Skip to main content

Sandyakala ning Ciu, Tuak, dan Sejenisnya

Mabuk, dengan minuman tradisional maupun modern, sama saja. Mungkin karena itu, ditambah soal gengsi dan selera, kini minuman keras tradisional tergeser oleh bir dan sejenisnya.

SEMAKIN malam, Bekonang semakin menampakkan wajahnya. Para lelaki, tua dan muda, tak ada beda: duduk-duduk santai di belasan warung makan di seputaran terminal kota kecamatan yang terletak sekitar 10 kilometer arah timur Solo, Jawa Tengah, itu. Obrolan di antara mereka terdengar riuh rendah. Topiknya bermacam-macam, mulai dari urusan keluarga, teman, sepak bola, hingga berita politik. Sesekali terdengar gelak tawa. Seronok benar.

Sesekali juga, tangan mereka meraih botol-botol minuman ringan bermerek Sprite dan Coca-cola dari atas meja, menuangkan isinya ke dalam gelas, lalu meminumnya. Ada pula yang menghirupnya langsung dari mulut botol. Semakin malam, wajah-wajah mereka semakin memerah. Dan, bau alkohol pun semakin merebak.

Sebab, botol-botol minuman ringan itu sebenarnya tak lagi berisi sama seperti keluar dari pabriknya. Para pemilik warung telah mencampuri minuman ringan dengan ciu, minuman keras tradisional produksi setempat. Ciu dihasilkan dari proses fermentasi limbah cair yang terbuang dalam proses pembuatan gula (tetes tebu) dengan kadar alkohol sekitar 30 persen.

Setiap kali nama Bekonang disebut, ingatan orang memang langsung ke ciu. Di warung-warung tadi, ciu dihidangkan dengan berbagai rasa, tergantung campurannya. Yang paling populer adalah cisprite, campuran dengan minuman ringan Sprite, dengan perbandingan 1:1. Selain itu, ada pula cikola (campuran ciu dan Coca-cola), ciut (ciu dengan Nutrisari), cias (ciu dengan wedang asam), ciu tiga dimensi (campuran ciu dengan bir dan Kratingdaeng), dan ciu empat dimensi (ciu, bir, Kratingdaeng, dan Sprite), serta kidungan (ciu dengan campuran air rendaman tanduk kijang). Jenis terakhir ciu campuran itu diyakini sebagai obat kuat.

Harga minuman-minuman itu benar-benar murah meriah: Rp 700 per botol. Makanya, tak mengherankan kalau rata-rata setiap pengunjung mereguk satu atau dua botol setiap hari, bersama bakso atau bakmi. Setiap hari? Ya, orang-orang yang nongkrong di warung itu dari malam ke malam kebanyakan, ya, itu-itu juga. Dan, kendati kadar alkoholnya tak bisa dibilang rendah, mereka
tak pernah mabuk. "Kepala malah terasa ringan," kata seorang peminum sambil menyodorkan sesloki cisprite kepada D&R. Glek, rasanya sedikit pahit. Panasnya langsung menyergap tenggorokan.

"Tradisi" menenggak minuman keras tradisional tak cuma ada di Bekonang. Pemandangan serupa juga mudah ditemui di lapo-lapo (warung-warung) yang menyediakan tuak di Medan, Jakarta, Tuban (Jawa Timur), kedai-kedai Cap Tikus di Tomohon (Sulawesi Utara), atau arena kesenian genjek di Bali (lihat: Pilih Mana, Mabuk Tuak atau Harta).

Pembicaraan minuman keras tradisional pekan-pekan ini kembali menghangat. Pemicunya adalah instruksi Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet No. 4 Tahun 1997. Instruksi itu ditujukan ke semua gubernur, bupati dan wali kota seluruh Indonesia untuk meninjau kembali berbagai peraturan daerah tentang minuman keras. Instruksi tersebut dikeluarkan lantaran minuman beralkohol dianggap dapat mengganggu kesehatan, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat. Karenanya, menurut Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Oman Syachroni, pemerintah akan mengatur kembali masalah pelarangan dan penertiban minuman keras. Termasuk minuman beralkohol tradisional.

Jadi, minuman keras tradisional akan dilarang? Bisa ya, bisa pula tidak. Yang jelas, akan dilokalisasi penjualannya. Masyarakat yang bersentuhan langsung dengan rencana itu (produsen, pedagang, ataupun konsumen) belum banyak mendengarnya. Ketika ditanya pendapatnya, jawaban mereka bermacam-macam--dan bukan diberikan ketika mereka mabuk.

