Skip to main content

Korban Lain di Tengah Kerusuhan

Dalam aksi-aksi kerusuhan, massa bisa menyerang siapa saja, termasuk wartawan. Korban pun bisa siapa saja, termasuk remaja yang bernama Adam.

KERUSUHAN dan keberingasan kadang menimbulkan korban yang tak diduga-duga. Adam Khaeruddin misalnya. Remaja berusia 17 tahun yang tinggal di bilangan Jalan Warungbuncit Raya, Jakarta Selatan, itu semula tidur lelap di rumahnya. Tapi, begitu ada keributan di pinggir jalan di mulut gang tempat ia tinggal, Adam terbangun. Ia pun segera menghambur keluar. "Sudah saya larang, tapi tetap saja dia ingin keluar," kata Ny. Ani, ibu Adam, mengenang peristiwa yang terjadi pada Selasa, 20 Mei lalu itu.

Tidak lama kemudian, kegaduhan yang lebih memekakkan terdengar di luar rumah Ny. Ani. Kali itu ada orang-orang yang berteriak memanggil nama suami Ny. Ani: "Bang Ali, Bang Ali, Adam tertembak."

Keruan saja kegaduhan itu membuat Ny. Ani dan suaminya bergegas ke luar rumah. Suami-istri itu menemukan anaknya di gendongan tetangganya dalam keadaan berlumuran darah. "Sebuah lubang terlihat di dadanya dan lubang yang lebih besar ada di punggungnya," ujar Ny. Ani, yang ketika ditemui Wartawan D&R masih dalam keadaan berduka.

Saat itu juga Adam dibawa ke klinik 24 jam yang ada di dekat rumah mereka. Berhubung luka yang dideritanya parah, Adam dibawa ke RS Siaga Raya, masih di sekitar Jalan Warungbuncit. Dalam perjalanan itulah nyawa Adam tidak tertolong.

Menurut teman dekat Adam, sebut saja Dadang, yang menyaksikan peristiwa penembakan tersebut, pada sore hari kejadian itu keadaan di sepanjang Jalan Warungjati Timur memang kacau balau. Ribuan massa berlarian dari Jalan Warungbuncit Raya, setelah melempari petugas dengan batu. Hari itu, massa PPP memang turun ke jalan, walau DPW PPP DKI Jakarta tidak menggelar kampanye.

Pada saat huru-hara itulah Adam muncul dari mulut gang dan bergabung dengan kerumunan massa. Petugas keamanan, menurut Dadang yang teman sepermainan Adam, mengejar massa sampai ke dalam Jalan Warungjati Timur. Sambil melakukan pengejaran, petugas keamanan melepaskan tembakan peringatan.

Adam yang berlarian di tengah kerumunan massa terjatuh di dekat sebuah toko material, sekitar 500 meter dari Jalan Warungbuncit Raya. Setelah terjatuh, korban tidak bisa segera bangkit karena kacamata minus lima yang dipakainya ikut jatuh. Dalam kesibukan mencari-cari kacamata itulah sebutir peluru menghunjam dadanya.

Meskipun mendapat tembakan, Adam masih berusaha melarikan diri. Ia masuk ke gang dan berusaha memanjat pagar toko material untuk bersembunyi. Namun, usahanya gagal. Luka yang dideritanya membuat Adam terkapar di pinggir pagar.

Siapakah yang melepaskan tembakan? Menurut Dadang, penembak itu adalah salah seorang dari empat atau lima polisi yang sejak awal mengawasi kerumunan yang ada di mulut jalan tersebut. Namun, Kepala Dinas Penerangan Polri Brigjen Nurfaizi menolak tuduhan bahwa pihak kepolisianlah yang melepaskan tembakan. "Bisa saja ada perusuh yang membawa senjata," kata Nurfaizi kepada Wartawan D&R Achmad Nur Sobirin.

Menurut Nurfaizi, setiap peluru yang dikeluarkan oleh ABRI harus dipertanggungjawabkan. "Tapi, dalam keadaan terpaksa dan terdesak serta mengancam jiwa seseorang bisa dibenarkan polisi melakukan penembakan," katanya.

