Drama Marsinah yang Belum Selesai
Kasus kematian buruh Marsinah masih menjadi tanda tanya besar. Wakil Ketua Tim Penyelidikan Kasus Marsinah II sedang berupaya mencari Jawabnya.
KISAH Marsinah belum lagi selesai. Drama tentang kematiannya masih berakhir dengan open ending, ailas mengambang. Bahkan, Wakil Ketua Tim Penyelidikan Kasus Marsinah II Letkol (Pol.) Sapdoni, pada Seminar Marsinah Mengguat yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukurn Surabaya awal Juni silam, mengaku betapa berbedanya hasil penyidikan babak pertama dengan babak kedua. Jika memang ada perbedaan-perbedaan itu, bukan saja jalan menuju ke pengungkapan pembunuhan Marsinah penuh gerunjal, tetapi kasus ini terancam terlupakan kalau kita tak terus-menerus menagih kepada pemerintah.
Tentu kita belum lupa, di suatu hari yang kelam, 9 Mei 1993 jenazah aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik yang terletak di Porong, Sidoarjo, itu ditemukan di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk--200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah tampaknya meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Setelah berbulan-bulan tak ada kabar berita--kecuali protes dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menuntut pengungkapan kasus ini--tiba-tiba saja terjadi penggerebekan oleh pihak keamanan berpakaian preman dari pusat (bukan dari Jawa Timur). Mereka menangkap dan menahan para karyawan dan direktur PT CPS, termasuk Mutiari, Kepala Personalia PT CPS yang tengah hamil tiga bulan. Delapan orang "tersangka" itu dianggap "hilang" selama 18 hari tanpa diketahui siapa yang membawa dan dibawa ke mana hingga akhirnya pada hari ke-l9 mereka dinyatakan ditahan pihak kepolisian Jawa Timur.
Selanjutnya seperti yang sudah tertulis di media massa empat tahun silam, sulit untuk mempercayai berita acara pemeriksaan (BAP) resmi yang menuduh Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong, adalah otak pembunuhan. Dan, seperti yang diakui para tersangka itu, mereka diculik dan-kecuali Mutiari--disiksa oleh aparat di markas Dan Intel Kodam V Brawijaya agar mengakui "perbuatan" pembunuhan itu. Cara penangkapan dan penyiksaan itu, menurut sejumlah pakar hukum termasuk pengacara T. Mulya Lubis, menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pada tahun 1994, setelah divonis hukuman penjara, akhirnya Yudi Susanto dkk. dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Namun, kasus ini toh tetap saja gelap. Yang terus-menerus mengingatkan "kegelapan" ini tentu saja masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau yayasan serta seniman yang tak henti-hentinya memperingati kematian Marsinah itu.
* Marsinah dan Kejanggalan Kasusnya
Siapakah sesungguhnya Marsinah, sehingga kasusnya diributkan tak putus-putusnya? Ia adalah gadis sederhana kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Dibesarkan dan menyelesaikan pendidikannya di kota kelahirannya. Selain hobi membaca, lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk ini dikenal sebagai pekerja keras dan tak mengenal takut. Mungkin karena keberaniannya itulah yang membuat Marsinah tak layu dihalau satpam saat memimpin aksi memperjuangkan hak kaum buruh pada 4 Mei 1993 yang--diduga orang--berbuntut pembunuhan terhadap dirinya.
Aksi dimulai 3 Mei 1993: 18 buruh mencegah teman-temannya bekerja. Kemudian koramil setempat"mengamankan situasi" Esoknya, para buruh mogok total dan mengajukan 12 poin tuntutan, antara lain menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250, tunjangan tetap Rp 550 per hari, dan tuntutan lain: setelah pemogokan itu, perusahaan diminta tidak memutasi, mengintimidasi, dan memecat karyawan Adalah Marsinah, 23 tahun, yang berusaha keras untuk mengegolkan usaha tersebut.
Marsinah akhirnya berhasil bertemu dengan Yudi Astono, direktur pabrik. Pada 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut digiring ke Kodim Sidoarjo; dituduh mengadakan rapat gelap dan menghasut karyawan. Mereka diminta mundur dari PT CPS dan akhirnya para buruh itu diberi pesangon di kantor kodim dengan kehadiran Yudi Astono. Pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00, Marsinah menyampaikan surat kepada direktur pabrik yang antara lain mempertanyakan kesepakatan penyelesaian aksi mogok yang berakhir dengan pemaksaan pengunduran diri terhadap 13 rekannya itu. Dan, sejak hari itulah Marsinah lenyap sampai mayatnya ditemukan di Nganjuk.
