Skip to main content

Prof Soetandyo: "Hukum Masih Kehendak Penguasa"

PARA pendiri negara, pada tahun 1945, telah menyepakati konsep dan cita-cita Indonesia sebagai negara hukum. Dengan begitu, kedaulatan tertinggi diakui ada pada hukum. Namun, setelah puluhan tahun negara Indonesia berproses, dan selama itu pula orang mengamati praktik hukum, sudah semakin terwujudkah cita-cita negara hukum?

Secara mendalam, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, 65 tahun, Guru Besar Sosiologi pada Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, mengulas masalah tersebut. Soctandyo, yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pensiun sebagai dosen sejak 30 November lalu.

Masih mengenakan kemeja cokelat muda dan celana cokelat tua (mirip seragam pramuka), ayah tiga orang anak itu diwawancarai Abdul Manan dari D&R, di ruang kerjanya. Berikut petikannya.

Ada anggapan bahwa kebijakan pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan hukum dan demokrasi. Dan pengesampingan itu menimbulkan ekses, seperti kolusi di Mahkamah Agung (MA), atau isu suap hakim. Bagaimana menurut Anda?

Sebetulnya, cita-cita awalnya kan kita menghendaki negara hukum. Artinya, hukum itu supreme. Dus, apa pun mesti ada dalam legitimasinya menurut hukum. Dan, yang namanya hukum esensinya, adalah hasil kesepakatan seluruh warga negara, melalui wakil-wakilnya. Hukum itu bukan kehendak sepihak dari mereka yang tengah berkekuasaan untuk membenarkan langkahnya. Negara hukum harus dilihat padanannya pada the rule of law. Jadi, yang menata seluruhnya itu adalah hukum.

Tapi, kecenderungan, lama-lama (hukum) lebih mencerminkan kehendak sepihak dari mereka yang tengah herkekuasaan. Meskipun. saya tidak mengatakan bahwa yang tengah berkekuasaan itu niatnya mula-mula jelek. Tapi, mereka seperti dikejar target-target, dikejar deadline, keberhasilan pembangunan yang harus sudah tinggal landas pada tahun-tahun ini. Dengan begiu, menunggu kesepakatan-kesepakatan sering tidak sahar. Acap pula target menjadi tujuan tersendiri, sehingga kalau lebih cepat dilakukan, dengan keputusan-keputusan sepihak, dan yang lain itu harus diminta secam taat mengikuti petunjuk dan arahan, terasa ada sesuatu yang dipaksakan.

Lalu hukum tak lagi dipakai sebagai rujukan tentang apa yang telah kita sepakati. Tapi, hukum dipakai sebagai alat pembenar atas apa yang dilakukan. Dan, itu mengena pada seluruh lembag-lembaga hukum, termasuk lembaga pembuatnya: Dewan Perwakilan Rakyat. Supaya cepat, ya sudahlah itu. Kita tahu bahwa DPR ya kemasannya memang Dewan Perwakilan Rakyat, tapi kita juga menanyakan apa betul itu mewakili rakyat ?

Contoh pengesampingan hukum bisa dilihat pada...?

Siapa yang membuat dan siapa yang mengatakan. Siapa yang mengontrol badan pembuatnya (DPR) dan siapa yang mengontrol badan penegaknya (eksekutif). Badan pembuatnya, isinya pensiunan-pensiunan eksekutif juga. Apalagi kalau sampai pada MPR, diangkat oleh eksekutif.

Penekanan pada pertumbuhan ekonomi itu membawa implikasi serius macam apalagi bagi hukum?

Pertumbuhan ekonomi memang memberi suatu kemakmuran. Tapi, kalau tidak dikontrol oleh hukum.... Kalau hukum itu hanya mengontrol sisi produksi dan ekonom, kemakmuran cepat atau lebih cepat diperoleh. Tapi, kalau kemudian distribusinya tidak dikontrol oleh hukum, distribusinya juga akan menuju pada proses tertentu: hanya menggumpal pada titik-titik atau pusat-pusat kenikmatan tertentu. Itu pun kalau asumsinya bahwa hukum bisa mengontrol produksi. Kalau hukum tidak mengontrol produksi, ya....

Banyak kasus membuat orang berkesan bahwa hukum tak lebih sebagai alat politik?

Ya, pelegitimasi. Ada kesan seperti itu. Karena seluruh aparat kehakiman kan terkontrol. Departemen Kehakiman menentukan mutasi, karir, dan penempatan hakim. Meskipun Departemen Kehakiman resminya tidak turut campur pada persoalan subtanstirnya, api kalau ada hakim memutus, misalnya, sesuai dengan prinsip hak asasi, melindungi hak-hak terdakwa, ia minta jaminan bahwa karirnya tidak akan diganggu. Itu bukannya pertanyaan karangan. Ada hakim yang menanyakan begitu ke Komnas HAM. Dari segi konstitusi (UUD 1945), mestinya hukum sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat? Semua itu kalau dalam konstitusi, aturan normatifinya, beres-beres saja. Yang jadi soal kan proses dari yang normatif menjadi implementasi, in conrito pada kasus-kasus konkretnya.

Bagaimana dengan pembinaan hakim oleh MA, tapi gajinya diatur Departemen Kehakiman. Itu merupakan problem mendasar penegakan hukum?

Itu yang saya utarakan dulu. Itu kan sisa zaman kolonial, ketika hakim-hakim harus didatangkan dari Belanda karena pendidikan hukum waktu itu di sana. Datang kemari itu kan harus ada yang membiayai, ada yang memberi perumahan hakim-hakim Belanda itu. Mereka itu yang diminta membenahi peradilan di sini, yang dipegang oleh Depdagrinya kolonial waktu itu. Karena itu, mereka lapornya kepada gubernur jenderal. Tapi, dalam tugas sehari-harinya, ia dikontrol oleh mahkamah agung-nya. Itu yang menjadi kebiasaan waktu itu. Kalau zaman Republik sekarang ini, mestinya surat keputusan pengangkatan dan pemilihannya, ya, dari korps hakim sendiri. Jadi ada otonomi.

Tentang kasus kontroversial seperti kasus Marsinah dan Udin. Bagaimana Anda melihatnya dari segi penegakan hukum?

Dalam kasus Marsinah dan Udin kan peradilan memperoleh pujian. Ketika pada tingkat kasasi diketahui bahwa kasus Marsinah berawal dari penganiayaan tersangka, maka keterangan dan pengakuan pun jadi gugur. Kan akhirnya dilepas semua. Kasus Udin, Anda juga bisa lihat, hakim dan jaksanya menuntut bebas. Persoalannya, hakimnya itu terlindungi atau tidak. Pada kedua kasus itu, Komnas HAM turun tangan untuk menjamin hak masyarakat memperoleh peradilan yang jujur dan benar; fair trial.

Bagaimanapun suatu UU merupakan produk politik. Apa mungkin ada perubahan subtansial pada perangkat hukum selama sistem politik tak berubah?

Saya kira tidak, kalau sistem politiknya tidak mencerminkan apa yang diaspirasikan masyarakat. Jadi tidak terletak pada dewan perwakilanllya. Tapi bagaimana mekanismenya, kok sampai yang duduk di situ si A, B, C. Karena itu, tuntutan awalnya kan pemilihan yang luber dan jurdil. Kalau pemilihan umum diorganisasi oleh pemerintah, diawasi oleh pemerintah, dilitsus oleh pemerintah, artinya oleh eksekutil; yLmg terjanng, ya, kira-kirayang sejajardengan selera politik pemerintah. Belum soal pcndanaannya, kampanye. Lihat saja kenyataannya: apa masyarakat merasakan ada keseimbangan?

Itu kan kritik lama terhadap sistem politik?

Ya. Berarti kritik saja tidak mengubah. Harus ada langkah yang lebih jauh dari sekadar kritik.

Apa perlu semacam kemauan politik yang nyata dan serius dari pemegang kekuasaan?

Tidak hanya kemauan politik pemerintah, tapi juga kemauan politik masyarakat itu sendiri. Mau apa tidak diperlakukan seperti itu?

Konkretnya?

Misalnya, ia menolak kalau hanya diberi kaus kuning, lalu suaranya dijual. Apa berani untuk membuat pilihan sendiri, sekalipun itu nanti berakibat ia tidak terlayani. Semacam gerak dari bawah sendiri.

Bila menilik kemauan politik penguasa, sudah adakah usaha untuk menjadikan hukum sebagai supreme?

Ya, itu kembali pada proses politiknya. Kalau sekarang ini, kita gampang menyerah, dengan menjual ide hanya untuk memperoleh balas jasa seribu-dua ribu, ya, jalannya masih panjang. Masyarakat bersedia menjual hak politiknya demi sebiji kaus, kain satu meter begitu pula masyarakat terpelajarnya bersedia menjual opini hanya untuk memperoleh fasilitas yang tak seberapa menurut ukuran normalnya, perubahan itu makin lama.

Seberapa besar pengaruh kemauan politik pemerintah pada perwujudan negara hukum?

Enggak bisa itu secara statistik dihitung besar-kecilnya. Mesti akan ada dan akan berlangsung secara akumulatif dalam jangka waktu tertentu.

Berarti antara kemauan politik pemerintah dan masyarakat harus seiring?

Kalau tokoh-tokoh elite yang dipercaya sudah bicara dan orang lebih mempercayai itu daripada pernyataan pemerintah, saya kira, bola mulai menggelinding. Kalau sekarang orang lebih mendengarkan yang dikatakan Pak Amien Rais daripada mendengarkan yang dikatakan Pak Harmoko, misalnya, itu kan suatu pergeseran arah pemikiran.

Melihat kenyataan sekarang, tampaknya negara hukum masih jauh dari harapan?

Ya, ini kembali pada persoalan yang ditumbuhkan. Kan bukan sekadar persoalan struktur, struktur neara sebagai negara hukum, tapi juga berkaitan dengan soal kultur: kultur hukum. Sebab, ada ketidakberkembangan di hati sanubari manusia bahwa hukum itu harus didahulukan ketimbang perintah yang mengemban kekuasaan. Saya kira, bukan persoalan struktur, tapi harus dimulai dari kultur hukum. Ttu harus dibangun melalui suatu proses pendidikan. Karena akulturasi sifatnya, perubahan dari sikap,
perubahan penilaian.

Prospek ke depan, apa pelaksanaan dan penegakan hukum juga akan terus begini?

Ya, dilihat saja, apa akan begini teru atau terjadi perubahan mendadak. Tapi, kalau situasinya tidak terkontrol, dengan cara-cara lama tidak bisa jalan, mungkin juga orang akan tergerak untuk memikirkan modus haru, cara baru. Mungkin orang juga memikirkan bagaimanapun hukum mesti dipulihkan kembali, bukan sekadar perintah-perintah politik.

Karena orang tak percaya kepada hukum pula yang menyebabkan timhulnya kerusuhan beberapa waktu lalu?

Ya. Hukum kan mencoba menyelesaikan secara lebih tertib dan heradab. Kalau mekanisme seperti itu tidak dipercaya, dengan cara-cara seperti itu tidak ada penyelesaian, orang barangkali juga menggunakan cara-cara mereka sendiri. Dan, biasanya, kan lebih ekspresif dan instrumental. Artinya, lebih melampiaskan kemarahan daripada suatu tindakan rasional.

D&R, Edisi 980110-021/Hal. 96 Rubrik Wawancara

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236