Skip to main content

Dicari (Wakil) Presiden Mendatang

Wapres yang akan datang berposisi strategis. Peran dan kriterianya makin berat. Apa saja?

MUNGKIN, inilah teka-teki yang jawabannya masih harus ditunggu setahun lagi: siapa calon wakil presiden (wapres) periode mendatang? Tapi, bukan sekadar menunggu waktu, tampaknya, bila jawabannya pun mulai direka-reka. Lihat saja, riuh rendah berita tentang wapres, pekan-pekan ini.

Pembicaraan tentang wapres meruyak lantaran sinyalemen Ketua Fraksi ABRI di DPR Suparman Achmad yang mengejutkan banyak pihak. Tak ada angin atau pun hujan, Suparman tiba-tiba menyatakan bahwa ABRI telah memiliki calon untuk posisi orang kedua di Republik ini. "Kalau dikatakan ABRI tidak memiliki calon, tidak benar itu," kata Suparman kepada wartawan. Bahkan, Suparman juga menyatakan kalau calon wapres pilihan ABRI tak selalu berasal dari ABRI. Artinya, bisa jadi ABRI akan mencalonkan tokoh sipil.

Pernyataan Suparman menyentak banyak kalangan. Sebagian menganggap itu tak etis. Selain karena Sidang Umum MPR masih setahun lagi, posisi wapres pun saat ini masih terisi.

Tak hanya wartawan, ABRI pun kaget mendengarnya. Maklum, Fraksi ABRI sebenarnya berada di bawah komando Panglima ABRI (Pangab). Padahal, sampai sejauh ini, tak ada sinyal bahwa sejak pagi-pagi ABRI akan mengungkit isu itu. Maka, hanya berselang sehari, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen Syarwan Hamid langsung "menggebuk" pernyataan Suparman. Menurut dia, sikap ABRI soal wapres hanya berhak disampaikan Pangab, kassospol, atau petinggi yang mendapat mandat dari pimpinan ABRI. Karena itu, Syarwan menyatakan akan meminta penjelasan Suparman atas pernyataannya itu.

Suparman sendiri mengaku tak pernah dipanggil Mabes ABRI, seperti yang diisukan. Perwira Tinggi berbintang tiga itu bahkan belakangan menyatakan kalau wartawan salah mengutip keterangannya. Suparman mengaku tak menyebut tentang "calon wapres", melainkan "calon-calon wapres". Artinya, menurut Suparman, pernyataannya itu berada dalam kerangka politik normatif. "Adapun yang berbicara tentang siapa-siapanya itu di sana, ya, Mabes ABRI," katanya kepada D&R.

Toh, ibarat bola sudah terlanjur bergulir, banyak kaki langsung berebut menendangnya. Berbagai pernyataan tentang isu wapres pun terlontar, mulai dari nama tokoh-tokoh yang layak menempati posisi itu hingga kriteria yang harus diterapkan bagi calonnya. Maka, beredarlah nama-nama seperti, Kasad Jendral R. Hartono, Menpen H. Harmoko, Menristek B.J. Habibie, Mensesneg Moerdiono, dan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Tak ketinggalan, Wapres Try Soetrisno juga disebut-sebut masih akan bertahan di kursinya.

Itu cukup wajar, tampaknya. Sebab, sulit dipungkiri, calon untuk presiden periode mendatang sudah jelas. Nama Jenderal (Purn.) Muhammad Soeharto, kini presiden, masih diyakini paling tepat untuk menduduki jabatan presiden untuk keenam kalinya. Namun, mengingat usia Pak Harto yang sudah "sepuh", seperti disebut banyak orang, posisi wapres periode 1998-2003 akan sangat strategis. Bila terjadi sesuatu yang menyebabkan presiden berhalangan tetap di tengah masa jabatannya, sesuai dengan konstitusi, wapres akan naik posisi menjadi presiden. Menilik budaya politik negeri ini, tak berlebihan tampaknya bila wapres periode mendatang akan menjadi calon kuat bagi presiden ketiga yang pernah dimiliki Indonesia.

