Skip to main content

Agar Musang Tak Menghilang

TNI melacak posisi GAM dengan pelbagai peralatan komunikasi. Tapi GAM seperti mengetahui strategi itu.

PERCAKAPAN di radio komunikasi pasukan Tentara Nasional Indonesia itu memecah keheningan pagi. Bangau Satu (pasukan di lapangan) saat itu melapor kepada Rajawali (komandan di pusat operasi). Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melihat canpoi alias personel Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sedang beroperasi. Rupanya, Bangau Satu berhasil memantau pergerakan kelompok GAM lewat pelacakan sinyal komunikasi. Pelacakan pelbagai jalur komunikasi kini menjadi kunci untuk mengungkap jaringan dan wilayah operasi pasukan GAM.

Secara teknis, yang paling mudah dan kerap dilakukan oleh TNI adalah pelacakan frekuensi radio komunikasi. Soalnya, koordinasi antarpasukan GAM selama pertempuran umumnya menggunakan handy talkie. Medan tempur Aceh yang berbukit-bukit banyak yang berupa blank spot area atau wilayah yang tak terjangkau bagi sistem komunikasi lainnya. Tak mengherankan, handy talkie (HT)--bekerja pada rentang frekuensi 500 kiloherzt-2 megahertz--menjadi perangkat komunikasi favorit bagi pasukan GAM.

Roy Suryo, pakar multimedia dari Universitas Gadjah Mada, mengungkap pelacakan posisi GAM lewat sinyal HT merupakan metode yang paling "sederhana". Dalam dunia radio amatir, pelacakan yang disebut "fox hunting" (berburu musang) itu kerap dipakai untuk merazia perangkat radio komunikasi ilegal. Caranya, tiga pemburu yang juga membawa HT memantau komunikasi radio. Para pemburu ini harus dilengkapi dengan "transceiver signal" dan peta wilayah yang disisir. Agar didapat hasil yang akurat, pemburu mengejar dari posisi koordinat yang berbeda. Mereka, dengan panduan sinyal transceiver, mendekati dan mengepung posisi "sang Musang". Agar memperoleh jarak aman, ketiga tim pemburu membuat perkiraan posisi lawan dengan menarik garis pada peta. "Akurasi teknik ini sangat tinggi," tutur Roy.

Tentu saja, selain operasi penangkapan anggota GAM, TNI juga dapat menyadap isi komunikasi lawan lewat handy talkie. Untuk memecahkan kode dan sandi perang GAM, TNI meminta bantuan orang-orang lokal. "Kami menggunakan seorang tawanan untuk menerjemahkan isi komunikasi GAM," ujar Kolonel (Inf.) Andogo Wiradi, Komandan Satgas Mobil 1. Satgas ini membawahkan wilayah operasi Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Tamiang.

Untuk memudahkan pelacakan komunikasi GAM, Penguasa Darurat Militer Aceh meminta pengguna radio amatir di Aceh menyerahkan perangkat radio mereka. Tujuannya sederhana: mengurangi penggunaan frekuensi radio oleh orang-orang non-GAM. Artinya, bila masih terpantau sinyal komunikasi handy talkie, bisa dipastikan mereka adalah pasukan GAM yang tengah berkoordinasi.
Tapi, cara ini justru ditentang Roy. "Ini justru membuat 'sang Musang' semakin berhati-hati," katanya.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah memantau komunikasi telepon seluler. Inilah yang dulu dilakukan oleh polisi saat membekuk Tommy Soeharto di kawasan Jakarta Selatan. Saat itu pihak Polri telah menggunakan peralatan monitor yang disebut cellular digital intercept buatan Amerika Serikat. Peralatan canggih yang hanya bisa dibeli dengan pola "G to G" (antar-pemerintah) ini mampu langsung mendeteksi posisi telepon seluler tertentu. Posisi pengguna masih berpatokan pada letak base transceiver station (BTS) yang memiliki radius dua kilometer.

Pelacakan telepon seluler di wilayah perang Aceh terbilang mudah. Soalnya, operator yang benar-benar eksis di Aceh hanyalah Telkomsel. TNI pun telah meminta bantuan Telkomsel supaya membantu melacak beberapa nomor yang menjadi TO alias target operasi. Lagi-lagi, ujar Roy, Penguasa Darurat Militer Aceh melakukan kesalahan strategi. Beberapa waktu lalu penjualan kartu perdana prabayar sempat dipersulit dengan pelbagai persyaratan administrasi. Akibatnya, kata Roy, "GAM membeli kartu dari luar Aceh."

GAM bukannya tak tahu pelacakan jalur komunikasi mereka. Tak aneh, petinggi GAM Sofyan Daud, misalnya, kini tak lagi bisa dihubungi lewat telepon selulernya. Sofyan hanya menggunakan telepon satelit Byru (dengan nomor prefiks 0868) keluaran Pasifik Satelit Nusantara untuk berkomunikasi. Secara teknis, pelacakan posisi pengguna telepon satelit seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Soalnya, footprint sinyal satelit mencakup area seluas 200 kilometer persegi. Sedangkan coverage area Pasifik Satelit Nusantara meliputi hampir seluruh Asia Pasifik.

Peluang pelacakan telepon satelit bukannya tertutup sama sekali. TNI bisa melakukan penyadapan langsung pembicaraan via telepon satelit. Selain dapat mengungkap rencana serangan, langkah ini juga untuk membongkar jaringan pendukung GAM. Cara ini bisa dilakukan langsung karena sinyal uplink dan downlink satelit masih berbentuk sinyal analog (sinyal listrik). Hal ini berbeda dengan penyadapan komunikasi digital, yang harus mentransfer kode-kode biner digital ke sinyal analog.

Seperti tak mau kalah, pasukan GAM memutar strategi. Menghadapi pelacakan jalur komunikasi oleh TNI, pasukan GAM melakukan aksi gerilya dengan mobilisasi yang cepat. Akibatnya, meski sinyal komunikasi sempat terpantau, bisa jadi GAM segera meninggalkan lokasi itu. Sofyan Daud, Panglima Perang GAM Wilayah Pase, mengungkapkan bahwa mereka masih tak tersentuh oleh TNI. "Dalam perang ini, kamilah yang menentukan kapan dan di mana perang berlangsung," katanya.

Setiyardi (Jakarta) dan Abdul Manan (Aceh)

***

TAHAPAN PELACAKAN GAM DENGAN 'HANDY TALKIE':

1. TNI memindai rentang frekuensi untuk komunikasi handy talkie (500 kilohertz-2 megahertz). Setelah ditemukan ,TNI harus membentuk tiga "Tim Pemburu".

2. Tiap tim berangkat dari posisi koordinat yang berbeda, harus dilengkapi dengan : handy talkie, transceiver signal, peta wilayah tempur, dan persenjataan lengkap.

3. Tiap tim bergerak mendekati arah sinyal dari GAM, dengan berpatokan pada transceiver signal.

4. Tim harus saling berkoordinasi dan dapat menarik garis pada peta untuk menentukan posisi GAM dengan akurasi hingga 10 meter.

TEMPO Edisi 030629-017/Hal. 96 Rubrik Ilmu & Teknologi

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236