Mereka Lapar, lalu Menjarah

Daya beli yang menurun dan harga beras yang mahal memaksa orang menjarah apa saja yang bisa dijarah.

HAJI ANANG, pengusaha penggilingan padi di Desa Sukoreno, Kalisat, Jember, Jawa Timur, kaget. Malam hari, 31 Agustus lalu, gudang beras miliknya didatangi massa yang tampak beringas Haji Anang dituding menimbun 100 ton beras depot logistik (dolog). Terang saja, Haji Anang gusar. Ia membantah karena memang tak menyimpan beras dolog, seperti yang dituduhkan warga. Haji Anang malah mempersilakan massa untuk memeriksanya sendiri. Benar, tak ada beras dolog di gudang Sukorono Makmur, nama perusahaan penggilingan beras milik Haji Anang itu.

Beras yang ada di gudang adalah beras lokal sebanyak 91 karung. Namun, kenyataan itu tak membuat massa bubar. Sebaliknya, mereka meminta Haji Anang agar menjualnya seharga Rp 2 ribu per kilogram. Permintaan itu semula ditolak. Namun, karena massa terus memaksa, Haji Anang menyerah. Beras yang seharusnya bisa dijual Rp 4 ribu per kilogram di Kota Jember itu diangkut ke Kecamatan Kalisat dan dijual di sana.

Kejadian serupa, dua hari sebelumnya, telah menimpa UD Ajung di desa yang sama. Truk milik perusahaan penggilingan padi itu, yang hendak mengangkut beras ke Jember, dicegat massa dan memaksa pemiliknya menjual dengan harga Rp 3 ribu per kilogram. UD Ajung akhirnya melepas tujuh ton berasnya.

* Menjarah karena Lapar

Massa di Kalisat itu masih tergolong murah hati. Mereka tak menjarah, hanya memaksa membeli murah. Tampaknya, mereka masih memiliki uang namun tak sanggup membeli beras dengan harga Rp 4 ribu per kilogram. Namun, masih di Jember, massa benar-benar menjarah. Akhir Agustus lalu, ribuan orang menjarah biji kopi milik PT Perkebunan XII, Jember. Sebagian orang yang datang memanen biji-biji kopi itu secara paksa mengaku terpaksa menjarah karena lapar akibat harga beras dan kebutuhan pokok lain makin mahal.

Biji kopi belakangan memang menjadi sasaran penjarahan di Jawa Timur. Awal Agustus lalu, massa menjarah biji kopi di perkebunan milik PD Perkebunan Pemerintah Daerah Jember. Ratusan ton biji kopi juga diambil ratusan orang yang mendatangi perkebunan milik PT JA Wati, perusahaan swasta di Desa Tugusari, Jember.

Selain kopi, kayu jati milik perkebunan-perkebunan pemerintah juga jadi sasaran penebangan. Di Jember pula, awal Agustus lalu terjadi penjarahan ratusan meter kubik kayu jati milik Taman Nasional Meru Betiri. Awal Agustus lalu, massa juga menebangi ratusan pohon kayu jati di Hutan Bubulan dan Temayang, Bondowoso. Beberapa hari sesudahnya, di Ngawi, massa menjarah kayu jati di Hutan Kecamatan Beringin. Antara Juli dan Agustus, dua ratus meter kubik kayu jati di Hutan Pesanggaean, Banyuwangi, digasak massa yang menyebabkan Perusahaan Hutan Negara Indonesia rugi Rp 500 juta.

Ribuan orang di Bondowoso 25 Agustus lalu, menjarah sekitar 500 ton beras, 6,5 ton biji kopi, 150 sak semen, serta beberapa drum minyak tanah dan minyak goreng dari toko-toko dan penggilingan padi. Penjarahan di Desa Sukokerto, Tlogosari, dan Wonosari itu berlangsung dari pagi hingga sore.