Lalu, bagaimanakah kriteria untuk calon wapres? Lagi-lagi kalau menilik konstitusi, syaratnya cuma satu: bisa bekerja sama dengan presiden. Maka, tak terlalu mengherankan bila selama ini sosok wapres selalu muncul dari orang-orang di sekeliling presiden. Wapres pertama Dr. Mohammad Hatta adalah rekan Presiden Soekarno sejak masa pergerakan. Mereka juga sempat bersama-sama menjalani masa pembuangan di Pulau Bangka.

Lalu, pada masa Orde Baru, muncul nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wapres. Pada awal Orba, Sultan, Pak Harto, dan Adam Malik dikenal sebagai triumvirat atau tiga serangkai yang bahu membahu menata pondasi pembangunan. Dalam Kabinet Ampera, Sultan menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri yang berpengalaman memimpin delegasi Indonesia dalam berbagai perundingan penjadwalan kembali utang luar negeri. Sementara itu, Adam Malik menyokong proses pembangunan dari sektor politik luar negeri sebagai Menteri Luar Negeri. Maka, ketika Sri Sultan menolak posisi wapres untuk masa jabatan kedua, Adam Malik pun "menggantikannya".

Munculnya Umar Wirahadikusumah sebagai wapres keempat sedikit mengejutkan, memang. Tapi, kalau ditilik, Umar sebenarnya berasal tak jauh dari lingkaran Pak Harto. Sebagai Pangdam Jaya, Umar banyak membantu Panglima Kostrad (saat itu) Jenderal Soeharto untuk membasmi G30S/PKI. Dan, ketika Pak Harto menjadi Panglima Angkatan Darat, Umar pula yang menggantikannya sebagai Pangkostrad. Dus, tak terlalu mengherankan bila Pak Harto juga memilih Umar sebagai wakilnya.

Sementara itu, mantan Ketua Umum Golkar Sudharmono yang jadi wapres berikutnya juga bukan orang baru buat Pak Harto. Sejak tahun 1966, Sudharmono berdinas di lingkungan Sekretariat Kabinet sebagai Sekretaris Presidium Kabinet. Di bawah kepemimpinan Sudharmono, Golkar berhasil meraup 73 persen suara pada pemilu 1987. Itu merupakan prestasi tertinggi yang pernah dicapai. Jangan lupa, Presiden Soeharto adalah ketua dewan pembina organisasi sosial politik terbesar itu.

Keterdekatan pula yang membawa Jenderal Try Soetrisno sebagai wapres. Pada awalnya, nama Try disebut-sebut muncul lantaran Ketua Fraksi ABRI (saat itu) Harsudiono Hartas mem-"fait accompli" Presiden Soeharto. Konon, waktu itu ABRI khawatir kalau Pak Harto memilih Habibie, yang notabene dari kalangan sipil, sebagai wakilnya. Toh, setelah didahului seperti itu, Pak Harto bersedia juga menerima Try. Maklum, Try mantan ajudan presiden.

Tentu saja, naiknya seseorang menjadi wapres tak hanya lantaran dekat dengan presiden. Dibutuhkan pula berbagai kriteria lain, sesuai dengan peran wapres yang harus dijalankan. Kehadiran Bung Hatta sebagai wapres pada awal-awal kemerdekaan tak hanya sebagai pendamping Presiden Soekarno. Bapak Koperasi Indonesia itu juga tampak menonjol dalam pengambilan keputusan penting. Lewat Maklumat Nomor X, ia memperkenalkan sistem multipartai. Bung Hatta juga memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan penyerahan kedaulatan Belanda kepada RI itu. Konon, Bung Karno tak mau menandatangani suatu keputusan sebelum diparaf Bung Hatta. Pidato Kenegaraan presiden pun acapkali dibaca terlebih dulu oleh wapres.

