Pagi Sore Sama Saja
Berbagai perguruan tinggi negeri ramai-ramai membuka program ekstensi. Tes masuk lebih longgar, namun biaya kuliah tidak jauh berbeda dengan swasta. Bagaimana mutu lulusannya?
GAGAL menempuh ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN)? Jangan khawatir, dunia belum kiamat. Ijazah dari perguruan tinggi negeri masih bisa diperoleh. Ikut saja program ekstensi. Jurusannya beragam, perguruan tingginya pun banyak.
Semula program kuliah setingkat S1 yang perkuliahannya diadakan sore hari itu terbatas di jurusan yang tidak banyak memerlukan laboratorium praktik, seperti di jurusan ilmu-ilmu sosial dan fakultas hukum. Namun, kini jurusan yang memerlukan banyak praktikum, seperti teknik dan kedokteran pun membukanya.
Universitas Indonesia, misalnya, memang sejak lama memiliki program ekstensi di Fakultas Hukum dan Ekonomi. Tahun 1987, program ekstensi di Jurusan Hukum sempat dihentikan. "Namun, karena adanya kebutuhan dari masyarakat, terutama dari mereka yang bekerja di bank, perusahaan swasta maupun di berbagai departemen, tahun 1994 jurusan ini dibuka kembali," kata Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum UI, Sri Mamudji.
Kembali dibukanya program ekstensi di Fakultas Hukum ini menarik minat fakultas-fakultas lain. Maka, mulai dari Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Psikologi, Teknik, sampai Fakultas Kedokteran, punya program seperti ini. Universitas lainnya mengikuti jejak UI, seperti Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga Surabaya, dan Institut Teknologi Surabaya.
* Lebih Mahal
Apa perbedaan program reguler dan program ekstensi? "Tidak ada, sama. Hanya dalam program ekstensi, program kekhususan tidak sebanyak di program reguler. Karena program ini disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa ekstensi sendiri yang masuk di program tersebut," ujarnya
Kurikulum, staf pengajar, dan sistem pengajarannya pun sama. Demikian juga SKS-nya. Prasyarat untuk mengambil mata kuliah pun juga sama. Soalnya, staf pengajarnya ya yang itu-itu juga, setelah mengajar pagi, ia akan mengajar sore hari. "Cuma untuk program ekstensi belum dilakukan sistem drop out. Dan, kami masih toleransi dengan jumlah kehadiran mereka saat kuliah. Berbeda dengan mahasiswa reguler," tambah Sri Mamudji.
Tentu saja, program tersebut jadi surga bagi mereka yang ngebet mendapat gelar sarjana dari PTN. Apalagi tes masuk program ekstensi tampaknya memang lebih mudah dibandingkan program reguler. Memang, salah satu persyaratan calon mahasiswa ekstensi selain memiliki ijazah SMU sebelum tahun 1994, juga sudah harus bekerja, atau memiliki surat keterangan telah bekerja. Namun, keterangan pernah bekerja itu bisa dengan mudah didapatkan. Beberapa fakultas ada yang mensyaratkan calon mahasiswa memiliki 110 SKS dari perguruan tinggi sebelumnya. Karena itu, ekstensi yang semula untuk mereka yang sudah bekerja berubah jadi ladang lulusan SMU yang tak diterima di UMPTN. Iuran sekolah yang jauh lebih tinggi dibandingkan SPP program reguler bukanlah hambatan bagi mereka.
Contohnya, SPP program reguler di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga untuk setiap mahasiswa yang baru masuk dibebankan Rp 500 ribu. Akan halnya untuk program ekstensi, mereka bisa dikenakan antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta per semester. "Mahalnya biaya kuliah di program ekstensi itu, karena kami harus membayar dosen-dosen dari Fakultas Ekonomi Unair sendiri. Kami harus berani membayar mahal mereka. Sebab kalau tidak, mereka akan milih mengajar di tempat lain," kata Edy Juwono Slamet, M.A., salah seorang Ketua Program Ekstensi di Unair.
Fakultas Teknik UGM memungut biaya uang masuk bagi mahasiswa program ekstensi sebesar Rp 2,75 juta dan biaya penyelenggaraan program pendidikan Rp 750 ribu per semester. Bandingkan dengan mahasiswa reguler yang membayar Rp 200 ribu per semester. "Ini karena program ekstensi murni swadana tanpa ada subsidi dari pemerintah," Ketua Jurusan Fakultas Teknik Sipil UGM, Darmanto, berkilah.
* Mutu Lulusan Dijaga
Bagaimana dengan mutu lulusannya? "Kualitas selalu kami jaga, walaupun kami tidak bisa bilang kualitas mereka lebih baik atau lebih buruk dari yang reguler. Untuk mahasiswa reguler kami memprosesnya sendiri dari awal--sehingga soal kualitas lulusan reguler dijamin. Sementara mahasiswa ekstensi bobotnya 60-65 SKS. Adapun yang 110 SKS mereka peroleh dari luar FT-UI," kata Ketua Program Ekstensi Fakultas Teknik UI, Dr. Ir. Muhammad Anis, berpromosi.
Hasil mutu lulusannya memang belum terlihat, karena program ekstensi itu umumnya baru. Namun, Program Ekstensi Fakultas Hukum UI yang lama telah diakui telah menghasilkan lulusan yang tidak kalah dengan lulusan reguler. Lihat saja Jimly Assidiqqie, yang walaupun lulusan Program Ekstensi Fakultas Hukum UI, mampu menjadi dosen program reguler, malah berhasil meraih gelar doktor di almamaternya. Kini, ia dipercaya sebagai Staf Ahli Menteri P dan K dan Wakil Sekjen ICMI.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Ir. Bambang Soehendro, berani memberikan jaminannya. "Dari segi kualitas, lulusan ekstensi sama dengan reguler. Artinya, meskipun mereka diberi kesempatan menjadi mahasiswa tidak dengan seleksi seketat program reguler, tapi soal kelulusan itu harus konsisten. Nilai dan IP-nya harus tetap dipegang dan dipertahankan. Jadi, ada standar yang tetap dipakai untuk menilainya," katanya.
Salah satu persyaratan mengapa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) mengizinkan dibukanya program ekstensi, menurut Bambang, karena pihak perguruan tinggi yang bersangkutan bersedia memenuhi syarat yang diminta Dikti. "Jadi, tidak ada masalah, meskipun program ekstensi membuka fakultas teknik. Sepanjang yang diterima memang melalui proses seleksi dan dengan standar akademik tertentu. Sebab, kemungkinan sebelumnya mereka kan pernah mengenyam pendidikan diploma tiga, atau pernah kuliah, namun drop out karena harus bekerja. Jadi, berarti program ini kan juga memberi kesempatan bagi mereka untuk tetap mengenyam pendidikan sambil bekerja," ucapnya.
Soal praktikum, khususnya di fakultas teknik dan kedokteran, menurut dia tidak akan menjadi masalah selama itu merupakan satu kegiatan yang tidak mengurangi standar akademik. "Kalau Anda menyangsikan kemampuan lulusan program ekstensi, maka Anda juga harus meragukan kemampuan lulusan reguler, karena yang dipakai kedua program itu kan standarnya juga sama," ujarnya.
MJ, Puji Sumedi, Arinto T.W, Aendra H.M. (Bandung), Ahmad Solikhan (Yogyakarta), dan Abdul Manan (Surabaya).
D&R, Edisi 970705-046/Hal. 90 Rubrik Pendidikan
GAGAL menempuh ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN)? Jangan khawatir, dunia belum kiamat. Ijazah dari perguruan tinggi negeri masih bisa diperoleh. Ikut saja program ekstensi. Jurusannya beragam, perguruan tingginya pun banyak.
Semula program kuliah setingkat S1 yang perkuliahannya diadakan sore hari itu terbatas di jurusan yang tidak banyak memerlukan laboratorium praktik, seperti di jurusan ilmu-ilmu sosial dan fakultas hukum. Namun, kini jurusan yang memerlukan banyak praktikum, seperti teknik dan kedokteran pun membukanya.
Universitas Indonesia, misalnya, memang sejak lama memiliki program ekstensi di Fakultas Hukum dan Ekonomi. Tahun 1987, program ekstensi di Jurusan Hukum sempat dihentikan. "Namun, karena adanya kebutuhan dari masyarakat, terutama dari mereka yang bekerja di bank, perusahaan swasta maupun di berbagai departemen, tahun 1994 jurusan ini dibuka kembali," kata Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum UI, Sri Mamudji.
Kembali dibukanya program ekstensi di Fakultas Hukum ini menarik minat fakultas-fakultas lain. Maka, mulai dari Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Psikologi, Teknik, sampai Fakultas Kedokteran, punya program seperti ini. Universitas lainnya mengikuti jejak UI, seperti Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga Surabaya, dan Institut Teknologi Surabaya.
* Lebih Mahal
Apa perbedaan program reguler dan program ekstensi? "Tidak ada, sama. Hanya dalam program ekstensi, program kekhususan tidak sebanyak di program reguler. Karena program ini disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa ekstensi sendiri yang masuk di program tersebut," ujarnya
Kurikulum, staf pengajar, dan sistem pengajarannya pun sama. Demikian juga SKS-nya. Prasyarat untuk mengambil mata kuliah pun juga sama. Soalnya, staf pengajarnya ya yang itu-itu juga, setelah mengajar pagi, ia akan mengajar sore hari. "Cuma untuk program ekstensi belum dilakukan sistem drop out. Dan, kami masih toleransi dengan jumlah kehadiran mereka saat kuliah. Berbeda dengan mahasiswa reguler," tambah Sri Mamudji.