Memang, ibarat setumpuk batang korek api, massa siap dibakar oleh siapa saja dalam situasi seperti itu. Kerusuhan seperti itu tidak hanya terjadi di Jakarta atau Banjarmasin, tapi juga di kota kecamatan, seperti Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ketika itu, 23 Mei lalu, ribuan pendukung PPP sedang melakukan aksi konvoi.

Yang bernasib malang ketika itu--walau tidak semalang Adam--adalah Musyawir, Wartawan Harian Surabaya Post. Saat itu, ia bertugas meliput kerusuhan yang menyertai aksi kampanye di basis PPP tersebut. Selain Musyawir, pada hari itu juga bertugas beberapa wartawan lain yang memang sudah menduga akan terjadi keributan pada putaran terakhir kampanye PPP.

Para wartawan tadi memusatkan perhatian mereka di Alun-Alun Pogar, Bangil, sekitar satu kilometer sebelah barat pusat kota kecil itu. Menjelang salat Jumat, Bangil sudah mulai "panas". Ratusan, bahkan ribuan, massa beratribut PPP yang menumpang truk-truk berkonvoi di jalan sambil membuat kegaduhan dengan memukul benda apa saja dan memekikkan yel-yel, "Hidup PPP, hidup bintang."

Dalam suasana seperti itu, petugas brigade mobil yang berjaga-jaga di depan pos polisi di pojok alun-alun Bangil menghentikan sebuah truk. Petugas, menurut cerita Musyawir, memperingatkan penumpang truk tersebut untuk tidak membuat kegaduhan karena saat itu orang-orang hendak menunaikan salat Jumat.

Dari perkara teguran itulah muncul kericuhan antara massa dan petugas keamanan. Kericuhan kecil tersebut menjadi besar ketika salat Jumat usai. Dengan teriakan marah dan berbekal batu, massa yang bercampur dengan mereka yang baru usai melakukan salat di Masjid Raya Bangil menghujani petugas keamanan dengan batu dan benda apa saja.

Menghadapi serbuan yang kian mengganas, petugas brigade mobil yang jumlahnya 50 orang terpaksa lari menyelamatkan diri, sambil melepaskan tembakan peringatan. Dalam gerak mundur petugas tadi berlindung pula sejumlah wartawan, yakni dari Surabaya Post, SCTV, Jawa Pos, dan Surya yang berusaha menghindari amukan massa.

Dalam suasana genting tersebut, Musyawir tidak sadar jika jarak antara dirinya dan kerumunan massa semakin dekat. Pada saat itulah sekelompok orang mencoba merampas tustel dan film milik Musyawir. "Karena mereka memaksa, saya lari," kata Musyawir kepada D&R.

Gerakan langkah seribu yang dilakukan Musyawir tersebut mengakibatkan massa yang lain ikut mengejar dan berhasil menangkap wartawan yang sudah berpengalaman 14 tahun itu. Meskipun ia memakai helm--ia sudah mengantisipasi akan terjadi kerusuhan--toh beberapa pukulan sempat mengenai dirinya. Sebuah pukulan dengan kayu balok yang diarahkan ke kepalanya meleset dan membuat tulang pelipisnya retak.

Untung, ada empat orang anggota Barisan Serbaguna (Banser) Ansor yang menyelamatkan Musyawir. "Ini wartawan," teriak anggota Banser Ansor itu sembari menyelamatkan wartawan tersebut ke rumah penduduk. Selain Musyawir, dalam peristiwa kerusuhan di Bangil itu Wartawan dan Kameraman SCTV juga terpaksa menyelamatkan diri karena dikejar massa.

Seperti halnya polisi di Jakarta yang mengaku tidak menembak Adam, seorang pengurus DPC PPP Pasuruan pun meragukan para wartawan itu dipukul pendukung PPP. "Meskipun mereka memakai atribut PPP," kata Imron Rosyadi, Ketua Pembelaan dan Pemenangan Pemilu PPP kepada Wartawan D&R di Surabaya, Zed Abidin.

Di Jakarta, beberapa wartawan juga sempat menjadi sasaran penangkapan oleh petugas keamanan. Seorang Fotografer Majalah Swasembada dan seorang dari majalah Sinar terpaksa berurusan dengan petugas intel karena dicurigai.

Begitu pula dengan seorang Wartawan Media Indonesia, yang "diambil" petugas berpakaian preman ketika sedang meliput kerusuhan pada hari Jumat lalu di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur. Di Surabaya, Pembantu Lepas Majalah Matra Hari Nugroho sempat diinterogasi dan dirampas barang-barang bawaannya--buku dan kaset--oleh petugas berpakaian loreng ketika sedang melintas di depan sekelompok pendukung salah satu organisasi peserta pemilu yang sedang "diperiksa" petugas di pinggir Jalan Urip Sumoharjo, Surabaya.

Memang, keempat wartawan itu akhirnya dilepaskan setelah mereka menjelaskan duduk perkaranya kepada para petugas tersebut.

Adapun kasus yang belum jelas buntutnya dialami oleh Elizabeth Walean, 47 tahun, seorang pendukung Megawati. Rabu siang, 14 Mei lalu, ibu dari dua orang anak itu mengaku diculik oleh empat orang tak dikenal. Saat itu, ia sedang asyik menonton kampanye PPP di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta.

Dengan kaus merah dan ikat kepala bertuliskan PPP, ia ikut menyambut peserta kampanye dengan meneriakkan "Hidup Megawati, hidup Megawati", sambil jari tangan kirinya mengacungkan satu jari dan tangan kanannya tiga jari. Tingkahnya itu ternyata menarik perhatian dua orang yang memakai ikat kepala PPP.

Kedua lelaki tersebut, yang kemudian mengaku anggota Satuan Tugas PPP, ikut menari-nari mengapit Elizabeth. Tak lama kemudian, sebuah mobil warna hijau berjalan mundur ke arah Elizabeth. Pintu mobil dibuka dan Elizabeth pun dipaksa masuk ke dalam mobil yang ternyata sudah berisi dua laki-laki lain.

Dari arah Cawang, mobil dikendarai melalui jalan tol Tanjungpriok. Dalam perjalanan Elizabeth sempat bertanya, mau dibawa ke mana. Namun, pertanyaan tersebut dijawab dengan bentakan. "Ibu jangan banyak bicara, nanti saya tembak!" kata salah satu penculiknya, yang memang terlihat membawa pistol.

Mata Elizabeth ditutup. Akhirnya, mobil berhenti di sebuah tempat. Dan, ketika Elizabeth membuka matanya, ia melihat tulisan Kodim 503 di papan tulis yang ada di ruangan tersebut. Setelah diinterogasi, Elizabeth dibawa ke Kodim Jatinegara. Di sana, ia bertemu dengan Komandan Intel Kapten Sujono.

Setelah mantan suami dan anak-anaknya datang menjemput, akhirnya Elizabeth dipersilakan pulang. Hanya, ia harus menandatangani pernyataan yang isinya tidak akan kampanye dengan atribut berbau Megawati.

Karena merasa diperlakukan semena-mena, Elizabeth akhirnya mengadukan peristiwa penculikan itu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan polisi militer di Guntur, Jakarta Selatan, Senin, 19 Mei lalu. Keesokan harinya, kasus itu dilaporkan LBH Jakarta ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Menurut A.A. Baramuli, Ketua Subkomisi Pemantauan dan Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia Komnas HAM, peristiwa penculikan itu mengandung lima pelanggaran pidana oleh aparatur negara: pelanggaran kemerdekaan pribadi, hak untuk diperlakukan dengan baik selama penahanan, tidak adanya surat perintah penangkapan, kebebasan menyatakan pendapat, dan bebas dari rasa takut.

Karena itu, Baramuli berjanji akan membawa masalah tersebut ke Panglima Kodam Jaya untuk diselesaikan. Ia juga berjanji akan menyebutkan nama keempat oknum yang bertindak di luar jalur hukum itu.

Mudah-mudahan janji Baramuli bukan tergolong "janji kampanye".

Laporan Eko Yulistyo, Gatot Prihanto (Jakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236