Dua hari sesudah penjarahan di Bondowoso, ratusan orang Jangkar, Situbondo, menyerbu toko-toko di sekitar Pabrik Gula Asembagus. Mereka kebanyakan mengincar beras, minyak goreng, dan bahan kebutuhan hidup sehari-hari. Penjarahan bahan makanan itu bukan yang pertama terjadi di Situbondo. Sepanjang Agustus lalu, penjarahan sembilan bahan pokok terjadi di sejumlah tempat di Kabupaten Situbondo dan bahkan terjadi di Kota Situbondo sendiri.

Selama dua hari, 23 dan 24 Agustus, ratusan hektare pohon cokelat siap panen milik PT Perkebunan Nasional XII Kalibakar, Tirtoyudo, Kabupaten Malang, dipanen penduduk. Peristiwa ini menimbulkan bentrokan antara aparat keamanan dan massa. Menurut warga setempat, akibat bentrokkan itu, 25 orang luka-luka terkena tembakan dan belasan aparat keamanan terluka sabetan senjata tajam.

Apa yang sedang terjadi di Jawa Timur? "Mereka terdesak kebutuhan hidup," ujar Yudi Burhan, Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Jawaban Yudi tak mengada-ada, bukan pula dalih membela perbuatan para penjarah itu. Daya beli orang Jawa Timur, provinsi yang berpenduduk 34 juta jiwa, memang merosot tajam. Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, inflasi di provinsi yang terbanyak penduduknya itu telah mencapai angka 88,8 persen, angka yang tak tertandingi sepanjang 30 tahun terakhir ini. "Inflasi di atas 100 pesen tak mustahil untuk tahun ini," ujar Bambang Heru, Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis BPS Jawa Timur.

Dengan angka inflasi sebesar itu, kata Bambang yang lulus master dari Universitas La Trobe, Melbourne, Australia, para buruh dan pegawai negeri yang gajinya tak naik jelas akan makin sulit hidupnya. Apalagi, menurut catatan BPS Jawa Timur, Juli lalu, belasan ribu buruh di sana telah kehilangan pekerjaan. Itu yang berhasil dicatat BPS, belum pemutusan hubungan kerja yang tak dilaporkan. "Lebih dari separo penduduk Jawa Timur kini telah jatuh miskin. Mereka terdiri dari buruh pabrik dan buruh tani," ujar Kresnayana Yahya, pengamat statistik dari Institut Teknologi 10 November, Surabaya.

* Rawan Jarah

Harga-harga di Jawa Timur memang makin mencekik leher dan membuat hidup makin sulit. Harga beras hingga kini masih bertengger di angka Rp 4.500 per kilogram. Sulitnya hidup ini, misalnya, dialami Fadil, tukang becak yang biasa mangal di kawasan Pegirian, Surabaya. "Harga beras makin tak terjangkau, apalagi penumpang makin jarang," ujar Fadil, yang masih harus menghidupi istri dan tiga orang anaknya.

Kemiskinan, daya beli menurun, dan harga beras yang mahal juga mengancam penduduk Kabupaten Mojokerto. Menurut Bupati Mojokerto, Machmoed Zain, lebih dari 15 ribu warganya terancam kelaparan karena tak memiliki persedian beras lagi, baik di rumah atau di sawah. Kalau di Mojokerto baru terancam, penduduk Trenggalek, kota kering di pesisir timur, sudah mulai makan gaplek.

Selain rawan pangan, Jawa Timur tampaknya juga akan dilanda rawan jarah. Apa yang bisa dijarah bakal dijarah. Tak peduli harta siapa yang akan dijarah. Kalau dulu penduduk mengincar toko-toko warga keturunan Cina, sekarang siapa pun bisa saja menjadi sasaran. Penggilingan-penggilingan padi yang dijarah di sejumlah wilayah di Jawa Timur milik penduduk pribumi. Perkebunan-perkebunan yang dipanen paksa adalah perkebunan milik pemerintah. Ada yang bilang, ada saatnya nanti akan berhadap-hadapan: orang miskin melawan orang kaya.

Mudah-mudahan, itu tak akan terjadi.

I.S./Laporan: Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 980912-004/Hal. 51 Rubrik Liputan Khusus

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO