Yang Tersedak Debu Tanah Abang
SEKITAR 120 mobil asal Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu dua pekan lalu urung bergerak. Mobil yang mengangkut aneka bordir milik 400-an pengusaha itu tak jadi meneruskan perjalanan ke Jakarta setelah Pasar Tanah Abang, yang menjadi tujuan ekspedisi dagang, dilalap api. Sial benar, kebakaran 19 Februari yang menghanguskan sekitar 3.400 dari total 7.638 kios itu memberikan sinyal buruk bagi dunia industri tekstil kita.
Tanah Abang punya posisi strategis dalam pasar tekstil nasional. Menurut penasihat Dewan Koperasi Indonesia, Adi Sasono, sekitar 80 persen barang dari sini dijual di pasar dalam negeri. Sisanya, 20 persen, masuk ke pasar ekspor--saat ini yang terbanyak ke Nigeria. Para pemasok dan pedagang di sini datang dari berbagai daerah. Sentra produksi tekstil yang sangat bergantung pada Tanah Abang antara lain Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Pekalongan (Jawa Tengah). Daerah itu menyuplai bahan cukup besar bagi perputaran uang di Tanah Abang, yang omzet tahunannya bisa mencapai Rp 15 triliun.
Selama ini, pola hubungan antara sentra produksi di daerah dan pasar yang berdiri sejak 1735 ini beraneka ragam. Umumnya pedagang mengambil bahan mentah di Tanah Abang, lalu bahan itu dibawa ke pabrik di daerah untuk diolah menjadi produk jadi. Beberapa menjualnya kembali ke Tanah Abang, selain langsung ke pasar-pasar setempat. Ada juga yang langsung mengambil barang jadi untuk dijual. Sedangkan pemasok lain lagi. Mereka biasanya hanya menyalurkan barang ke kios-kios. Tapi ada juga yang menjual secara langsung di Tanah Abang.
Pedagang Tasikmalaya adalah salah satu contoh. Mereka ke Tanah Abang tiap Senin dan Kamis. Namun Kamis lalu mereka batal berjualan setelah mendengar kabar buruk tersebut. Barang pun akhirnya ditumpuk akibat batalnya perjalanan dagang ini. Kerugian yang diderita sekitar Rp 2 miliar. Menurut Ketua Koperasi Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya, Ridwan Rafiun, jumlah itu akumulasi dari sekitar 400 pedagang asal Tasikmalaya.
Pedagang Majalaya, Bandung, mengalami nasib serupa. Ada sekitar 270 industri kecil dan menengah tekstil yang memasok barang ke pasar grosir terbesar di Asia Tenggara itu. Akibatnya, kata pedagang yang juga penasihat Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya, Fatya Natapura, ada sekitar 40 ribu barang yang harus disimpan di gudang. Taksiran kerugiannya sekitar Rp 8 miliar.
Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat, Drs. Lili Asdjudireja, Tanah Abang memang bukan satu-satunya pasar dari produk tekstil daerahnya. Sekitar 270 pengusaha tekstil Jawa Barat menyuplai bahan ke sentra grosir seperti ITC Mangga Dua, Pasar Baru, Kramat Jati, dan Cipulir, Jakarta. "Tapi suplai terbesar ke wilayah Jakarta ini di Tanah Abang," ujarnya kepada Upiek S. dari TEMPO.
Bagi pedagang tekstil asal Pekalongan, Jawa Tengah, dampak kebakaran itu tak kalah hebatnya. H. Arifin Oesman, pemilik PT Ariftex Batik Kisnala di Pekalongan, tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Selama ini, dia memberi suplai kepada enam kios di Tanah Abang. Tapi dua di antara kios pelanggannya itu terbakar. "Kerugian yang saya derita satu kiosnya minimal Rp 1 miliar," kata Arifin kepada Ecep S. Yasa dari TEMPO.
Pedagang grosiran pakaian jadi di Pasar Grosir Batik Pekalongan, Syaiful, 32 tahun, juga mengaku kehilangan Rp 250 juta gara-gara barang yang dia kirim ke pelanggannya habis dilahap api. Pelanggannya tidak mampu membayar barangnya. Keluhan Syaiful itu setidaknya mewakili 150-an pengusaha kecil daerah itu yang menjadi pemasok pakaian jadi untuk kios-kios kecil di Tanah Abang.
Bahkan, jauh sebelum kebakaran terjadi, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Soetrisno, sudah memperkirakan kemerosotan dalam industri tekstil karena menurunnya daya saing akibat kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu. Prediksi dia, tahun ini bakal ada pemecatan sekitar 300 ribu karyawan--tahun lalu hanya 35 ribu orang. Ekspor pun tidak bakal lebih dari US$ 7 miliar, sementara tahun lalu US$ 6,5 miliar. Insiden Tanah Abang ini membuat nasib industri tekstil kita semakin payah.
