Skip to main content

Menggugat Kemesraan Banteng - Beringin

Belum genap sepekan disahkan, Undang-Undang Pemilu sudah menuai gugatan.

BERKAS dan dokumen berserakan memenuhi meja kerja dan ruang tamu Sayuti Rahawarin. Si empunya ruangan kelihatan serius membolak-balik dokumen. Dua orang yang lain menelisik setumpuk kertas. Sebuah "perang" agaknya tengah disiapkan dari ruang 5 x 6 meter di lantai 22 Gedung DPR milik anggota Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (gabungan beberapa partai kecil) ini. Dan pasti "perang" ini ada kaitannya dengan naskah Rancangan Undang-Undang Pemilu--dari draf asli hingga naskah final--yang kelihatan teronggok di sana.

Kamis pekan lalu, Sayuti bekerja lebih keras, ditemani dua orang pengacaranya. Rupanya, Daulatul Ummah bersama tujuh partai Islam yang lain--di antaranya Partai Kebangkitan Umat, Partai Nahdlatul Umat, Partai Keadilan, Partai Persatuan, PPI Masyumi--bersiap mengajukan judicial review (peninjauan) Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Agung. Undang-Undang Pemilu ini disahkan DPR pekan lalu. Daulatul Ummah termasuk salah satu perumusnya.

Kendati terlibat, Daulatul tak puas. "Ini undang-undang yang sama sekali tidak bermutu karena dibuat untuk dagangan partai-partai besar menuju Pemilu 2004. Tak kurang ada tujuh pasal bermasalah," begitu kata Sayuti, wakil rakyat asal Maluku ini, sembari geleng-geleng kepala.

Selasa pekan lalu, ketika membacakan pemandangan umum fraksinya di rapat paripurna, Sayuti sudah menyampaikan keinginan fraksinya agar pengesahan undang-undang ini ditunda dua pekan. Saat rapat paripurna digelar, masih ada 11 masalah krusial. Tapi akhirnya keputusan diambil melalui voting. Dan tentulah partai kecil tergilas. "Tak semestinya yang besar melemahkan yang kecil. Jangan sampai rakyat nanti berkesimpulan pasal A milik partai ini, pasal B milik partai itu," ujar politikus dari Partai Politik Indonesia (PPI) Masyumi itu.

Inilah serangan paling serius untuk Undang-Undang Pemilu, yang baru sepekan disahkan. Serangan ini antara lain dipicu oleh kelahiran Pasal 60. Pasal itu mengizinkan seorang terdakwa seperti Akbar Tandjung menjadi calon legislatif. Pasal 75--yang membolehkan pejabat publik seperti presiden, wakil presiden, dan menteri berkampanye--juga ramai digugat.

Di balik dua pasal itu memang tersangkut kepentingan dua pemenang Pemilu 1999: PDI Perjuangan dan Golkar.

Mulanya, PDIP mengusulkan editorial tambahan yang menyatakan seseorang yang berstatus terdakwa tidak boleh dicalonkan menjadi calon legislatif. Golkar keruan saja tidak setuju. Menurut Rully Chairul Azwar, anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Golkar, partainya menolak usulan tersebut karena tidak ada dalam usulan pemerintah. Klausul itu murni datang dari PDIP. Kata Rully, "Poin itu sudah tercakup dalam Pasal 60 huruf (i)." Di sana disebutkan bahwa calon legislatif harus tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap--karena melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih.

Untuk menjegal Akbar, yang telah divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan negeri dan tinggi dalam kasus Bulog? Sangat mungkin. Rully melihat tambahan ini sebagai cara PDIP untuk menaikkan, "Posisi tawar dalam negosiasi soal pasal-pasal lain," ujar Wakil Sekjen Partai Golkar itu.

Alot. Lobi harus digelar sampai dua setengah jam di ruang lobi Gedung Nusantara V. Hasilnya? PDIP sepakat menganulir usul itu. Gratis? Mana ada makan siang yang gratis, kata pemeo politik. Sebagai balas jasa atas "kemurahan hati" PDIP, Partai Golkar menukarnya dengan menyetujui Pasal 75 Ayat 1, yang mengizinkan pejabat publik berkampanye. Ini sebuah pasal yang sangat menguntungkan PDIP, yang mempunyai sejumlah menteri dan seorang presiden di kabinet sekarang.

