Limbah Militer di "Pulau Brigif"
Sebagian ekosistem Pulau Sempu rusak akibat latihan Kostrad. Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur menyatakan tak pernah memberi izin.
BEBERAPA WC semi permanen yang diperkirakan dipakai para perwira sewaktu menjenguk latihan tempur ditemukan di Pulau Sempu. Tentu, itu bukan yang menjadikan Masyarakat Pecinta Alam Jonggring Salaka (MPAJS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang serius ingin menggugat Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), tapi karena Kostrad menjadikan cagar alam tersebut sebagai ajang latihan militer, dengan ekses penebangan kayu dan penembakan satwa yang dapat merusak ekosistem.
Kawasan Pulau Sempu yang terletak sekitar 60 km sebelah selatan Malang itu terkenal akm keindahannya. Tempat yang populer dengan nama Sendang Biru tersebut termasuk salah satu obyek wisata favorit masyarakat Jawa Timur. Sejak 1928, wilayah ini ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda sebagai cagar alam, lewat stableed 26 Stbl No. 69 tertanggal 15 Maret 1928, sesuai UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Jantung kawasan seluas 877 hektare itu adalah danau air tawar bernama Telaga Lele. Tepi pulau itu berdinding dan bergua. Separonya lebat oleh rimbun hutan tropis. Beberapa bagian hutan tropis di kawasan hutan sekitar Telaga Lele itu kini terbabat habis. Hal itu baru diketahui baru-baru ini.
Ceritanya? pada awal oktober 1998, seorang anggota MPAJS mengantarkan temannya melihat keindahan Pulau Sempu. Alangkah kagetnya dia ketika melihat bekas barak-barak sementara (bivak) militer di situ. Ia melaporkan temuan terebut. Kelompok anak muda calon guru tersebut segera membentuk tim investigasi. Tiga kali mereka melakukan survei ke sana.
Investigasi pertama dilakukan pada 27 November 1998. Mereka menyusuri Telaga Lele mencari bekas-bekas bivak tentara. Ternyata, mereka menemukan coretan-coretan vandalis di kulit batang-batang kayu di sanasini. Tertera di situ grafiti kebanggaan korp: Linud 18. Lalu, di sana-sini juga terdapat serakan sampah militer, antara lain sepatu. jaket doreng, kotak peluru, dan selongsong peluru. Karena hasil investigasi dianggap belum cukup, penyusuran dilanjutkan.
Betapa kagetnya mereka, kini yang tampak adalah bukti-bukti baru kerusakan ekosistem pulau. Mereka mendapatkan kayu-kayu yang sudah ditebang dan digergaji. Selain itu, juga ada tengkorak binatang mamalia, seperti kera.
Konferensi pers digelar. Terbentuklah kemudian Komunitas Peduli Sempu (KPS), militer yang melibatkan lembaga bantuan hukum dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Agaknya, itu membuat gusar Pangdam V Brawijaya waktu itu, Mayjen Djoko Subroto, sehingga ia meninjau sendiri kawasan tersebut.
Sehari setelah kunjungan Djoko, KPS melakukan investigasi lanjutan. Alangkah terkejutnya mereka karena semua sampah yang pemah mereka temukan sudah bersih sama sekali. Toh, mereka tak bisa ditipu. Mereka pun menggali. Ternyata, sampah-sampah itu berusaha dihilangkan jejaknya dengan dipendam.
* Bukan Pakistan
Pihak militer sendiri ternyata cukup jujur. Panglima Divisi II Kostrad di Singosari, Mayjen William Theodorus da Costa, seperti dikutip Malang Pos, mengakui latihan militer sudah berlangsung sejak tahun 1970, khususnya oleh Brigif Linud 18 Kostrad. Jadwal latihan militer: setahun sekali dengan waktu tinggal 1-2 minggu. Jadwal latihan terakhir berlangsung antara 25 September dan 2 Oktober 1998 lalu oleh 231 pasukan.
Latihan itu merupakan tradisi prajurit Trisula, meliputi kompas rawa atau navigasi dan berenang menggunakan ponco. Begitu seringnya Brigif Linud 18 Kostrad mengadakan latihan di sana, sampai-sampai penduduk di sekitar kawasan Sempu sudah biasa menyebut pulau itu sebagai "pulau Brigif". Warga setempat bahkan bisa menaksir jumlah pasukan setiap latihan, yaitu rata-rata 400 prajurit.
