Tanah Parang, dan Krisis
Warga rame-rame mematoki lahan tidur. Gubernur Jakarta mengizinkan. Bakal muncul problem hukum.
TANPA menghiraukan tembakan peringatan polisi, bentrok fisik itu terjadi pada Minggu pagi, 9 Agustus lalu. Ratusan warga saling pukul dan main parang dengan para satuan pengamanan (satpam) beserta puluhan orang sipil di sekitar pacuan kuda, Pulomas, Jakarta Timur.
Keributan baru berhenti begitu ada warga terluka parah. Tangan warga itu, Alfian Surianto, 21 tahun, berlumuran darah. "Setelah lima belas menit tak sadarkan diri, baru saya ingat, telapak tangan kanan saya hilang," tutur pemuda yang mengaku korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Yasonta, Pulogadung, itu.
Rekan-rekannya segera menemukan potongan tangan itu, tergeletak di balik semak. Alfian dibawa ke rumah sakit. Malamnya, setelah dioperasi selama 13 jam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, telapak tangan Alfian bersambung lagi dengan tangannya. "Terpaksa kami menanggung sendiri biayanya," tutor Siboru Simamora, ibu Alfian.
Belum jelas, siapa yang memulai bentrok berdarah itu. Menurut teman Alfian, Abey Butar-butar, 35 tahun, para satpam dan karyawan PT Pulomas Jaya yang lebih dulu menyerang. Waktu itu, Abey dan para warga sedang mencangkuli tanah di sekitar pacuan kuda, yang sebelumnya sudah mereka patoki. Tiba-tiba, para satpam dan karyawan menyerbu, dengan membawa parang, golok, samurai, dan celurit.
Alfian sendiri mengaku masih berada di luar lokasi. Ketika ia melihat kakaknya, Hendrik, dikeroyok penyerang, Alfian berusaha menolong. Mendadak, seorang lelaki berbadan tegap membatalkan golok ke tangan Alfian. Hendrik bisa lari, kendati kedua pahanya terbacok parang.
Lain lagi versi satpam PT Pulomas Jaya-pengelola tanah Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta itu. Pagi itu, dengan bersenjata golok, satpam dan karyawan membersihkan patok-patok warga di areal tersebut. Kegiatan itu diawasi terus oleh sekitar 50 orang polisi dan tentara. Tahu-tahu, ratusan warga yang membawa aneka senjata tajam menyerang mereka.
Sebetulnya, menurut Barjo, Kepala Keamanan PT Pulomas Jaya, aktivitas warga mematoki lahan seluas dua hektare di sekitar pacuan kuda sudah berlangsung sejak Senin, 3 Agustus lalu. Bila ditegur dan diberitahu bahwa tanah itu milik pemda, para warga malah balik meradang.
Pematokan semakin menjadi jadi setelah ada berita koran edisi 6 Agustus lalu tentang pernyataan Gubernur DKI Sutiyoso yang membolehkan warga menggarap lahan tidur. Mereka ada yang datang berjalan kaki, menggunakan angkutan umum, mengendarai sepeda motor dan mobil pribadi. Ada dari daerah sekitarnya, dari Senen, Pulogadung, atau Bekasi.
Tak cuma di sekitar pacuan kuda terjadi pematokan lahan. Lahan di sepanjang pinggir sungai di Pulomas Barat dan di pinggiran waduk di Pulomas Utara juga dikaplingi warga. Mulanya memang tanam-tanam, "Tapi lama-lama mereka bikin rumah di lahan itu," ucap Barjo, khawatir. Contohnya, lahan yang dipatoki warga di camping Universitas Jakarta di Pulomas Barat 6. Di situ, kini sudah berdiri rumah-rumah.
* Untuk Ditanami
Namun, Abey dan rekan-rekan mengaku bahwa mereka semata-mata hendak menanami lahan itu dengan sayur-mayur ataupun palawija. "Kami bukan penjarah lahan. Kami tidak ingin keributan. Daripada menganggur, lebih baik kami menggarap tanah itu," kata Joni. Abey menimpali, "Daripada lahan tidur itu dibiarkan jadi belukar."
S. boru Simamora juga mengutarakan maksud serupa. Karena anak-anaknya dikenakan PHK, dia mengaku menyambung hidup dengan mencoba menggarap lahan tersebut. "Boro-boro bakal membangun rumah di situ, buat makan saja susah," ucapnya. Tapi, ibu Simamora mengaku pula kini dia mengurungkan niatnya, setelah Alfian kena musibah.
Yang jelas, Abey dan 56 orang rekannya pantang surut. Mereka mengajukan permohonan untuk menggarap lahan tadi ke PT Pulomag Jaya dan Camat Pulogadung. Mereka berjanji akan meninggalkan lokasi, tanpa menuntut ganti rugi, bila PT Pulomas Jaya akan memanfaatkan kembali lahan tersebut.
