Skip to main content

Kokain di Kaleng Biskuit

Penyelundupan kokain, senilai Rp 1 miliar lebih, digagalkan oleh Polresta Tanjungperak, Surabaya. Masih ada 40 kilogram kokain senilai Rp 16 miliar yang belum terlacak.

POLRESTA Tanjungperak, Surabaya, membekuk dua wanita penyelundup kokain seberat 2,75 kg. Kedua wanita yang diduga bagian dari jaringan perdagangan kokain itu menyebut beberapa nama mitra bisnis mereka, yang mengaku masih menyimpan 40 kg kokain di Hutan Donggala, Sulawesi Tenggara.

Kokain, jenis termahal narkotik, memang jarang masuk ke Indonesia dibandingkan ganja, heroin, dan ekstasi. Tapi, menurut pengakuan dua wanita itu, mereka mampu menjual kokain di Jakarta seharga Rp 400 juta per kilogram. Itu artinya, 2,75 kg kokain bisa menghasilkan uang lebih dari Rp 1 miliar dan Rp 16 miliar untuk 40 kg yang katanya masih tersembunyi itu. Sayang, dua wanita itu tak tahu di mana persisnya 40 kg kokain itu disimpan. Orang yang tahu persembunyian 40 kg kokain itu masih buron sampai kini.

* Info Telepon Gelap

Penangkapan dua wanita itu bermula dari sebuah telepon gelap yang diterima polisi. Bunyi telepon: ada dua orang wanita penumpang KM Umsini yang membawa kokain. Menurut si penelepon yang mengaku berasal dari Palu, Sulawesi Tenggara, tersebut, kapal itu akan transit di Surabaya pada 12 Desember sebelum menuju tujuan akhir, Jakarta.

Berbekal info itulah, tim dari Polresta Tanjungperak dan Polwiltabes Surabaya mengirim beberapa orang polisi untuk menyambut dua "tamu" di KM Umsini. Tim polisi menumpang kapal pandu, kapal patroli yang biasa menggiring setiap kapal yang memasuki perairan Karangjamuan, Tanjungperak.

Dengan mudah, dua wanita yang kemudian dikenal sebagai Sherly dan Silvy, yang keduanya berusia 30 tahun, dilacak oleh polisi. Gerak-gerik kedua wanita tersebut diikuti dengan cermat, sampai mereka berdua kembali ke kamar nomor 6023 yang terletak di dek kedua. Baru setelah Sherly dan Silvy masuk ke kamarnya, pasukan polisi menggerebek kamar itu dan melakukan penggeledahan hingga ditemukan 2,75 kg kokain dalam kaleng biskuit Khong Guan.

Pada hari itu juga, setelah Sherly dan Silvy digiring ke Polresta Tanjungperak, polisi mendapat tiga nama lagi, yaitu Robyanto Pettalolo, M. Saleh Pettalolo, dan Sadi, yang semuanya tinggal di Donggala, Sulawesi Tenggara. Keesokan harinya, Kapolres Donggala, Letkol (Pol.) Adrizal Adnan dan beberapa polisi menggerebek tempat tinggal ayah dan anak Saleh dan Roby. Adapun Sadi, yang disebut-sebut sebagai orang yang lebih tahu tentang bisnis kokain, masih buron.

Nah, dari pengakuan Saleh dan Roby, yang langsung dikirim ke Surabaya untuk memudahkan penyidikan, terungkap bahwa mereka masih menyimpan 40 kg kokain di tengah hutan. Diceritakan juga bahwa mereka telah dua kali menyelundupkan kokain. Yang pertama berhasil. Dan ini yang kedua, polisi berhasil menangkapnya.

Siapakah penelepon gelap yang membocorkan penyelundupan tersebut? Ternyata mereka adalah Saleh, yang mengaku kecewa karena upahnya yang Rp 500.000, sebagai perantara Robi dengan Sadi, tidak dibayar komplotan itu.

Kini, pihak kepolisian meneruskan penyidikan ke arah kemungkinan adanya jaringan perdagangan kokain yang lebih luas. Misalnya, polisi menemukan sebuah nama Kaffandi, sebagai orang yang memperdagangkan kokain di Jakarta. Tapi, orang yang bernama Kaffandi sendiri sekarang sedang mendekan di LP Cipinang karena penggandaan pulsa telepon seluler. Apakah Kaffandi ini orangnya sama, sebagaimana yang disebut komplotan itu? "Dia akan kami mintai keterangan," kata Kapolresta Tanjungperak, Letkol (Pol.) Nyoman Bratajaya.

Sementara itu, menurut Fachmi Bachmid, pengacara Roby, Saleh, dan Sherly, kliennya sama sekali tidak terlibat sindikat. "Sebaiknya tetap dipakai asas praduga tak bersalah," kata Fachmi. Setuju, dan biarlah di pengadilan nanti, kebenaran terungkap.

Laporan Abdul Manan

D&R, Edisi 971227-019/Hal. 93 Rubrik Kriminalitas

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236