Skip to main content

Tangkap Pemicunya, Jangan Cuma Pelurunya

Provokator diomong-omongkan, ditangkap, tapi sejauh ini belum diungkapkan apa dan siapanya. Tidakkah memberikan daya tahan masyarakat lebih bermanfaat?

GAWAT! Sekitar 300 provokator masuk Manado dan siap bikin rusuh, pekan lalu. Gubernur Sulawesi Utara sendiri yang menyatakan itu kepada pers. Ada sinyalemen, provokator itu masuk Manado setelah membuat rusuh di Ambon.

Lalu, menurut harian Bali Post edisi Selasa 26 Januari, provokator juga sudah menyebar di Jawa TimurHarian tersebut mengutip pemyataan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur K.H. Hasyim Muzadi daul Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Ryamizard.

Kiai Hasyim Muzadi mendeteksi munculnya provokator lewat beberapa pondok pesantren. Katanya, ia mendapat laporan bahwa sejumlah orang mendatangi beberapa pondok, lalu mengajak para santri melakukan aksi balas dendam berkaitan dengan kasus Ambon dan Kupang. Menurut orangorang yang datang itu, kasus Ambon dan Kupang menghina umat Islam.

"Mereka bertemu Kholil As'ad, pemimpin pondok pesantren di Situbondo," tutur Kiai Hasyim kepada pers, Senin, 25 Januari pekan lalu, dalam acara dialog antarulama. tokoh masyarakat, dan Muspida Jawa Timur di Surabaya. "Mereka itu mencoba mengadu domba antara umat Tslam dan umat lain. Untungnya Pak Kholil mengontak saya," lanjutnya. Alhasil, "provokasi" orang-orang tak dikenal itu tak mempan. Jawa Timur, sampai akhir pekan lalu, aman. Adapun Gubernur Sulawesi Utara E.F. Mangindaan mengaku punya pengalaman langsung dengan provokator. Di Gorontalo katanya, ia ditantang oleh empat pemuda. Begitu ia keluar, pemuda itu lari, tapi tertangkap oleh petugas. Mereka, menurut gubernur, berniat bikin kacau, dan berniat membuat kondisi sedemikian rupa sehingga Gorontalo mau memisahkan diri dari Republik Indonesia (lihat E.E. Mangindaan: "Lebih Baik Hilang Rp 100 Juta... ").

* Halalbihalal Pangab

Seperti diketahui, istilah provoator menjadi perhatian khusus setelah kasus kerusuhan di Ambon. Sebelumnya, istilah ini pun telah digunakan oleh beberapa pihak untuk menyebut mereka yang dianggap memprovokasi massa untuk melalukan kerusuhan, tapi belum ada perhatian khusus.

Sejauh yang bisa diriset, tampaknya islilah provokator menjadi perhatian setelah beberapa pejabat dan tokoh mayarakat seeara bersinamhungan berbicara soal "provokator". Mula-mula adalah Pangdam Tnkora, Mayjen Amir Sembiring, yang wilayahnya meliputi Maluku dan Irianjaya yang bilang bahwa kerusuhan di Ambon digerakkan oleh provokator. Itu dikatakannya ketika panglima itu bertemu para tokoh agama, tokoh masyarakat, birokrat, dan ABRI di Ambon. Sesudah itu, K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU, ketika menjawab pertanyaan pers juga menyebut-nyebut soal provokator: Bahkan, Kiai Cigajur ini menambahkan bahwa provokator di Ambon itu anak buah preman yang tinggal di Ciganjur, Jakarta. Orang lalu menebak-nebak siapa yang dimaksud Gus Dur. Ada yang menuduh nama yang dimaksud (Gus Dur adalah Yorries. Kctua Umum Pemuda Pancaiila. Kenapa? Menurut wartawan Kantor Berita Antara di Ambon yang ditelepon oleh DR, di Amhon sudah tersebar info bahwa para provokator itu anak buah Yorie Raweyai.

Tentu, info itu bisa benar, bisa tidak. D&R pun mewawancarai Yorries, dan yang bersangkutan membantah keras (lihat D&R 25-30 Januari).