Tapi, Theodorus da Costa menampik tuduhan perusakan ekosistem. Penggunaan Pulau Sempu untuk latihan itu, menurut dia, sudah memperoleh izin dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Selama puluhan tahun BKSDA tidak mempermasalahkan hal tersebut. Latihan itu bukan liar. Justru, menurut dia, sembari latihan mereka memelihara dan melestarikan cagar alam. Logikanya, menurut Theodorus, bila 28 tahun pasukannya melakukan perusakan lingkungan, tentunya Pulau Sempu sekarang sudah hancur total. Dan di hadapan mata sekarang toh kawasan itu sehat-sehat saja. "Kami tidak pernah menembak binatang atau menebang pohon-pohon di sana. Kalaupun menebang pohon, itu pun yang kecil-kecil, hanya untuk membuat bivak dan para-para," katanya.
Pendapat senada juga dilontarkan Kapendam V/Brawijaya, Letkol Djoko Agus. Ia menyangsikan adanya kerusakan ekosistem. Sebab, tradisi latihan militer Indonesia tidak akan melakukan seperti itu. Tidak mungkin militer membabati kayu-kayu besar. Ia menduga tindakan itu dilakukan penduduk yang membikin perahu, karena kayu di sana bagus untuk bahan perahu. "Tak ada limbah militer. Bukan maksud saya mengecilkan militer Indonesia, latihan militer kita itu konvensional saja. Kita kan belum seperti Pakistan yang mengangkut dan meledakkan nuklir secara selamat," kata mantan Dandim Bojonegoro itu. Dia juga membantah bahwa peluru berceceran di sana. Sebab, seluruh keamanan pengangkutan amunisi selalu melalui prosedur keamanan ketat.
Lalu, mengapa Kostrad harus latihan di Pulau Sempu? Menurut Letkol Djoko Agus, itu karena sesuai dengan spesifikasi latihan satuan ini, seperti halnya Gunung Lamong Lumajang yang cocok bagi latihan perang dan patroli Kodam. Di Gunung Lumajang ada jalan kecil dan lekuk gunung. Akan halnya Pulau Sempu, tutur Kapendam Djoko, bagus untuk latihan Kostrad yang harus menguasai dua medan--air dan darat--karena letak medan air dan darat di Pulau Sempu itu tidak terlalu jauh, seperti halnya selat Madura. Djoko mengatakan, dulu sebelum kedatangan militer, wilayah Pulau Sempu masih kering lahannya. Justru ketika Kostrad datang pada tahun 1970-an itulah kemudian ditanami sehingga menjadi rimbun seperti sekarang.
Namun, faktanya: latihan itu menyalahi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab, menurut kepala BKSDA Unit II Jawa Timur Ir. Ruslan Effendi, cagar alam hanya hisa digunakan untuk penelitian, pendidikan, serta peningkatan budaya, tidak untuk lainnya. Siapa pun yang melanggar, dengan sengaja atau tidak sengaja, dikategorikan melakukan tindak pidana. Itu termasuk tindak pidana lingkungan (eco crime).
Pakar hukum lingkungan Prof. Koesnadi Harjosoemantri, meski tidak mau berkomentar karena belum memiliki data lengkap, kepada D&R mengatakan sepakat bahwa penggunaan hutan lindung sebagai lokasi latihan militer jelas tidak diperbolehkan. "Setahu saya, ABRI kan punya tempat latihan sendiri," katanya.
Akan halnya Ruslan, ia menyatakan selamaini BKSDA pusat tidak pernah mengeluarkan izin. Nah, tentunya dalam hal ini Sub-BKSDA Jember yang mewilayahi Nusa Barong dan Cagar Alam Pulau Sempu patut ditanyai karena merekalah yang memberi izin. Hingga kini D&R belum bisa meminta konfirmasi pihak mereka, karena Suprapto Adi Pranoto, Kepala BKSDA Jeber, sibuk terus mengikuti rapat dinas di Magetan. Rapat atau berkelit?
Seno Joko Suyono/Suma Atmaja (Malang), Abdul Manan (Surabaya), dan Ahmad Nur sobirin (Jakarta)
D&R, Edisi 990125-024/Hal. 42 Rubrik Lingkungan
BEBERAPA WC semi permanen yang diperkirakan dipakai para perwira sewaktu menjenguk latihan tempur ditemukan di Pulau Sempu. Tentu, itu bukan yang menjadikan Masyarakat Pecinta Alam Jonggring Salaka (MPAJS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang serius ingin menggugat Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), tapi karena Kostrad menjadikan cagar alam tersebut sebagai ajang latihan militer, dengan ekses penebangan kayu dan penembakan satwa yang dapat merusak ekosistem.
Kawasan Pulau Sempu yang terletak sekitar 60 km sebelah selatan Malang itu terkenal akm keindahannya. Tempat yang populer dengan nama Sendang Biru tersebut termasuk salah satu obyek wisata favorit masyarakat Jawa Timur. Sejak 1928, wilayah ini ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda sebagai cagar alam, lewat stableed 26 Stbl No. 69 tertanggal 15 Maret 1928, sesuai UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Jantung kawasan seluas 877 hektare itu adalah danau air tawar bernama Telaga Lele. Tepi pulau itu berdinding dan bergua. Separonya lebat oleh rimbun hutan tropis. Beberapa bagian hutan tropis di kawasan hutan sekitar Telaga Lele itu kini terbabat habis. Hal itu baru diketahui baru-baru ini.
Ceritanya? pada awal oktober 1998, seorang anggota MPAJS mengantarkan temannya melihat keindahan Pulau Sempu. Alangkah kagetnya dia ketika melihat bekas barak-barak sementara (bivak) militer di situ. Ia melaporkan temuan terebut. Kelompok anak muda calon guru tersebut segera membentuk tim investigasi. Tiga kali mereka melakukan survei ke sana.
Investigasi pertama dilakukan pada 27 November 1998. Mereka menyusuri Telaga Lele mencari bekas-bekas bivak tentara. Ternyata, mereka menemukan coretan-coretan vandalis di kulit batang-batang kayu di sanasini. Tertera di situ grafiti kebanggaan korp: Linud 18. Lalu, di sana-sini juga terdapat serakan sampah militer, antara lain sepatu. jaket doreng, kotak peluru, dan selongsong peluru. Karena hasil investigasi dianggap belum cukup, penyusuran dilanjutkan.
Betapa kagetnya mereka, kini yang tampak adalah bukti-bukti baru kerusakan ekosistem pulau. Mereka mendapatkan kayu-kayu yang sudah ditebang dan digergaji. Selain itu, juga ada tengkorak binatang mamalia, seperti kera.
Konferensi pers digelar. Terbentuklah kemudian Komunitas Peduli Sempu (KPS), militer yang melibatkan lembaga bantuan hukum dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Agaknya, itu membuat gusar Pangdam V Brawijaya waktu itu, Mayjen Djoko Subroto, sehingga ia meninjau sendiri kawasan tersebut.
Sehari setelah kunjungan Djoko, KPS melakukan investigasi lanjutan. Alangkah terkejutnya mereka karena semua sampah yang pemah mereka temukan sudah bersih sama sekali. Toh, mereka tak bisa ditipu. Mereka pun menggali. Ternyata, sampah-sampah itu berusaha dihilangkan jejaknya dengan dipendam.
* Bukan Pakistan
Pihak militer sendiri ternyata cukup jujur. Panglima Divisi II Kostrad di Singosari, Mayjen William Theodorus da Costa, seperti dikutip Malang Pos, mengakui latihan militer sudah berlangsung sejak tahun 1970, khususnya oleh Brigif Linud 18 Kostrad. Jadwal latihan militer: setahun sekali dengan waktu tinggal 1-2 minggu. Jadwal latihan terakhir berlangsung antara 25 September dan 2 Oktober 1998 lalu oleh 231 pasukan.
Latihan itu merupakan tradisi prajurit Trisula, meliputi kompas rawa atau navigasi dan berenang menggunakan ponco. Begitu seringnya Brigif Linud 18 Kostrad mengadakan latihan di sana, sampai-sampai penduduk di sekitar kawasan Sempu sudah biasa menyebut pulau itu sebagai "pulau Brigif". Warga setempat bahkan bisa menaksir jumlah pasukan setiap latihan, yaitu rata-rata 400 prajurit.