Apa yang janggal dari semua ini? Menurut Trimoelja D. Soerjadi--yang di masa pengadilan kasus Marsinah bertindak sebagai pengacara Yudi Susanto--jika ingin mengungkap kasus Marsinah, harus ada kesediaan pihak ABRI untuk memeriksa sejumlah aparatnya yang terlibat dalam penangkapan dan penyiksaan para terdakwa sipil. "Jika pihak angkatan darat tidak mau memeriksa aparat, ya, kasus ini tetap tak akan terungkap," kata Trimoelya kepada D&R.
Menurut Trimoelja, kasus Marsinah menjadi tak tersentuh keadilan karena sejak awal pada kasus tersebut sudah terjadi kejanggalan dengan cara penangkapan delapan tersangka, termasuk Yudi Susanto, yang tidak sah. "Mengapa sampai berbulan-bulan kematian Marsinah tidak bisa diungkap polisi, ini yang harus dijawab," tutur Trimoelja. Selain itu, kejanggalan lain, menurut Trimoelja, adalah mengapa pihak militer menutupi kejadian yang sebenarnya dengan cara menangkapi orang yang tidak bersalah.
Gelapnya kasus Marsinah ini, menurut Trimoelja, juga disebabkan karena polisi tidak mandiri . "Selama polisi di bawah ABRI saya pesimistis kasus Marsinah bisa terungkap," kata Trimoelja. Trimoelja yakin ada kerja sama antara polisi dan militer dalam penanganan awal kasus Marsinah, karena "BAP dibuat di Dan Intel tapi kok BAP-nya kop polisi," kata Trimoelja dengan nada protes. Hal teknis lain yang dipersoalkan Trimoelja adalah masalah pemeriksaan DNA. Saat Trimoelja menjadi saksi, ia melihat Tim Laboratorium Forensik Polri menemukan ceceran darah di lantai kodim. Sampel darah itu dites DNA-nya untuk mencari tahu apakah itu sampel darah Marsinah atau bukan. Sampel darah itu, menurut Letkol Sapdoni dalam seminar Marsinah Menggugat awal Juni lalu, sudah dibawa ke Inggris. "Tapi negatif, karena terkontaminasi. Kalau Pak Tri mau melihat datanya, ada di kantor Polda," tutur Sapdoni.
* Penyidikan Kasus Marsinah II
"Kalau penyelidikan babak I saya tidak bisa komentar," kata Sapdoni di dalam seminar Marsinah Menggugat di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Tetapi, ia menjelaskan keseriusan penyelidikan bagian II ini dengan kisah bagaimana mereka melakukan bongkar mayat, membawanya ke Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya dalam kondisi sudah hancur, untuk kemudian diteliti Prof. Dr. Harun, dibantu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Selain itu, ditemukan adanya benturan benda keras hingga tulang selangkangan dan tulang kemaluannya hancur. Juga diperoleh informasi bahwa golongan darah mayat itu adalah A; padahal pada pemeriksaan pertama golongan darah dinyatakan B. Jadi, pertanyaannya apakah jenazah itu memang benar Marsinah, buruh PT CPS? Namun, pembongkaran mayat itu disaksikan oleh pihak keluarga, yang sebelumnya sudah mengenali mayat itu adalah Marsinah, maka--seperti disampaikan Letkol (Pol.) Sapdoni, "Kami yakin itu Marsinah."
Yang menarik, Sapdoni mengaku bahwa mereka akan membentuk Tim Koneksitas dalam rangka terus mengungkap kasus Marsinah ini. Apa pula Tim Koneksitas itu? Selama ini, menurut Sapdoni, pihaknya baru melakukan koordinasi saja dengan pihak kodam, tetapi dengan Tim Koneksitas ini direncanakan akan terdiri dari orang dari kejaksaan, penyidik Polri, oditur militer, Dan POM ABRI. Dan untuk itu, diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, dan Kapolri. Sapdoni belum tahu pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan izin itu.
Menurut Sapdoni, kasus Marsinah itu, "Memenuhi untuk dibentuk tim itu, karena persoalannya memang pelik sekali." Trimoelja mengatakan apa pun yang dikatakannya tentang kecurigaannya terhadap aparat, ia tetap tidak melupakan asas praduga tak bersalah. Buat dia, yang penting adanya kesungguhan dari semua pihak untuk mengungkap kasus ini dengan tuntas. Dan, halaman buku kisah Marsinah pun akan terus terbuka....
