Skip to main content

Adakah Tarekat Pemicunya

Tarekat Khalidiyh yang konon diikuti masyrakat Madura di Sambas dituding sebagai pemicu konflik.

TENTU bukan salah tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyah jika nama tarekat ini tiba-tiba muncul akhir-akhir ini. Ini berawal dari analisis Prof.Dr.Parsudi Suparlan, antropolog Universitas Indonesia, yang diminta meneliti soal kerusuhan di Sambas oleh Mabes Polri dua bulan lalu. Konflik yang telah menewaskan ratusan orang yang terdiri dari etnis Madura, Melayu, dan Dayak itu sangat kuat dipicu dari eksklusifisme masyarakat Madura yang sebagian besar menganut tarekal Khalidiyah.

Ini memang temuan Parsudi yang memang harus diteliti lebih lanjut. "Karena, orang Madura pemeluk tarekat ini kan merasa bahwa dirinya paling istimewa. Mereka memperoleh perlindungan dari kalifah dan mursyid-nya," katanya. Memang, kata Parsudi, tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyah membuat mereka beradab. "Tapi, dilihat dari kacamata hubungannya dengan orang Melayu, mereka menjadi eksklusif. Nah, akhirnya, semua itu kan menjadi semacam pisau bermata dua."

Pendekatan Parsudi ini memang memerlukan penelitian lebih saksama lagi. Sehab, antropolog yang lain, yang juga termasuk dalam tim Mabes Polri itu juga, Prof.Dr.Syarif Ibrahim Alqadri, tidak melihat pengaruh tarekat Khalidiyah itu dalam memicu konflik etnis. Ia memang melihat ada kecenderungan eksklusif orang Madura di Sambas, misalnya dengan membangun surau sendiri.
"Dalam lima atau enam keluarga mereka membangun surau sendiri," kata Syarif. Dari sudut keagamaan, baik orang Madura maupun Melayu tak ada beda. Jika orang Madura mayoritas Nahdlatul Ulama. orang Melayu sebagian juga Nahdlatul Ulama. "Perbedaan antara Melayu dan Madura tidak akan muncul jika tidak ada peran premanisme," kata Syarif. Kelemahan orang Madura, katanya, hanya soal hablun minan nas-nya. "Hablun minanah-nya sudah tinggi," tukasnya.

lni juga mengagetkan antropolog dan pengamat Islam Dr. Muslim Abdurrahman. Seingat dia, tarekat yang palhlg eksklusif sekalipun tak meng.ajarkan ekslusif bersosial. Misalnya tarekat Tijaniyah, yang melarang pengikutnya memadukan dengan tarekat lain "Tapi, itu pun tidak eksklusi: Adapun syahandiyah itu terbuka," katanya. Berbeda jika kemudian tarekat itu menjadi semacam "topeng budaya". "Jadi, orang-orang Madur. kemudian di sana menjadikan tarekat itu sebagai suatu persaudaraan yang kemudian menjadi sangat kuat. Itu menciptakansolidaritas orang Madura yang ditopengi dengan identitas tarekat itu." Bukan jiwa tarekat itu sendiri yang mengajaknya eksklusif. .

Ini yang juga dipertegas K.H. Abdullah Schal, pengasuh Pesantren Syaihona Khalil, Bangkalan, Madura, yang banyak memiliki murid di Sambas. "Banyaknya orang Madura ikut tarekat Naqsabandiyah itu hanya urusan mendekatkan diri kepada Allah." Tarekat itu artinya jalan, yang dipakai seseorang untuk menapak tingkatan kedekatan di sisi Allah. Cara itu dilalui melalui zikir. "Sehingga, semua tidak ada harganya selain Allah."

Tarekat juga berfungsi mengekang hawa nafsu. "Tarekat itu mengajarkan manusia agar melatih nafsu supaya tunduk kepada akal. Jadi, kalau akal kalah, manusia di kuasai nafsu. Kalau itu yang terjadi, apa yang dilakukannya tidak masuk akal," kata ulama besar Madura ini. Jadi, intinya, tidak mungkin tarekat mengajarkan kebencian, kekerasan, bahkan juga termasuk eksklusifisme. Jika ada, itu hanya dalam tataran amalan tarekat, saat melakukan zikir.

Seperti diungkapkan Prof.Dr.K.H.Muhibbuddin Waly, mursyid tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah asal Blang Poroh, Labuhanhaji, Aceh Selatan, itu bahwa dalam tarekat Khalidiyah memang ada keharusan untuk berkhalwat (menyepi dengan meninggalkan pekerjaan, anak, dan istri untuk mendekatkan diri kepada Allah). Pada bulan Ramadan, misalnya, dilakukan sejak hari kesepuluh bulan suci itu hingga Lebaran. Bahkan ada yang hingga 40 hari. Begitu juga pada bulan Rabiul Awwal (maulud). Mereka juga diharuskan melaksanakan salat berjamaah selama berkhalwat. Mereka berzikir dengan hati. "Ini dalam upaya untuk mengekang hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah," kata guru besar fikih perbandingan lulusan UniversitasAlazhar, Mesir, ini.