Abdul Manan, Eduardus K. Dewanto, Boby Gunawan (Bandung)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 31 Rubrik Nasional
Tanah Abang punya posisi strategis dalam pasar tekstil nasional. Menurut penasihat Dewan Koperasi Indonesia, Adi Sasono, sekitar 80 persen barang dari sini dijual di pasar dalam negeri. Sisanya, 20 persen, masuk ke pasar ekspor--saat ini yang terbanyak ke Nigeria. Para pemasok dan pedagang di sini datang dari berbagai daerah. Sentra produksi tekstil yang sangat bergantung pada Tanah Abang antara lain Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Pekalongan (Jawa Tengah). Daerah itu menyuplai bahan cukup besar bagi perputaran uang di Tanah Abang, yang omzet tahunannya bisa mencapai Rp 15 triliun.
Selama ini, pola hubungan antara sentra produksi di daerah dan pasar yang berdiri sejak 1735 ini beraneka ragam. Umumnya pedagang mengambil bahan mentah di Tanah Abang, lalu bahan itu dibawa ke pabrik di daerah untuk diolah menjadi produk jadi. Beberapa menjualnya kembali ke Tanah Abang, selain langsung ke pasar-pasar setempat. Ada juga yang langsung mengambil barang jadi untuk dijual. Sedangkan pemasok lain lagi. Mereka biasanya hanya menyalurkan barang ke kios-kios. Tapi ada juga yang menjual secara langsung di Tanah Abang.
Pedagang Tasikmalaya adalah salah satu contoh. Mereka ke Tanah Abang tiap Senin dan Kamis. Namun Kamis lalu mereka batal berjualan setelah mendengar kabar buruk tersebut. Barang pun akhirnya ditumpuk akibat batalnya perjalanan dagang ini. Kerugian yang diderita sekitar Rp 2 miliar. Menurut Ketua Koperasi Gabungan Pengusaha Bordir Tasikmalaya, Ridwan Rafiun, jumlah itu akumulasi dari sekitar 400 pedagang asal Tasikmalaya.
Pedagang Majalaya, Bandung, mengalami nasib serupa. Ada sekitar 270 industri kecil dan menengah tekstil yang memasok barang ke pasar grosir terbesar di Asia Tenggara itu. Akibatnya, kata pedagang yang juga penasihat Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya, Fatya Natapura, ada sekitar 40 ribu barang yang harus disimpan di gudang. Taksiran kerugiannya sekitar Rp 8 miliar.
Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat, Drs. Lili Asdjudireja, Tanah Abang memang bukan satu-satunya pasar dari produk tekstil daerahnya. Sekitar 270 pengusaha tekstil Jawa Barat menyuplai bahan ke sentra grosir seperti ITC Mangga Dua, Pasar Baru, Kramat Jati, dan Cipulir, Jakarta. "Tapi suplai terbesar ke wilayah Jakarta ini di Tanah Abang," ujarnya kepada Upiek S. dari TEMPO.
Bagi pedagang tekstil asal Pekalongan, Jawa Tengah, dampak kebakaran itu tak kalah hebatnya. H. Arifin Oesman, pemilik PT Ariftex Batik Kisnala di Pekalongan, tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Selama ini, dia memberi suplai kepada enam kios di Tanah Abang. Tapi dua di antara kios pelanggannya itu terbakar. "Kerugian yang saya derita satu kiosnya minimal Rp 1 miliar," kata Arifin kepada Ecep S. Yasa dari TEMPO.
Pedagang grosiran pakaian jadi di Pasar Grosir Batik Pekalongan, Syaiful, 32 tahun, juga mengaku kehilangan Rp 250 juta gara-gara barang yang dia kirim ke pelanggannya habis dilahap api. Pelanggannya tidak mampu membayar barangnya. Keluhan Syaiful itu setidaknya mewakili 150-an pengusaha kecil daerah itu yang menjadi pemasok pakaian jadi untuk kios-kios kecil di Tanah Abang.
Bahkan, jauh sebelum kebakaran terjadi, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Soetrisno, sudah memperkirakan kemerosotan dalam industri tekstil karena menurunnya daya saing akibat kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu. Prediksi dia, tahun ini bakal ada pemecatan sekitar 300 ribu karyawan--tahun lalu hanya 35 ribu orang. Ekspor pun tidak bakal lebih dari US$ 7 miliar, sementara tahun lalu US$ 6,5 miliar. Insiden Tanah Abang ini membuat nasib industri tekstil kita semakin payah.
Abdul Manan, Eduardus K. Dewanto, Boby Gunawan (Bandung)
TEMPO Edisi 030309-001/Hal. 31 Rubrik Nasional
Comments