Wali Kota Jakarta Timur Sudarsono mengaku masih mempelajari permohonan itu. "Sepanjang digunakan untuk pertanian, kami akan mengizinkan. Namun, diprioritaskan untuk warga yang tinggal dekat lokasi," katanya.
Tanggapan senada juga diutarakan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Menurut Sutiyoso, lahan tidur milik pemda bisa ditanami tanaman semusim oleh warga yang terkena PHK atau yang kesulitan akibat krisis ekonomi.
Tapi, "Bukan untuk dimiliki: " ujarnya. Dan, "Jangan main patok, tanpa seizin pemilik atau pengelolanya. Itu penjarahan. Pakai prosedur yang ada."
Di Jakarta, kini ada 2.567 hektare lahan tidur milik pemda. Lahan itu tersebar di sekitar enam ribu lokasi di lima wilayah Jakarta. Selain tanah pemda, lahan tidur milik swasta properti pun boleh digarap warga. Asalkan itu tadi, seizin pemiliknya, tidak untuk dimiliki dan harus dikembalikan bila si empunya membutuhkan kembali. Untuk itu, kabarnya, bakal keluar keputusan presiden.
Tak hanya di Jakarta ditempuh upaya mengatasi kemungkinan tanah dijarah, selain jpga untuk mengurangi beban masyarakat akibat krisis ekonomi. Di Sumedang, Jawa Barat, pemda setempat menawarkan 100 hektare lahan tidur untuk digarap petani. Dan, di Sukabumi, beberapa perusahaan pemilik lahan luas juga menyewakan tanahnya dengan harga murah kepada petani.
Sementara itu, di Jawa Timur, pihak Perhutani II melibatkan pondok pesantren dan koperasi untuk mengelola dan mengamankan hutan jati. Soalnya, penyerobotan tanah dan penjarahan kayu jati semakin marak di Bojonegoro dan Banyuwangi.
Begitupun, rentetan pematokan dan pengkaplingan lahan oleh warga tak kunjung susut. Lahan perkebunan cokelat PTP Nusantara XII di Malang, Jawa Timur, misalnya, dibagi-bagi warga.
Demikian pula tanah seluas 314 hektare dari lahan seluas 1.327 hektare milik PD Banongan, yang ditanami tebu oleh CV Dan, son. Sekitar 300 warga dari sembilan desa di Situbondo, Jawa Timur, rame-rame menanami jagung. Para warga tetap menganggap lahan perkebunan tebu itu merupakan warisan nenek moyang mereka.
Laporan Ondy A. Saputra (Jakarta), Rudianto Pangaribuan (Bandung) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980822-001/Hal. 70 Rubrik Hukum
TANPA menghiraukan tembakan peringatan polisi, bentrok fisik itu terjadi pada Minggu pagi, 9 Agustus lalu. Ratusan warga saling pukul dan main parang dengan para satuan pengamanan (satpam) beserta puluhan orang sipil di sekitar pacuan kuda, Pulomas, Jakarta Timur.
Keributan baru berhenti begitu ada warga terluka parah. Tangan warga itu, Alfian Surianto, 21 tahun, berlumuran darah. "Setelah lima belas menit tak sadarkan diri, baru saya ingat, telapak tangan kanan saya hilang," tutur pemuda yang mengaku korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Yasonta, Pulogadung, itu.
Rekan-rekannya segera menemukan potongan tangan itu, tergeletak di balik semak. Alfian dibawa ke rumah sakit. Malamnya, setelah dioperasi selama 13 jam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, telapak tangan Alfian bersambung lagi dengan tangannya. "Terpaksa kami menanggung sendiri biayanya," tutor Siboru Simamora, ibu Alfian.
Belum jelas, siapa yang memulai bentrok berdarah itu. Menurut teman Alfian, Abey Butar-butar, 35 tahun, para satpam dan karyawan PT Pulomas Jaya yang lebih dulu menyerang. Waktu itu, Abey dan para warga sedang mencangkuli tanah di sekitar pacuan kuda, yang sebelumnya sudah mereka patoki. Tiba-tiba, para satpam dan karyawan menyerbu, dengan membawa parang, golok, samurai, dan celurit.
Alfian sendiri mengaku masih berada di luar lokasi. Ketika ia melihat kakaknya, Hendrik, dikeroyok penyerang, Alfian berusaha menolong. Mendadak, seorang lelaki berbadan tegap membatalkan golok ke tangan Alfian. Hendrik bisa lari, kendati kedua pahanya terbacok parang.
Lain lagi versi satpam PT Pulomas Jaya-pengelola tanah Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta itu. Pagi itu, dengan bersenjata golok, satpam dan karyawan membersihkan patok-patok warga di areal tersebut. Kegiatan itu diawasi terus oleh sekitar 50 orang polisi dan tentara. Tahu-tahu, ratusan warga yang membawa aneka senjata tajam menyerang mereka.