Ini juga yang disampaikan K.H. Nuruddin Umar, sekretaris Badan Silaturrahmi Ulama Se-Madura (Basra), yang tanggal 12-14 April lalu sempat datang ke Sambas. "Tidak ada hubungannya sama sekali antara tarekat yang diamalkan orang Madura dan kerusuhan. Malah, adanya tarekat itu bisa memberi kesejukan bagi pemeluknya." Malah Nuruddin menduga orang Madura yang dianggap arogan itu tidak tergabung dalam tarekat. Tarekat juga tidak mengajarkan kekebalan.

Sambas sendiri sebenamya pernah menjadi daya tarik tarekat. Bahkan, kedatangan orang-orang Madurake Sambas semula juga karena adanya ulama besar di Sambas dalam tarekat. Misalnya, mereka berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar. Ulama besar ini kemudian meninggal di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib Assambasi termasuk tokoh yang memberi warna dalam tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN), gabungan dua tarekat. Bahkan, menurut Dr. Martin van Bruinessen, Khatib justru yang menciptakan tareka gabungan itu. "Ahmad Khatib memaparkan berbagai muraqabah lebih jelas dari pada yang saya lihat pada risalah Khalidiyah dari masa yang sama," tulis Dr. Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Nasqsyabandiyah di Indonesia.

* Sudah Ada di Sambas

Artinya, Sambas bukan baru saja mengenal tarekat. Ahmad Khatib diperkirakan wafat tahun ] 87. Jahatan Khatib di Sambas kemudian ditangani Syaikh Abdul Latief bin Abdul Qadir Al Sarawaki. Khatib juga memiliki murid antara lain SyaikhAbdul Karim (Banten), Syaikh Tolhah (Cirebon), Syaikh Ismail bin Abdurrahim (Bali), dan juga K.H. Ahmad Hasbullah bin Muhammad (Madura). Tokoh TQN yang kini dikenal banyak masyarakat antara lain Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Prof. Kadirun Yahya dari Medan. Malah, tulis Martin, jika soal kedekatan pada kekerasan, TQN yang justru memiliki sejarah gerakan pemberontakan, seperti yang dilakukan Syaikh Abdul Karim dan Haji Marzuji dari Banten, Kiai Hasan Tafsir dari Krapyak, dan Guru Bangkol yang mengobarkan anti-Bali di Lombok.

Sementara itu, pada tarekat Naqsyabandiyah, baik yang aliran Khalidiyah maupun Mazhariyah, tak pernah terlihat kekerasan dan pemberontakan. Menurut Martin, masalahnya Naqsyabandiyah selama ini memasuki suatu wilayah dengan mencari pengaruh lewat kalangan elitenya. Muhibbuddin Waiy juga menjelaskan keluwesan Nalsyabandiyah sehingga lebih mudah diterima di mana-mana.

Namun, bukan berarti Naqsyabandiyah tak masuk Kalimantan Barat. Tarekat dengan panji Mazhariyah ini telah masuk Pontia melalui SayyidJa'farbin MuhammadA . gaf, Sayyid Ja'far bin Abdrrahman Alqadri (putra seorang pangeran Pontianak), Haji Abdul Aziz, yang memiliki pengiku langan Melayu. Dan sekitar tahun 1950 ,datang Syaikh Fathul Bari dari Madura ya kemudian menetap di Kalimantan Barat. Bariaktif menyebarkan tarekat Mazhariyah di kalangan warga Madura di Kalimantan Barat. Dalam catatan Martin, mereka menguasai sekitar 300 masjid dan memiliki puluh; ribu pengikut.

Lalu, dari mana datangnya Khalidiyah? Tak jelas. Sebab, tarekat ini banyak dipeluk kaum muslimin di Aceh dan Sumatra Barat, yang dulu dinaungi kibaran bendera partai politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Tengku Waly Alkhalidi termasuk tokoh yang membesarkan Khalidiyah. Karena itu, Muhibbudin Waly, anak tertua Tengku Waly, dibuat kaget dengan munculnya Khalidiyah di Sambas. "Ini tidak ada kaitannya," kata Muhibuddin.

M.H./Laporan Jaya Putra (Pontianak), Noer Faisal (Banda Aceh), Josephus Primus (Jakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 990524-041/Hal. 72 Rubrik Agama

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236