Ketika Pasal 75 divoting, Golkar kompak menganulir usulannya sendiri--bahwa pejabat publik dilarang berkampanye--dan sepakat mendukung PDIP yang menghendaki pejabat boleh ikut turun berkampanye. "Kelihatan sekali main mata mereka," ujar Sayuti dengan kesal. PPP dan Bulan Bintang, dua partai yang menempatkan menteri dan wakil presiden di kabinet, juga mendukung PDIP. Alhasil, mereka menang voting dengan 232 suara. Sedangkan rivalnya, Kebangkitan Bangsa, TNI/Polri, KKI, dan PDU, cuma mendapat 100 suara.

Sayuti terang saja kecewa. "Saya datangi Hamdan Zoelva (Sekretaris Fraksi Bulan Bintang). Saya bilang, kenapa partaimu yang dulu satu suara dengan kami akhirnya tidak mendukung kami dan ikut berdiri bersama mereka," kata Sayuti. Hamdan Zoelva diam tak bereaksi.

Hamdan Zoelva kepada TEMPO menyatakan, meski pejabat publik boleh berkampanye, tak bisa semau gue. Ada ketentuan ketat, seperti tidak boleh menggunakan fasilitas jabatan dan harus cuti di luar tanggungan negara. "Karena itulah, fraksi kami akhirnya setuju," ujar Hamdan.

Itulah pasal terakhir yang diputuskan lewat voting. Rupanya, pasal ini penting benar untuk PDIP dan Golkar. Lihatlah betapa tangkasnya mereka menyusun teks Pasal 75 yang baru. Teras Narang, politikus PDIP, "mengambil alih" rapat paripurna dan berduet dengan Rully menyusun teks baru Pasal 75 itu--setelah diberi kesempatan oleh Soetardjo Soerjogoeritno, pemimpin sidang malam itu. Setelah 15 menit berembuk, Hafiz Zawawi, anggota panitia khusus dari Golkar, maju ke meja tempat slide projector berada--di belakang meja pimpinan sidang--untuk mendiktekan teks baru yang telah mereka susun.

Jelas saja pemandangan tak lazim ini menuai kritik. "Ini sidang macam apa? Mengapa memberi keleluasaan kepada segelintir orang untuk mengobrak-abrik pasal? Mestinya sidang diskors untuk lobi atau dikembalikan ke naskah panitia khusus. Kok mereka bikin rumusan sendiri, ada rapat di tengah rapat," ujar Sayuti, setengah berteriak.

Partai Golkar yang berbalik sikap ternyata punya jawaban. "Kalau Golkar menjegal pasal kampanye, itu betul-betul akan jadi problem bagi PDIP dan PPP," kata Rully, mengutarakan pertimbangan partainya menerima pasal kampanye. Namun, Rully menambahkan, partainya tetap saja khawatir akan ada kevakuman kekuasaan jika presiden dan wakilnya ambil cuti untuk kampanye. Itu kan kompromi juga namanya, Bung Rully? "Bisa diartikan begitu, tapi ada dasar pertimbangannya," tuturnya.

PDIP juga segera "buang badan" dari tuduhan kompromi itu. Menurut Pataniari Siahaan, anggota Panitia Khusus RUU Pemilu, tak ada deal-deal khusus dengan Golkar. "Kalau ada lobi-lobi dagang sapi, mengapa perlu banyak pasal divoting dan pembahasan RUU begitu lama," kata Pataniari.

Apa pun kata Pataniari, PDIP jelas diuntungkan soal pasal kampanye. Walaupun Partai Golkar juga memetik keuntungan yang lain dengan golnya pasal itu. Jangan lupa, jajaran birokrasi--jabatan gubernur dan bupati, terutama di luar Jawa--sebagian besar masih orang Golkar, apalagi setelah banyak kota dan kabupaten dimekarkan. Makanya, "Mereka enteng saja mendukung PDIP. Saya kira PDIP dan PPP kena perangkap skenario Golkar," ujar Rodjil Ghufron, Ketua Fraksi PKB, kepada TEMPO.

Samuel Kotto dari Fraksi Reformasi juga sepakat bahwa materi Undang-Undang Pemilu itu banyak menguntungkan partai besar. "Mungkin baru segini kualitas praktek demokrasi kita," katanya, lesu.

Palu telah diketok, Undang-Undang Pemilu telah diterima. Tapi Sayuti, wakil partai alit itu, dari ruangnya yang berantakan di lantai 22 Gedung DPR, baru memulai sebuah perjuangan: menantang dominasi partai besar lewat undang-undang yang dinilainya sarat barter politik ini.

Adi Prasetya, Abdul Manan, Tomi Lebang

TEMPO Edisi 030302-052/Hal. 34 Rubrik Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236