Dan "provokator" makin menjadi perhatian setelah acara halalbihalal Pangab Jenderal Wiranto dengan kelompok Ciganjur dan tokoh masyarakat, Ahad, 24 Januari lalu, di Jalan Senaopati, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu Pangab menyatakan akan menindak tegas provokator kerusuhan, dan mengungkapkan siapa di belakangnya.

Tapi, sampai akhir pekan lalu, belum ada penjelasan dari siapa pun tentang apa dan siapa provokator yang sudah disebut-sebut. Kepala Dinas Penerangan Polri, Brigjen Togar Sianipar, menyatakan memang dari sekitar 90 orang yang ditahan di Ambon karena keru.suhan, 37 di antaranya disangka provokator. Tapi, belum diperoleh bukti bahwa mereka benar-benar memprovokasi kerusuhan, bukan cuma ikut-ikutan. Pengusutan masih terus dilakukan, kata Brigjen Sianipar.

Bagaimana di Manado? Sama saja, belum jelas. Aparat keamanan memang sudah menanyai pemuda-pemuda pendatang yang mencurigakan. Mereka konon ber-KTP palsu. Tapi, sejauh ini mereka hanya diamati, karena tak ada alasan untuk menahan mereka, apalagi menuduh mereka provokator dan menahannya (lihat Wanted, Provokator di Manado).

* Provokasi di gereja

Di Malang, Jawa Timur, hampir saja ada "provokator" ditangkap. Ceritanya, di Gereja Ijen Malang, Ahad, 24 Januari lalu. menurut Romo Yosep Eko Budi Susilo Pr., masuk seseorang berumur sekiar 25 tahun (belakangan diketahui bernama Saiful Anwar). Orang tersebut bercelana hitam, berbaju putih, masuk ke altar (tempat duduk imam).

Waktu itu jemaat gereja baru saja selesai melakukan misa. Orang itu lantas menurunkan Alkitab, dan menginjak-injaknya. Tindakan itu diketahui oleh koster (petugas gereja yang menyiapkan acara kebaktian). Saat ditegur, "Jangan", orang tersebut diam saja malah ia melangkah ke ruang sakresti (tempat/ruang bagi imam atau romo melakukan persiapan diri sebelum acara kebaktian). Di situ, menurut Romo Yoseph Eko kepada D&R, orang tersebut kencing. Koster lalu menangkap tangannya, dan menanyainya kenapa berbuat seperti itu. Orang itu tak melawan tapi tetap diam.

Akhirnya pihak gereja menelepon aparat di komando resor militer (korem). Tak lama kemudian datang petugas dari komando distrik militer (kodim), dan membawa orang tersebut. Rupanya, masih cerita Romo Eko, korem memerintahkan orang kodim untuk membawa orang tersebut. Dan ternyata, orang itu tak sendiri. Ada dua orang lagi yang menunggu di luar. Ketika didekati, keduanya kabur.

Menurut pihak kodim, sampai esok harinya, Senin, 25 Januari, orang yang dibawa dari gereja itu tetap membisu. Sore hari, orang tersebut diserahkan ke Polresta Malang, karena ini memang urusan polisi. Baru di kepolisian diketahui identitasnya. Ia beralamat di Jalan Jombang, Malang, mengaku bernama Saiful Anwar.

Polisi kemudian mendatangkan orang tua Saiful Anwar, juga termasuk Mgr. Sandojo dari Gereja Ijen. Kemudian polisi menyatakan dugaannya bahwa orang itu temyata stres, lalu dibebaskan. Yang tak bisa dipastikan oleh polisi, apakah stresnya itu benar atau cuma dibuat-buat.

Kabarnya, pihak gereja bersyukur bahwa kasus ini selesai tanpa menimbulkan kerusuhan. Ada yang menduga, andai saja pihak gereja tak bijaksana menangani soal ini, misalnya saja ada jemaat yang marah lalu memukul orang stres itu, dan kabar ini tersiar ke luar, bisa jadi akan terjadi insiden berbau suku agama ras dan antargolongan (SARA). Biasanya, kabar yang terbang ke luar sudah dilebih-lebihkan tak persis kenyataan. Misalnya, dalam hal ini, dikatakan: ada orang dipukuli oleh orang Kristen.