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980627-045/Hal. 24 Rubrik Liputan Utama
KISAH Marsinah belum lagi selesai. Drama tentang kematiannya masih berakhir dengan open ending, ailas mengambang. Bahkan, Wakil Ketua Tim Penyelidikan Kasus Marsinah II Letkol (Pol.) Sapdoni, pada Seminar Marsinah Mengguat yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukurn Surabaya awal Juni silam, mengaku betapa berbedanya hasil penyidikan babak pertama dengan babak kedua. Jika memang ada perbedaan-perbedaan itu, bukan saja jalan menuju ke pengungkapan pembunuhan Marsinah penuh gerunjal, tetapi kasus ini terancam terlupakan kalau kita tak terus-menerus menagih kepada pemerintah.
Tentu kita belum lupa, di suatu hari yang kelam, 9 Mei 1993 jenazah aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik yang terletak di Porong, Sidoarjo, itu ditemukan di sebuah gubuk di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk--200 kilometer dari tempatnya bekerja. Menurut hasil otopsi Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Marsinah tampaknya meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan. Ia diduga tewas karena tusukan benda runcing, perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek, dan tulang kelamin bagian depannya hancur.
Setelah berbulan-bulan tak ada kabar berita--kecuali protes dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menuntut pengungkapan kasus ini--tiba-tiba saja terjadi penggerebekan oleh pihak keamanan berpakaian preman dari pusat (bukan dari Jawa Timur). Mereka menangkap dan menahan para karyawan dan direktur PT CPS, termasuk Mutiari, Kepala Personalia PT CPS yang tengah hamil tiga bulan. Delapan orang "tersangka" itu dianggap "hilang" selama 18 hari tanpa diketahui siapa yang membawa dan dibawa ke mana hingga akhirnya pada hari ke-l9 mereka dinyatakan ditahan pihak kepolisian Jawa Timur.
Selanjutnya seperti yang sudah tertulis di media massa empat tahun silam, sulit untuk mempercayai berita acara pemeriksaan (BAP) resmi yang menuduh Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong, adalah otak pembunuhan. Dan, seperti yang diakui para tersangka itu, mereka diculik dan-kecuali Mutiari--disiksa oleh aparat di markas Dan Intel Kodam V Brawijaya agar mengakui "perbuatan" pembunuhan itu. Cara penangkapan dan penyiksaan itu, menurut sejumlah pakar hukum termasuk pengacara T. Mulya Lubis, menyalahi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pada tahun 1994, setelah divonis hukuman penjara, akhirnya Yudi Susanto dkk. dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Namun, kasus ini toh tetap saja gelap. Yang terus-menerus mengingatkan "kegelapan" ini tentu saja masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau yayasan serta seniman yang tak henti-hentinya memperingati kematian Marsinah itu.
* Marsinah dan Kejanggalan Kasusnya
Siapakah sesungguhnya Marsinah, sehingga kasusnya diributkan tak putus-putusnya? Ia adalah gadis sederhana kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Dibesarkan dan menyelesaikan pendidikannya di kota kelahirannya. Selain hobi membaca, lulusan SMA Muhammadiyah Nganjuk ini dikenal sebagai pekerja keras dan tak mengenal takut. Mungkin karena keberaniannya itulah yang membuat Marsinah tak layu dihalau satpam saat memimpin aksi memperjuangkan hak kaum buruh pada 4 Mei 1993 yang--diduga orang--berbuntut pembunuhan terhadap dirinya.
Aksi dimulai 3 Mei 1993: 18 buruh mencegah teman-temannya bekerja. Kemudian koramil setempat"mengamankan situasi" Esoknya, para buruh mogok total dan mengajukan 12 poin tuntutan, antara lain menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250, tunjangan tetap Rp 550 per hari, dan tuntutan lain: setelah pemogokan itu, perusahaan diminta tidak memutasi, mengintimidasi, dan memecat karyawan Adalah Marsinah, 23 tahun, yang berusaha keras untuk mengegolkan usaha tersebut.
Marsinah akhirnya berhasil bertemu dengan Yudi Astono, direktur pabrik. Pada 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut digiring ke Kodim Sidoarjo; dituduh mengadakan rapat gelap dan menghasut karyawan. Mereka diminta mundur dari PT CPS dan akhirnya para buruh itu diberi pesangon di kantor kodim dengan kehadiran Yudi Astono. Pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00, Marsinah menyampaikan surat kepada direktur pabrik yang antara lain mempertanyakan kesepakatan penyelesaian aksi mogok yang berakhir dengan pemaksaan pengunduran diri terhadap 13 rekannya itu. Dan, sejak hari itulah Marsinah lenyap sampai mayatnya ditemukan di Nganjuk.