Sebetulnya, menurut Barjo, Kepala Keamanan PT Pulomas Jaya, aktivitas warga mematoki lahan seluas dua hektare di sekitar pacuan kuda sudah berlangsung sejak Senin, 3 Agustus lalu. Bila ditegur dan diberitahu bahwa tanah itu milik pemda, para warga malah balik meradang.
Pematokan semakin menjadi jadi setelah ada berita koran edisi 6 Agustus lalu tentang pernyataan Gubernur DKI Sutiyoso yang membolehkan warga menggarap lahan tidur. Mereka ada yang datang berjalan kaki, menggunakan angkutan umum, mengendarai sepeda motor dan mobil pribadi. Ada dari daerah sekitarnya, dari Senen, Pulogadung, atau Bekasi.
Tak cuma di sekitar pacuan kuda terjadi pematokan lahan. Lahan di sepanjang pinggir sungai di Pulomas Barat dan di pinggiran waduk di Pulomas Utara juga dikaplingi warga. Mulanya memang tanam-tanam, "Tapi lama-lama mereka bikin rumah di lahan itu," ucap Barjo, khawatir. Contohnya, lahan yang dipatoki warga di camping Universitas Jakarta di Pulomas Barat 6. Di situ, kini sudah berdiri rumah-rumah.
* Untuk Ditanami
Namun, Abey dan rekan-rekan mengaku bahwa mereka semata-mata hendak menanami lahan itu dengan sayur-mayur ataupun palawija. "Kami bukan penjarah lahan. Kami tidak ingin keributan. Daripada menganggur, lebih baik kami menggarap tanah itu," kata Joni. Abey menimpali, "Daripada lahan tidur itu dibiarkan jadi belukar."
S. boru Simamora juga mengutarakan maksud serupa. Karena anak-anaknya dikenakan PHK, dia mengaku menyambung hidup dengan mencoba menggarap lahan tersebut. "Boro-boro bakal membangun rumah di situ, buat makan saja susah," ucapnya. Tapi, ibu Simamora mengaku pula kini dia mengurungkan niatnya, setelah Alfian kena musibah.
Yang jelas, Abey dan 56 orang rekannya pantang surut. Mereka mengajukan permohonan untuk menggarap lahan tadi ke PT Pulomag Jaya dan Camat Pulogadung. Mereka berjanji akan meninggalkan lokasi, tanpa menuntut ganti rugi, bila PT Pulomas Jaya akan memanfaatkan kembali lahan tersebut.
Wali Kota Jakarta Timur Sudarsono mengaku masih mempelajari permohonan itu. "Sepanjang digunakan untuk pertanian, kami akan mengizinkan. Namun, diprioritaskan untuk warga yang tinggal dekat lokasi," katanya.
Tanggapan senada juga diutarakan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Menurut Sutiyoso, lahan tidur milik pemda bisa ditanami tanaman semusim oleh warga yang terkena PHK atau yang kesulitan akibat krisis ekonomi.
Tapi, "Bukan untuk dimiliki: " ujarnya. Dan, "Jangan main patok, tanpa seizin pemilik atau pengelolanya. Itu penjarahan. Pakai prosedur yang ada."
Di Jakarta, kini ada 2.567 hektare lahan tidur milik pemda. Lahan itu tersebar di sekitar enam ribu lokasi di lima wilayah Jakarta. Selain tanah pemda, lahan tidur milik swasta properti pun boleh digarap warga. Asalkan itu tadi, seizin pemiliknya, tidak untuk dimiliki dan harus dikembalikan bila si empunya membutuhkan kembali. Untuk itu, kabarnya, bakal keluar keputusan presiden.
Tak hanya di Jakarta ditempuh upaya mengatasi kemungkinan tanah dijarah, selain jpga untuk mengurangi beban masyarakat akibat krisis ekonomi. Di Sumedang, Jawa Barat, pemda setempat menawarkan 100 hektare lahan tidur untuk digarap petani. Dan, di Sukabumi, beberapa perusahaan pemilik lahan luas juga menyewakan tanahnya dengan harga murah kepada petani.
Sementara itu, di Jawa Timur, pihak Perhutani II melibatkan pondok pesantren dan koperasi untuk mengelola dan mengamankan hutan jati. Soalnya, penyerobotan tanah dan penjarahan kayu jati semakin marak di Bojonegoro dan Banyuwangi.
Begitupun, rentetan pematokan dan pengkaplingan lahan oleh warga tak kunjung susut. Lahan perkebunan cokelat PTP Nusantara XII di Malang, Jawa Timur, misalnya, dibagi-bagi warga.
Demikian pula tanah seluas 314 hektare dari lahan seluas 1.327 hektare milik PD Banongan, yang ditanami tebu oleh CV Dan, son. Sekitar 300 warga dari sembilan desa di Situbondo, Jawa Timur, rame-rame menanami jagung. Para warga tetap menganggap lahan perkebunan tebu itu merupakan warisan nenek moyang mereka.
Laporan Ondy A. Saputra (Jakarta), Rudianto Pangaribuan (Bandung) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980822-001/Hal. 70 Rubrik Hukum
Comments