Tentu saja, program tersebut jadi surga bagi mereka yang ngebet mendapat gelar sarjana dari PTN. Apalagi tes masuk program ekstensi tampaknya memang lebih mudah dibandingkan program reguler. Memang, salah satu persyaratan calon mahasiswa ekstensi selain memiliki ijazah SMU sebelum tahun 1994, juga sudah harus bekerja, atau memiliki surat keterangan telah bekerja. Namun, keterangan pernah bekerja itu bisa dengan mudah didapatkan. Beberapa fakultas ada yang mensyaratkan calon mahasiswa memiliki 110 SKS dari perguruan tinggi sebelumnya. Karena itu, ekstensi yang semula untuk mereka yang sudah bekerja berubah jadi ladang lulusan SMU yang tak diterima di UMPTN. Iuran sekolah yang jauh lebih tinggi dibandingkan SPP program reguler bukanlah hambatan bagi mereka.
Contohnya, SPP program reguler di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga untuk setiap mahasiswa yang baru masuk dibebankan Rp 500 ribu. Akan halnya untuk program ekstensi, mereka bisa dikenakan antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta per semester. "Mahalnya biaya kuliah di program ekstensi itu, karena kami harus membayar dosen-dosen dari Fakultas Ekonomi Unair sendiri. Kami harus berani membayar mahal mereka. Sebab kalau tidak, mereka akan milih mengajar di tempat lain," kata Edy Juwono Slamet, M.A., salah seorang Ketua Program Ekstensi di Unair.
Fakultas Teknik UGM memungut biaya uang masuk bagi mahasiswa program ekstensi sebesar Rp 2,75 juta dan biaya penyelenggaraan program pendidikan Rp 750 ribu per semester. Bandingkan dengan mahasiswa reguler yang membayar Rp 200 ribu per semester. "Ini karena program ekstensi murni swadana tanpa ada subsidi dari pemerintah," Ketua Jurusan Fakultas Teknik Sipil UGM, Darmanto, berkilah.
* Mutu Lulusan Dijaga
Bagaimana dengan mutu lulusannya? "Kualitas selalu kami jaga, walaupun kami tidak bisa bilang kualitas mereka lebih baik atau lebih buruk dari yang reguler. Untuk mahasiswa reguler kami memprosesnya sendiri dari awal--sehingga soal kualitas lulusan reguler dijamin. Sementara mahasiswa ekstensi bobotnya 60-65 SKS. Adapun yang 110 SKS mereka peroleh dari luar FT-UI," kata Ketua Program Ekstensi Fakultas Teknik UI, Dr. Ir. Muhammad Anis, berpromosi.
Hasil mutu lulusannya memang belum terlihat, karena program ekstensi itu umumnya baru. Namun, Program Ekstensi Fakultas Hukum UI yang lama telah diakui telah menghasilkan lulusan yang tidak kalah dengan lulusan reguler. Lihat saja Jimly Assidiqqie, yang walaupun lulusan Program Ekstensi Fakultas Hukum UI, mampu menjadi dosen program reguler, malah berhasil meraih gelar doktor di almamaternya. Kini, ia dipercaya sebagai Staf Ahli Menteri P dan K dan Wakil Sekjen ICMI.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Ir. Bambang Soehendro, berani memberikan jaminannya. "Dari segi kualitas, lulusan ekstensi sama dengan reguler. Artinya, meskipun mereka diberi kesempatan menjadi mahasiswa tidak dengan seleksi seketat program reguler, tapi soal kelulusan itu harus konsisten. Nilai dan IP-nya harus tetap dipegang dan dipertahankan. Jadi, ada standar yang tetap dipakai untuk menilainya," katanya.
Salah satu persyaratan mengapa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) mengizinkan dibukanya program ekstensi, menurut Bambang, karena pihak perguruan tinggi yang bersangkutan bersedia memenuhi syarat yang diminta Dikti. "Jadi, tidak ada masalah, meskipun program ekstensi membuka fakultas teknik. Sepanjang yang diterima memang melalui proses seleksi dan dengan standar akademik tertentu. Sebab, kemungkinan sebelumnya mereka kan pernah mengenyam pendidikan diploma tiga, atau pernah kuliah, namun drop out karena harus bekerja. Jadi, berarti program ini kan juga memberi kesempatan bagi mereka untuk tetap mengenyam pendidikan sambil bekerja," ucapnya.
Soal praktikum, khususnya di fakultas teknik dan kedokteran, menurut dia tidak akan menjadi masalah selama itu merupakan satu kegiatan yang tidak mengurangi standar akademik. "Kalau Anda menyangsikan kemampuan lulusan program ekstensi, maka Anda juga harus meragukan kemampuan lulusan reguler, karena yang dipakai kedua program itu kan standarnya juga sama," ujarnya.
MJ, Puji Sumedi, Arinto T.W, Aendra H.M. (Bandung), Ahmad Solikhan (Yogyakarta), dan Abdul Manan (Surabaya).
D&R, Edisi 970705-046/Hal. 90 Rubrik Pendidikan
Comments