan memakai seragam TNI saat meliput ke Aceh. Sjafrie juga mempersilakan wartawan menulis apa saja. TNI tidak akan mencampuri urusan dapur media untuk menulis atau tidak menulis berita.
Belakangan, Sjafrie seperti hendak "meluruskan" pernyataan tersebut. Menanggapi pemberitaan media massa menyangkut perang di Aceh, ia menyatakan Mabes TNI memperhatikan secara serius pemberitaan mengenai kejadian di lapangan operasi militer di Aceh. "Bila ada pemberitaan yang tidak benar, TNI akan menempuh proses hukum terhadap media massa tersebut," kata Sjafrie.
GAM sendiri, di tengah keterbatasannya, juga tetap beramah-ramah terhadap wartawan. Teungku Sofyan Daud, misalnya, tak pernah menutup akses bagi pers. Lewat dua telepon bergerak--telepon genggam dan satelit--yang selalu ditentengnya selama bergerilya, pers mudah melakukan konfirmasi. Sejumlah wartawan dan fotografer bahkan ikut bergerilya dengan pasukan GAM selama operasi militer di Aceh berlangsung.
Jauh sebelumnya, GAM tetap berusaha mendekatkan diri kepada wartawan. Lembar-lembar faksimile berlabel "Acheh-Sumatra National Liberation Front, Teuntara Neugara Atjeh" (TNA), yang berisi pernyataan-pernyataan pers GAM, setiap saat dikirim ke semua media. Pada 8 Mei, mendahului penetapan status darurat militer oleh pemerintah Indonesia, GAM mengumumkan status Aceh di ambang Perang Kolonial II (Perang Kolonial I adalah pada 1873).
Melalui Sofyan Daud, GAM mengeluarkan seruan mogok kepada seluruh instansi di Aceh, kecuali rumah sakit, Palang Merah, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan air minum dan listrik, serta media massa, termasuk kendaraan wartawan dan pengangkut koran. Kendati begitu, perlindungan TNI dan GAM terhadap wartawan juga dimanfaatkan oleh oknum yang hendak menuai rasa aman di Aceh.
Pekan lalu, para wartawan yang meliput di Lhokseumawe, Aceh, menyaksikan sebuah mobil bertanda pers tapi berisi orang berseragam loreng dan membawa senapan. Tulisan "pers" pada sedan Toyota Corolla merah marun itu berupa gambar tempel dengan huruf besar warna merah di atas kertas putih. Tak jelas siapa yang punya ulah ini.
Tomi Lebang
TEMPO Edisi 030601-013/Hal. 34 Rubrik Laporan Utama
TENTARA Indonesia dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka saling gempur, tapi keduanya tampak "sepakat" akan satu hal: merebut simpati wartawan. Kedua pihak boleh saling menyalakkan senjata dengan tampang dan hati berkobar, tapi kepada wartawan mereka akan tetap bertutur dengan wajah tersenyum.
Di palagan pertempuran Aceh, sejauh ini para wartawan tak mengalami kesulitan mewawancarai tentara Indonesia. Mereka juga leluasa menghubungi Teungku Sofyan Daud lewat telepon seluler atau telepon satelitnya, di mana pun juru bicara GAM itu berada. TNI dan GAM rupanya tahu benar, perang di Aceh tidak sekadar upaya menghabisi lawan, tapi juga merebut hati dunia--lewat jembatan media massa.
Jauh-jauh hari, menjelang operasi keamanan di Aceh, TNI bahkan mengundang para wartawan ke Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat. Di sana, di daerah latihan Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, 54 wartawan dari media cetak, radio, televisi, dan Internet mengikuti pelatihan bergaya militer.
Mereka berkumpul dengan seragam loreng di Markas Besar TNI Cilangkap, lalu ke Sanggabuana--berjarak dua jam perjalanan--dengan tiga truk militer. Seperti laiknya tentara, para wartawan ini tinggal di barak-barak. Pelatihan Prosedur Kedaruratan, program pembekalan bagi wartawan yang hendak meliput ke Aceh, ini berlangsung tiga hari, 11-14 Mei. Para pelatih berasal dari Kostrad, di bawah pimpinan Kolonel Bahram.
"Sanggabuana dipilih karena alamnya tak jauh beda dengan situasi di Aceh," kata Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Tono Suratman. Boleh jadi, pelatihan di Sanggabuana ini diilhami program penyertaan wartawan (embedded journalist) yang dilakukan militer Amerika Serikat terhadap para peliput Perang Teluk II yang ikut dalam pasukannya. "Ini pelatihan (militer) pertama kepada wartawan sejak Indonesia merdeka," kata Tono.
Di sana mereka dikenalkan dengan keterampilan menyelamatkan diri saat meliput di daerah konflik, termasuk ketika terjebak di tengah kontak senjata atau tersesat di belantara. Seperti dialami wartawan TEMPO Abdul Manan, yang ikut pelatihan itu, gojlokan ala militer benar-benar melelahkan. Sebelum tiba di Sanggabuana, mereka harus mendaki 225 anak tangga, dan sudah harus dihukum berjalan jongkok hanya gara-gara tak kompak menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung....
"Mulai detik ini Anda wajib mematuhi hukum militer, di antaranya disiplin. Karena itu, setiap pelanggaran ada sanksinya," kata Letkol D.J. Nachrowi, Kepala Bidang Penerangan Umum TNI, mengingatkan peserta. Di hari pertama, para wartawan, yang dibagi dalam dua peleton dan enam regu, baru dikenalkan dengan aturan-aturan militer, baris berbaris dan penghormatan, serta apel tiga kali dalam sehari. Juga ada kejutan ketika mereka dibangunkan dengan letusan senjata disertai gedoran pintu dan teriakan pelatih pada tengah malam di saat mereka lelap tertidur. Di malam buta itu mereka sigap berbusana militer, berbaris di lapangan terbuka, lalu dibubarkan.
Esoknya, para wartawan dikenalkan dengan rupa-rupa senjata yang lazim digunakan TNI dan GAM, seperti jenis AK-47, SS-1, AK SN, M-16, AR Galil, dan Micro Galil. Senjata standar TNI adalah SS-1 berjarak tembak 600 meter buatan PT Pindad, Bandung. Sedangkan senjata standar GAM adalah AK-47 dengan jarak tembak 700 meter bikinan Rusia. Ada juga M-16 buatan Amerika Serikat, AR Galil dan Micro Galil, dua jenis senjata produksi Israel, serta senjata AK SN buatan Bulgaria.
Setelah mengenal senjata, mereka diajari cara mengenakan rompi antipeluru. Pada umumnya rompi antipeluru hanya mempan tembakan di atas jarak 35 meter. "Kurang dari itu, tak ada gunanya," kata seorang pelatih. Mengenakan rompi merupakan beban tersendiri bagi wartawan. Di Aceh, GAM menggunakan senjata jenis AK-47 dengan kaliber 7,65 milimeter. Rompi yang tahan terhadap tembakan senjata jenis ini beratnya 18 kilogram. Lempeng baja di baliknya jauh lebih tebal dari rompi biasa, yang beratnya 15 kilogram.
Selain dengan rompi, para wartawan bisa berlindung pada aneka jenis bahan seperti tong berisi air, tong berisi pasir, tumpukan karung pasir, dan kayu berdiameter minimal 60 sentimeter. Mereka yang tersesat di hutan harus pula mengingat-ingat kiat hidup bertahan lama dengan bekal tipis. Pelatih menunjukkan aneka jenis dedaunan, buah, umbi-umbian, serta binatang yang bisa dimakan. Sebagai contoh, para wartawan disuguhi daging ular dan biawak dengan bumbu kecap.
Materi inti pelatihan ini merupakan simulasi pertempuran dan pengamanan terhadap wartawan di daerah konflik. Misalnya, apa yang harus dilakukan wartawan ketika pos TNI diserang oleh GAM dan ia berada di situ. Ada teknik 5M begitu mendengar tembakan: menghilang, mengguling, merayap, membidik, dan menembak. Karena mereka wartawan, M yang terakhir diganti dengan "meliput". Mereka lalu diajarkan melakukan pertolongan darurat terhadap korban luka pada kontak senjata.