Dengar saja komentar D. Silitonga, pemilik lapo tuak Pergaulan di kawasan Jalan Gajah Mada, Medan. "Saya tak setuju," kata Silitonga spontan. Karena, menurut Silitonga, tuak sebenarnya bukan sekadar minuman keras. Melainkan juga bagian dari peralatan adat Batak untuk disuguhkan pada pesta yang akan tetap dicari orang Batak, kendati ia sudah jauh di tanah rantau.

Memang, bagi masyarakat Tapanuli di Sumatra Utara, tuak adalah minuman khas yang hampir selalu menjadi pelengkap upacara adat. Dalam upacara perkawinan, misalnya, pengantin pria selalu menyerahkan uang ke calon mertuanya bersamaan dengan maskawin. Pada saat menyerahkan itu, salah satu pantun yang yang diserukan adalah pasti tuak na tonggi, yang artinya "untuk membeli tuak yang manis". Tentu, uang itu tak harus digunakan untuk membeli tuak. Tapi, dalam acara itu, suguhan tuak pilihan wajib hukumnya--untuk menjamu keluarga pihak istri atau hula-hula.

Bagi masyarakat Batak, terutama di Tapanuli Utara, tuak juga menjadi minuman sehari-hari, yang biasa dihirup sambil kongko-kongko atau main catur di lapo-lapo. Makanan pengiringnya juga khas: saksang (daging babi atau anjing) atau dekke naniura (ikan emas). Rata-rata harganya Rp 500 per gelas ukuran besar. Bahkan, air nira murni itu juga diyakini sebagai obat bagi penyakit tertentu dan dapat memperbanyak air susu wanita.

Di Tuban dan beberapa wilayah di Jawa Timur lainnya (Nganjuk, Bojonegoro, dan sekitarnya) tuak juga dikenal identik dengan kesenian tayub. Bersama dengan minuman keras lainnya, antara lain jenewer dan ciu, tuak dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian para lelaki agar mau ikut bergoyang ke tengah arena tayuban. Tak jelas karena apa, belakangan ini macam-macam minuman keras tradisional itu mulai digeser kehadiran bir.

Makanya, tak mengherankan kalau R. Hutagalung, pemilik lapo tuak Anak Tondongta, menganggap rencana pemerintah itu bertentangan dengan tekad untuk melestarikan budaya nasional. Sama sekali tak ada nada bercanda dalam kata-kata Hutagalung itu. Ia serius dengan soal tuak dan budaya nasional. Lagi pula, katanya, selama bertahun-tahun membuka lapo tak pernah ada perkelahian di tempatnya lantaran orang mabuk. Hampir semua pengunjung lapo yang ditemui D&R malah geli mendengar pelarangan itu. "Saya tiap hari minum enam gelas tanpa pernah mabuk," kata Surait. Jawaban serupa diberikan oleh Untung Harianja yang setiap hari menenggak tiga botol.

Juma'in, 33 tahun, malah lebih dahsyat lagi. Pekerja serabutan di Tuban itu biasa minum tuak sehari sekitar tiga liter. Soal duit, tak masalah. Di Tubah, seliter toak (sebutan untuk tuak) cuma Rp 500. Tak pernah mabuk. "Mungkin karena sudah biasa," kata Juma'in. Bahkan, kalau tak minum, badannya merasa tak enak, pegal-pegal, loyo, dan serasa tak bertenaga. Bagaimana kalau tuak dilarang? "Wah, orang se-Tuban mati! Lha, ket isuk, awan, sampe' bengi ngombene iku (sejak pagi, siang, sampai malam, minumnya itu--tuak)," kata Juma'in sambil terkekeh.

Tentu saja, untuk yang terakhir itu Juma'in bercanda. Tapi, kekhawatiran mengenai rencana peluncuran peraturan tentang minuman keras tampaknya tak sekadar menyentuh masalah kebiasaan, ketertiban, ataupun pajak. Lebih dari itu, ada pula aspek ekonomi masyarakat yang hidupnya bergelimang cairan--yang kalau kebanyakan--memang memabukkan itu.

Umumnya, pemilik lapo tuak merasa terkejut mendengar rencana peraturan pembatasan minuman keras. Sebab, selain menganggap tuak tak memabukkan, juga karena merasa mata pencarian mereka terancam. "Karena razia, pendapatan saya berkurang, apalagi kalau dilarang," kata Silitonga. Padahal, kebanyakan lapo memproduksi tuak sendiri dengan mengkoordinasi pasukan penderes (tukang panjat pohon kelapa atau enau). Lapo Pergaulan milik Silitonga, misalnya, menampung nira dari tak kurang 70 penderes. Menurut Silitonga, laponya tak cuma menghasilkan biaya pendidikan enam anak-anaknya (dua di bangku kuliah dan empat lainnya di sekolah menengah), tapi juga penghidupan bagi ratusan nyawa keluarga anak buahnya.