Jadi, adakah provokator itu? Seperti kasus di gereja di Malang itu. andai kemudian terjadi kerusuhan, pastilah Saiful untuk sementara akLm dikatakan sebagai provokator, meski kepastiannya tentu di pengadilan. Meski dalam hal ini ada dua hal yang belum jelas benar. Pertama, kenapa di kodim Saiful tak terungkap identitasnya. Lalu, bila dia memang stres, siapa dua temannya yang kabur tersebut. Jangan-jangan yang dua itulah provokatornya, dan Saiful cuma korban yang dijadikan umpan kerusuhan-tapi gagal.

Juga di Manado, karena belum terjadi insiden apa pun, para pemuda yang ditanya KTP-nya oleh aparat, belum bisa disangka apa pun. Bila saja di sekitar tempat mereka tinggal terjadi kerusuhan dan ada yang melihat mereka berada di tengah massa, besar kemungkinan mereka akan ditahan dan disangka provokator.

Masalahnya, dari kerusuhan pertengahan Mei 1998 sampai kasus pembunuhan yang disangka dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur, provokator disebut-sebut, tapi pengungkapan apa dan siapanya tak pernah ada. Memang, dibuka pengadi lan juga, umpamanya untuk kasus Banyuwangi. Yang terjadi, istilah provokator menguap, dan para tersangka dinyatakan hanyalah warga biasa yang ikut-ikutan. Yang tak bisa dibuktikan apakah ikut-ikutan atau tidak adalah "tersangka" yang telanjur dibantai massa.

Menurut Choirul Anam, Ketua . Tim Pencari Fakta (TPF) PWNU untuk kasus Banyuwangi, provokatornya tak mudah ditangkap. "Provokator itu gerakannya begitu hebat," kata Cak Anam, yang juga Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Timur itu. Nah, kalau provokatornya saja susah ditangkap, apalagi mereka yang berada di belakangnya, makin sulit diketahui.

Menurut temuan TPF PWNU, provokator itu mula-mula mendekati penduduk, dan meyakinkan bahwa seseorang di sekitar kampung itu adalah dukun santet. Setelah tuduhan itu tertanam, kadang provokator itu mengomando sendiri pembantaian itu, kadang hanya dengan berdiri di belakang.

Yang mendefinisikan provokator panjang-lebar adalah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kerusuhan pertengahan Mei. Tim ini yakin benar bahwa kerusuhan di Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Solo, dan Surabaya di pertengahan Mei disulut oleh provokator. Ini tentulah bukan sinyalemen sembarangan, karena anggota tim yang turun ke lapangan adalah para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipercaya.

Temuan tim, provokator kcrusuhan Mei berkelompok tiga sampai 10 orang. Merea bisa mendatangi kerumunan massa dan memancing kerusuhan, atau bisa juga mereka datang sudah dengan massa. Cirinya: berpakaian biasa; memakai topi; rambut ada yang gondrong, ada yang cepak; celana jins? gelap, dan bersepatu hitam serta bersabuk hitam; membawa pentungan; naik sepeda
motor; beberapa orang bertampang preman dengan ciri badan tinggi, berambut pendek; umumnya laki-laki.

Para provokator itu umumnya bukan warga setempat, karena tak dikenali penduduk di situ. Biasanya mereka datang menggendong tas punggung, yang isinya ternyata batu-batu dan plastik-plastik berisi cairan yang mudah terbakar. Beberapa di antara mereka membawa telepon genggam. Ada yang berjaket, tapi ada pula yang berbaju seragam SMU lengkap dengan tanda-tandanya, tapi mereka tampak terlalu tua untuk seragam itu.

Tim ini juga menyimpulkan bahwa para provokator terampil dalam melakukan beberapa hal, antara lain: membakar ban, membakar gedung, membakar mobil. Terampil membongkar pintu, termasuk rolling door. Pintar memancing massa untuk mengikuti ulah mereka.

Temuan TGPF memang boleh. Tapi, untuk apa? Bisakah berpedoman perincian itu lalu ditangkap yang dianggap provokator, diajukan ke pengadilan, diungkapkan jaringannya?