Apa yang janggal dari semua ini? Menurut Trimoelja D. Soerjadi--yang di masa pengadilan kasus Marsinah bertindak sebagai pengacara Yudi Susanto--jika ingin mengungkap kasus Marsinah, harus ada kesediaan pihak ABRI untuk memeriksa sejumlah aparatnya yang terlibat dalam penangkapan dan penyiksaan para terdakwa sipil. "Jika pihak angkatan darat tidak mau memeriksa aparat, ya, kasus ini tetap tak akan terungkap," kata Trimoelya kepada D&R.
Menurut Trimoelja, kasus Marsinah menjadi tak tersentuh keadilan karena sejak awal pada kasus tersebut sudah terjadi kejanggalan dengan cara penangkapan delapan tersangka, termasuk Yudi Susanto, yang tidak sah. "Mengapa sampai berbulan-bulan kematian Marsinah tidak bisa diungkap polisi, ini yang harus dijawab," tutur Trimoelja. Selain itu, kejanggalan lain, menurut Trimoelja, adalah mengapa pihak militer menutupi kejadian yang sebenarnya dengan cara menangkapi orang yang tidak bersalah.
Gelapnya kasus Marsinah ini, menurut Trimoelja, juga disebabkan karena polisi tidak mandiri . "Selama polisi di bawah ABRI saya pesimistis kasus Marsinah bisa terungkap," kata Trimoelja. Trimoelja yakin ada kerja sama antara polisi dan militer dalam penanganan awal kasus Marsinah, karena "BAP dibuat di Dan Intel tapi kok BAP-nya kop polisi," kata Trimoelja dengan nada protes. Hal teknis lain yang dipersoalkan Trimoelja adalah masalah pemeriksaan DNA. Saat Trimoelja menjadi saksi, ia melihat Tim Laboratorium Forensik Polri menemukan ceceran darah di lantai kodim. Sampel darah itu dites DNA-nya untuk mencari tahu apakah itu sampel darah Marsinah atau bukan. Sampel darah itu, menurut Letkol Sapdoni dalam seminar Marsinah Menggugat awal Juni lalu, sudah dibawa ke Inggris. "Tapi negatif, karena terkontaminasi. Kalau Pak Tri mau melihat datanya, ada di kantor Polda," tutur Sapdoni.
* Penyidikan Kasus Marsinah II
"Kalau penyelidikan babak I saya tidak bisa komentar," kata Sapdoni di dalam seminar Marsinah Menggugat di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Tetapi, ia menjelaskan keseriusan penyelidikan bagian II ini dengan kisah bagaimana mereka melakukan bongkar mayat, membawanya ke Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya dalam kondisi sudah hancur, untuk kemudian diteliti Prof. Dr. Harun, dibantu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.
Selain itu, ditemukan adanya benturan benda keras hingga tulang selangkangan dan tulang kemaluannya hancur. Juga diperoleh informasi bahwa golongan darah mayat itu adalah A; padahal pada pemeriksaan pertama golongan darah dinyatakan B. Jadi, pertanyaannya apakah jenazah itu memang benar Marsinah, buruh PT CPS? Namun, pembongkaran mayat itu disaksikan oleh pihak keluarga, yang sebelumnya sudah mengenali mayat itu adalah Marsinah, maka--seperti disampaikan Letkol (Pol.) Sapdoni, "Kami yakin itu Marsinah."
Yang menarik, Sapdoni mengaku bahwa mereka akan membentuk Tim Koneksitas dalam rangka terus mengungkap kasus Marsinah ini. Apa pula Tim Koneksitas itu? Selama ini, menurut Sapdoni, pihaknya baru melakukan koordinasi saja dengan pihak kodam, tetapi dengan Tim Koneksitas ini direncanakan akan terdiri dari orang dari kejaksaan, penyidik Polri, oditur militer, Dan POM ABRI. Dan untuk itu, diperlukan izin dari Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, dan Kapolri. Sapdoni belum tahu pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan izin itu.
Menurut Sapdoni, kasus Marsinah itu, "Memenuhi untuk dibentuk tim itu, karena persoalannya memang pelik sekali." Trimoelja mengatakan apa pun yang dikatakannya tentang kecurigaannya terhadap aparat, ia tetap tidak melupakan asas praduga tak bersalah. Buat dia, yang penting adanya kesungguhan dari semua pihak untuk mengungkap kasus ini dengan tuntas. Dan, halaman buku kisah Marsinah pun akan terus terbuka....
Laporan Zed Abidin dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980627-045/Hal. 24 Rubrik Liputan Utama
Comments