Tapi, Theodorus da Costa menampik tuduhan perusakan ekosistem. Penggunaan Pulau Sempu untuk latihan itu, menurut dia, sudah memperoleh izin dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Selama puluhan tahun BKSDA tidak mempermasalahkan hal tersebut. Latihan itu bukan liar. Justru, menurut dia, sembari latihan mereka memelihara dan melestarikan cagar alam. Logikanya, menurut Theodorus, bila 28 tahun pasukannya melakukan perusakan lingkungan, tentunya Pulau Sempu sekarang sudah hancur total. Dan di hadapan mata sekarang toh kawasan itu sehat-sehat saja. "Kami tidak pernah menembak binatang atau menebang pohon-pohon di sana. Kalaupun menebang pohon, itu pun yang kecil-kecil, hanya untuk membuat bivak dan para-para," katanya.
Pendapat senada juga dilontarkan Kapendam V/Brawijaya, Letkol Djoko Agus. Ia menyangsikan adanya kerusakan ekosistem. Sebab, tradisi latihan militer Indonesia tidak akan melakukan seperti itu. Tidak mungkin militer membabati kayu-kayu besar. Ia menduga tindakan itu dilakukan penduduk yang membikin perahu, karena kayu di sana bagus untuk bahan perahu. "Tak ada limbah militer. Bukan maksud saya mengecilkan militer Indonesia, latihan militer kita itu konvensional saja. Kita kan belum seperti Pakistan yang mengangkut dan meledakkan nuklir secara selamat," kata mantan Dandim Bojonegoro itu. Dia juga membantah bahwa peluru berceceran di sana. Sebab, seluruh keamanan pengangkutan amunisi selalu melalui prosedur keamanan ketat.
Lalu, mengapa Kostrad harus latihan di Pulau Sempu? Menurut Letkol Djoko Agus, itu karena sesuai dengan spesifikasi latihan satuan ini, seperti halnya Gunung Lamong Lumajang yang cocok bagi latihan perang dan patroli Kodam. Di Gunung Lumajang ada jalan kecil dan lekuk gunung. Akan halnya Pulau Sempu, tutur Kapendam Djoko, bagus untuk latihan Kostrad yang harus menguasai dua medan--air dan darat--karena letak medan air dan darat di Pulau Sempu itu tidak terlalu jauh, seperti halnya selat Madura. Djoko mengatakan, dulu sebelum kedatangan militer, wilayah Pulau Sempu masih kering lahannya. Justru ketika Kostrad datang pada tahun 1970-an itulah kemudian ditanami sehingga menjadi rimbun seperti sekarang.
Namun, faktanya: latihan itu menyalahi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab, menurut kepala BKSDA Unit II Jawa Timur Ir. Ruslan Effendi, cagar alam hanya hisa digunakan untuk penelitian, pendidikan, serta peningkatan budaya, tidak untuk lainnya. Siapa pun yang melanggar, dengan sengaja atau tidak sengaja, dikategorikan melakukan tindak pidana. Itu termasuk tindak pidana lingkungan (eco crime).
Pakar hukum lingkungan Prof. Koesnadi Harjosoemantri, meski tidak mau berkomentar karena belum memiliki data lengkap, kepada D&R mengatakan sepakat bahwa penggunaan hutan lindung sebagai lokasi latihan militer jelas tidak diperbolehkan. "Setahu saya, ABRI kan punya tempat latihan sendiri," katanya.
Akan halnya Ruslan, ia menyatakan selamaini BKSDA pusat tidak pernah mengeluarkan izin. Nah, tentunya dalam hal ini Sub-BKSDA Jember yang mewilayahi Nusa Barong dan Cagar Alam Pulau Sempu patut ditanyai karena merekalah yang memberi izin. Hingga kini D&R belum bisa meminta konfirmasi pihak mereka, karena Suprapto Adi Pranoto, Kepala BKSDA Jeber, sibuk terus mengikuti rapat dinas di Magetan. Rapat atau berkelit?
Seno Joko Suyono/Suma Atmaja (Malang), Abdul Manan (Surabaya), dan Ahmad Nur sobirin (Jakarta)
D&R, Edisi 990125-024/Hal. 42 Rubrik Lingkungan
Comments