* Yorries Raweyai

Apalagi bila kemudian muncul sejumlah sinyalemen dari berbagai pihak, masalahnya bisa menjadi kompleks. Misalnya dalam kasus Ambon, Yusuf Rahaimy, orang Ambon yang muslim, Kamis. 28 Januari pekan lalu, memberikan keterangan pers bersama Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam Ahmad Sumargono dan Ketua Pcrsaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Eggy Sudjana. Yusuf menyinyalir, dua pihak menjadi biang kerusuhan; yaitu kelompok separatis Republik Maluku Selatan yang muncul lagi", dan "kelompok politik yang frustrasi melihat perkembangan Islam di Ambon."

Sinyalemen ini mungkin benar, mungkin juga tidak. Yang jelas, yang diajukan Yusuf sudah semakin luas, tak cuma mempersoalkan provokator. Dalam satu hal, Yusuf sependapat dengan Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI yang pernah meriset kerusuhan massal di Tasikmalaya, Situbondo, dan Pekalongan. Menurut Ikrar, ada dua sebab yang menyebabkan Ambon rawan kerusuhan. Pertama, seperti yang dikatakan Yusuf: terjadi perubahan komposisi kependudukan, yang semula mayoritas Kristen menjadi mayoritas Islam. Akibatnya, masyarakat Kristen merasa insecure alias tidak aman.

Yang kedua adalah dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Gubernur Saleh Latuconsina. Konon, Pak Gubernur suka menyalahi prinsip the right mm on the right place ketika mengangkat pejabat, sehingga menimbulkan ketegangan di antara elite birokrasi.

Sebab-sebab itu menurut Yusuf dan Ikrar lebih esensial daripada adanya provokator. Cuma, harus diakui kejelian provokator (dan promotomya) dalam melihat daerah yang menyimpan kerawanan hingga mudah dihasut, kata Ikrar. Menurut Yusuf, provokator yang preman itu cuma dipakai sebagai peluru. "Pemicu meluncurnya peluru itulah yang harus ditangkap," katanya.

Adapun Eggy Sudjana mengimbau bila benar sinyalemen Gus Dur bahwa orangorang yang setia kepada Soeharto yang meluncurkan provokator itu, agar mereka legowo dengan mundumya Soeharto. Eggy juga menyebut-nyebut nama Yorries Raweyai. karena disebut-sebut oleh Gus Dur. Katanya ia sudah mengklarifikasi soal ini, dan itu menyangkut nama "Milton", preman Ambon yang dekat dengan Yorries.

Sekali lagi lewat pendekatan provokator, untuk menyingkapkan kerusuhan sungguh mirip mengurai benang kusut. Tak heran janji Pangab mengusut provokator secara tuntas tcrmasuk siapa di belakang mereka tak ada harganya bila dipenuhi. Upaya ini tentu bisa dijadikan pangkal tolak mengungkapkan banyak hal seputar kerusuhan. Masalahnya, sejauh ini keputusan politik itu belum tampak dipraktikkan. Taruh saja kasus gereja di Malang itu; mestinya ada penjelasan, kenapa di kodim tak terungkapkan identias si pelaku dan baru di kepolisian. Lalu, bagaimana pula kaitannya dengan dua orang yang kabur itu.

Suka atau tak suka, Yusuf Rahaimy benar. Lebih berharga menangkap pemicu peluru danpada membekuk pelurunya. Masalahnya, untuk mengetahui pemicunya kan mesti ditangkap dulu itu pelurunya. Yang perlu dikatakan, jangan pula aparat lalu "menghilangkan" peluru yang sudah tertangkap, atau membiarkannya tanpa mengusut pemicunya.

Tapi yang penting--seperti ditulis di Perspektif--bagaimana membuat masyarakat punya daya tahan terhadap provokasi. Di gereja di Malang itu, adalah sebuah contoh bagaimana pengurus gereja dengan bijak mengelola "penyusup" hingga tak meledak kerusuhan. Inilah tampaknya yang perlu disampaikan kepada masyarakat sesering mungkin, secara terbuka. Tak mudah memang, tapi inilah yang bisa dllakukan dengan praktis untuk menanggulangi provokator.

Bambang Bujono/Laporan Eko Yulistyo, Reko Alum, Budi Nugroho, Andreas A. Purwanto, Abdul Manan (Surabaya) Patria Pombengi (Manado)

D&R, Edisi 990201-025/Hal. 15 Rubrik Liputan Utama

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236