Skip to main content

Bola Salju Mengobati Luka

Keluarga korban Peristiwa 1965 merintis rekonsiliasi. Akan mengundang keluarga Soeharto dan keluarga D.N. Aidit.

GUNDAH dan getir menyesak dada Sugiharto pada suatu malam, 1994. Tanpa sengaja ia mendengar Mohammad Yasser Fito Anugerah, anaknya yang duduk di kelas V SD, menghafalkan nama-nama pahlawan revolusi, kemudian beberapa nama anggota Dewan Revolusi--yang berada di pihak berseberangan. Yasser, 11 tahun ketika itu, terlalu kecil untuk tahu: satu di antara nama anggota Dewan Revolusi yang dibacanya, Brigjen Supardjo, adalah kakeknya sendiri.

Sugiharto adalah anak ketiga--dari 12 bersaudara--Supardjo. Pria yang kini berumur 50 tahun itu akhirnya membeberkan sejarah keluarganya kepada Yasser, 21 tahun, dan satu anaknya yang lain, Mohammad Hamzah Harlo Ortega, 16 tahun, setelah keduanya duduk di bangku SMA. Terutama tentang kakek mereka, yang dijuluki "Jenderal Merah" dan dicatat sebagai pengkhianat oleh sejarah Orde Baru. "Pikiran saya waktu itu, jangan sampai ini menjadi dendam," katanya tertegun.

Dendam memang bukan sesuatu yang mustahil di tengah tekanan diskriminatif yang harus ditanggungnya. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta, ini misalnya tak kunjung bisa berpraktek sebagai dokter, akibat "dosa politik" ayahnya. Ia lalu berbisnis untuk menghidupi keluarga. Istrinya, Yulia Noor Soraya, adalah putri mantan Menteri Agama, Saefuddin Zuhri.

Lama ia memendam pikiran tentang "mengobati luka lama" itu, sampai suatu ketika Pemuda Panca Marga, organisasi anak-anak veteran, mempertemukannya dengan Nani Nurachman Sutoyo, adik Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Nani dan Agus adalah anak pahlawan revolusi Mayjen Sutoyo. Dalam pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, pada akhir 1998 itu Sugiharto menyadari, ide mempertemukan keluarga korban Peristiwa 1965 juga dirasakan Nani.

Setelah itu, pertemuan demi pertemuan digelar. Keduanya juga pernah diundang ke Istana, pada Mei 1999, semasa Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Kepada Gus Dur mereka menyampaikan ide mempertemukan keluarga korban politik masa lalu ini. "Waktu itu Gus Dur bilang, teruskan," kata Sugiharto. Pertemuan yang terbilang "besar" dan agak formal pun akhirnya terjadi di Restoran Pulau Dua, Jakarta Selatan, 7 April lalu.

Dalam pertemuan itu yang datang tak hanya keluarga eks Peristiwa 1965. Hadir juga Sudjono Kartosuwiryo, putra bungsu almarhum Sekar Madji Kartosuwiryo, pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat, cucu almarhum Tengku Daud Beureueh, pemimpin DI/TII Aceh, dan Yap Hong Gie, putra Yap Thiam Hien, pengacara terkenal yang sangat kritis pada rezim Orde Baru.

Di situ Nani Nurachman Sutoyo menjelaskan keberadaan Yayasan Kerti Mahayana, yang berdiri pada 2000, untuk ikut menangani masalah orang-orang yang mengidap trauma dan mengalami diskriminasi akibat konflik politik masa lalu. Nani juga mengharapkan pemerintah ikut menghentikan hukuman terus-menerus terhadap para korban ini. "Indah sekali idenya," kata Hardoyo, bekas Ketua Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa PKI, yang ikut dalam pertemuan.

Hardoyo, yang tercatat sebagai anggota Dewan Revolusi, pernah ditahan di Rumah Tahanan Salemba dan Nirbaya selama 13 tahun. Dia berharap pemerintah mendukung gerakan semacam ini, sehingga bisa menjadi gerakan rekonsiliasi nasional. Tapi, "Sepertinya perhatian pemerintah dalam soal hak asasi manusia sangat rendah," kata pria 69 tahun itu.

Rendahnya perhatian tak membuat Suryo Susilo, aktivis Pemuda Panca Marga, satu di antara fasilitator pertemuan, kehabisan gairah. Menurut dia, harus dibuat wadah agar para anggota keluarga itu bisa melakukan silaturahmi. "Supaya yang terjadi pada orang tua mereka tidak diteruskan oleh anak cucunya menjadi dendam sejarah," katanya. Pada pertemuan bulan ini, ada rencana mengundang keluarga Jenderal Soeharto dan keluarga D.N. Aidit, ketua CC PKI. Kata Sugiharto, "Saya berharap ini seperti bola salju yang terus membesar."

Abdul Manan

TEMPO Edisi 030511-010/Hal. 40 Rubrik Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236