Di malam hari para wartawan ikut jurit malam, yang dalam tradisi militer merupakan ajang uji nyali. Satu per satu mereka diminta jalan sendirian ke hutan dan perbukitan yang gelap pada jarak 1,5 kilometer. Sepanjang jalan mereka melintasi kuburan, juga boneka pocong. Seorang wartawan sampai-sampai menyembah nisan dan berteriak ngeri tatkala bertemu pocong.
Pelatihan di Sanggabuana ini memang bermanfaat besar bagi para wartawan. Tapi, sebagaimana suara yang mengecam keikutsertaan wartawan Amerika dengan tentara di medan perang Irak, ikut sertanya wartawan Indonesia dalam pelatihan ini juga dipertanyakan pelbagai kalangan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI). "Tidak ada masalah soal pelatihan itu. Tapi, dalam liputan di Aceh, wartawan jangan diwajibkan memakai pakaian loreng, juga atribut militer lain termasuk senjata," kata Rommy Fibri, Ketua AJI Jakarta.
Menurut Ira Koesno, wartawan SCTV yang ikut pelatihan, bila wartawan juga memakai seragam TNI, mereka bisa menjadi sah untuk ditembak. Tapi Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin bilang, TNI tidak akan mewajibkan para wartawan memakai seragam TNI saat meliput ke Aceh. Sjafrie juga mempersilakan wartawan menulis apa saja. TNI tidak akan mencampuri urusan dapur media untuk menulis atau tidak menulis berita.
Belakangan, Sjafrie seperti hendak "meluruskan" pernyataan tersebut. Menanggapi pemberitaan media massa menyangkut perang di Aceh, ia menyatakan Mabes TNI memperhatikan secara serius pemberitaan mengenai kejadian di lapangan operasi militer di Aceh. "Bila ada pemberitaan yang tidak benar, TNI akan menempuh proses hukum terhadap media massa tersebut," kata Sjafrie.
GAM sendiri, di tengah keterbatasannya, juga tetap beramah-ramah terhadap wartawan. Teungku Sofyan Daud, misalnya, tak pernah menutup akses bagi pers. Lewat dua telepon bergerak--telepon genggam dan satelit--yang selalu ditentengnya selama bergerilya, pers mudah melakukan konfirmasi. Sejumlah wartawan dan fotografer bahkan ikut bergerilya dengan pasukan GAM selama operasi militer di Aceh berlangsung.
Jauh sebelumnya, GAM tetap berusaha mendekatkan diri kepada wartawan. Lembar-lembar faksimile berlabel "Acheh-Sumatra National Liberation Front, Teuntara Neugara Atjeh" (TNA), yang berisi pernyataan-pernyataan pers GAM, setiap saat dikirim ke semua media. Pada 8 Mei, mendahului penetapan status darurat militer oleh pemerintah Indonesia, GAM mengumumkan status Aceh di ambang Perang Kolonial II (Perang Kolonial I adalah pada 1873).
Melalui Sofyan Daud, GAM mengeluarkan seruan mogok kepada seluruh instansi di Aceh, kecuali rumah sakit, Palang Merah, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan air minum dan listrik, serta media massa, termasuk kendaraan wartawan dan pengangkut koran. Kendati begitu, perlindungan TNI dan GAM terhadap wartawan juga dimanfaatkan oleh oknum yang hendak menuai rasa aman di Aceh.
Pekan lalu, para wartawan yang meliput di Lhokseumawe, Aceh, menyaksikan sebuah mobil bertanda pers tapi berisi orang berseragam loreng dan membawa senapan. Tulisan "pers" pada sedan Toyota Corolla merah marun itu berupa gambar tempel dengan huruf besar warna merah di atas kertas putih. Tak jelas siapa yang punya ulah ini.
Tomi Lebang
TEMPO Edisi 030601-013/Hal. 34 Rubrik Laporan Utama
Comments