Pada masa Orde Baru, wapres lebih banyak berperan untuk melakukan pengawasan pembangunan. Maka, tugas wapres menuntut kehadiran tokoh yang benar-benar bersih, baik dalam reputasi kerja maupun kehidupan pribadi. Peran pengawasan semakin tampak nyata ketika Umar Wirahadikusumah, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dipilih sebagai wapres--tugas yang tak bisa dianggap enteng, tentu saja. Namun, karena pengawasan tak terlalu banyak mendapat sorotan publik, figur wapres tak menonjol, kecuali pada acara-acara seremonial. Bahkan, ada yang menyebut, wapres sekadar "ban serep" yang hanya akan dipasang kalau ban utama (presiden) bocor.

Secara terbuka, kriteria wapres untuk pertama kalinya dilemparkan Presiden Soeharto pada tahun 1988. Selain Sudharmono, saat itu terdapat nama Ketua Partai Persatuan Pembangunan H.J. Naro, yang "mencalonkan diri" sebagai wapres--meski belakangan mundur sebelum MPR melakukan voting. Pak Harto menyebut lima kriteria untuk calon wapres. Dua di antaranya adalah harus menunjukkan citra dukungan dari kekuatan politik yang besar dan harus memiliki prestasi yang nyata.

Sejak itulah, persyaratan bagi pemimpin negeri ini mulai banyak dibicarakan. Dalam acara Ulang Tahunnya ke-32, pada Oktober tahun lalu, Golkar bahkan menyebut sembilan kriteria untuk calon presiden, yakni harus patriot bangsa yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa; berwawasan kebangsaan dan mempu mempersatukan bangsa; memiliki sikap kenegarawanan yang arif dan bijaksana; berani mengambil keputusan dalam situasi paling sulit; memiliki integritas dan jiwa pengabdian pada nusa dan bangsa yang telah teruji oleh sejarah; diterima rakyat; tokoh Orba yang telah terbukti kemampuannya melaksanakan cita-cita Orba; pendorong pembangunan nasional yang berkesinambungan, dan; diakui perannya oleh segenap potensi bangsa dan dunia internasional.

Nah, kriteria-kriteria itu pulalah yang harus dipenuhi seorang calon wapres. "Kriteria untuk presiden dan wapres sama saja," kata Sekjen Golkar Ary Mardjono. Bahkan, seperti tadi disebut pula, calon wapres masih memiliki syarat tambahan: dapat bekerja sama dengan presiden terpilih.

Namun, itu saja tampaknya belum cukup. Bagi Profesor Muladi, kriteria untuk wapres perlu lebih dipertajam lagi. Wapres yang akan datang tak hanya harus memiliki wawasan nasional dan internasional yang baik atau mempunyai sifat kepemimpinan, kenegarawanan, dan tidak tercela. Melainkan, "Harus pula memiliki wawasan modern," kata pakar hukum dari Universitas Diponegoro itu.

Tampaknya, wawasan modern yang dimaksudkan Muladi itu mencakup pula kemampuan untuk memahami dinamika dalam masyarakat. Seperti disebut oleh tokoh Sentral Organisasi Kekaryaan Swadiri Indonesia Suhardiman, masyarakat Indonesia kini berbeda dengan lima tahun yang lalu. "Kesadaran politik masyarakat sudah semakin tinggi," katanya kepada D&R. Faktor itu pula, menurut Suhardiman, yang banyak mempengaruhi semakin ramainya pembicaraan tentang calon wapres.

Namun demikian, Suhardiman juga mengingatkan, pembicaraan tentang calon wapres tetap bergantung pada kehendak presiden terpilih nanti. Artinya, mungkin saja orang sekarang bisa menilai mana dari sekian nama yang beredar itu yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan, tapi jawaban untuk segala ramai-ramai ini tetap saja harus ditunggu setahun lagi.

Laporan Josephus Primus, Gita F. Lingga, Rachmat H. Cahyono (Jakarta), dan Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 970329-032/Hal. 16 Rubrik Liputan Khusus

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236