Silitonga tak sendiri, tentu. Di beberapa wilayah pemasok tuak di Medan, antara lain Cinta Rakyat, Bagan Percut, dan Tanjung Rejo, setidaknya terdapat 15 pengusaha yang masing-masing mempekerjakan sedikitnya lima pegawai atau penderes.

Masalah itu pula yang dipikirkan Wari, 55 tahun. Pemilik warung Bogor Jaya di Tuban itu bergelimang air nira sejak sejak tahun 1971. Sekitar 20 batang pohon siwalan ditanam dan dirawatnya sendiri di atas tanah seluas tiga hektare (disewanya Rp 3 juta per tahun), menghasilkan tuak tak kurang dari 30 liter. Tuak sebanyak itu selalu habis dalam sehari. Artinya, dalam sebulan, pendapatan Wari tak kurang dari Rp 900 ribu. Dari hasil tuak, tahun lalu, Wari berhasil membangun rumah tembok dengan biaya sekitar Rp 25 juta. "Kalau peraturannya ketat, bagaimana dengan sekolah anak saya?" katanya.

Keluhan serupa tampaknya juga bakal terdengar dari Sulawesi Utara. Sebab, pembuatan Cap Tikus, minuman yang dihasilkan dari proses campuran air sulingan nira dengan rebusan cengkih dan pala itu telah dijadikan profesi warisan sebagai tumpuan hidup puluhan keluarga di hampir semua desa di Kecamatan Tomohon, Tareran, Dimembe, Tombatu. Asap dapur mereka mau tak mau memang terancam bila ada deregulasi minuman keras tradisional yang menyebabkan pasar seret.

Lagi pula, menurut Klambok Simanjuntak, pemilik lapo tuak Tondongtu di bilangan Pulogadung, Jakarta Timur, pemerintah mestinya tak perlu terlalu khawatir. Sebab, bisnis minuman keras tradisional sebenarnya juga sedang mengalami masalah serius. Peminum tuak, misalnya, kini jumlahnya makin terbatas. Di Jakarta, hampir sebagian besar pengunjung lapo tuak menenggak
bir. Begitu pula dengan para lelaki yang meramaikan pesta-pesta tayuban di Jawa Timur. Sementara itu, di Medan, kedudukan tuak makin lama makin tergeser oleh kehadiran kamput (singkatan merek alkohol murahan cap Kambing Putih).

Selain itu, kebanyakan pemilik pohon kelapa atau enau kini cenderung membiarkan bunga tanaman hingga menjadi buah, tanpa harus dirusak untuk diambil niranya. Peremajaan tanaman kelapa pun kini juga berorientasi untuk menghasilkan kopra. Artinya, sumber bahan baku tuak semakin lama semakin berkurang.

Memang, peraturan tentang minuman keras tradisional tampaknya harus perlu disusun dengan ekstra-hati-hati. Melarang minuman keras tradisional boleh jadi akan makin mengangkat popularitasnya. Ketika kamput dilarang di Sumatra Utara, beberapa tahun silam, namanya langsung meroket hingga mengalahkan tuak, sampai sekarang. Lagi pula, alternatif minuman keras di pasaran sudah sedemikian banyak. Membatasi lokasi penjualan atau memperketat pengawasannya juga tak mudah. Toh, selama ini, para penjual maupun penikmat minuman keras sudah biasa "main petak umpet".

Salah satu alternatif yang bisa dipilih barangkali mendorong perubahan orientasi produksi seperti yang dialami para pembuat minuman keras tradisional di Bekonang. Kendati cisprite maupun cikola begitu mudah ditemui, sebenarnya sekarang tak satu pun pembuat memproduksinya, paling tidak secara legal. Sejak akhir 1970-an, Bekonang telah menjadi wilayah sentra industri kecil penyulingan alkohol berkadar tinggi (80 persen-90 persen), yang dihasilkan dari penyulingan ciu lebih lanjut. Kini, sekitar 80 pembuat ciu di Bekonang menghasilkan tak kurang dari 800 liter alkohol tiap hari, yang dipasarkan ke beberapa industri farmasi, rumah sakit, pabrik rokok, dan pabrik kosmetik.

Mabuk ciu, mabuk tuak, sebentar lagi, mungkin hanya kenangan.

Bambang Soedjiartono (Medan), Abdul Manan (Surabaya), A. A. Purwanto, dan Mohammad Subroto (Jakarta)

D&R, Edisi 970322-031/Hal. 14 Rubrik Peristiwa & Analisa

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236