Skip to main content

Mudahnya Membeli Mabuk

Peraturan boleh dibuat, razia bisa diadakan, tapi bila memang jual-beli miras mendatangkan untung, jalan belakang selalu ada. Dibutuhkan sanksi yang tegas dan berat.

“PERHATIAN! Penjualan minuman keras tidak berlaku bagi pelajar yang berseragam sekolah dan pembeli yang belum berumur 17 tahun.” Di samping dan bawah tulisan tersebut, berjejer berbagai minuman keras (miras) dari berbagai jenis dan merek.

Itulah tulisan di secarik karton putih lusuh berukuran 10 kali 20 sentimeter yang ditempel miring di pinggir sebuah rak miras di sebuah pasar swalayan di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Tintanya yang berwarna merah sudah mulai luntur, itu menandakan sudah lama dibuat.

Bila tulisan itu dijadikan pegangan, kritik sementara orang terhadap Keppres tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Minuman Beralkohol terjawab sudah. Yakni, sudah ada kesadaran sebenarnya pada para penjual bahwa miras tak bisa dibeli oleh yang berusia di bawah 17 tahun. Soal pembatasan umur pembeli miras itulah yang tak disinggung dalam Keppres tertanggal 31 Januari 1997 itu. Angka 17 pada secarik kertas pengumuman itu pun perlu disimak. Soalnya, di Amerika, batas itu adalah 21 tahun.

“Kami tak akan melayani bila ada pelajar berseragam yang akan membeli miras di sini,” kata pramuniaga sebuah pasar swalayan. Tampaknya, pramuniaga itu cukup jujur. Masalahnya, bila yang membeli tak berseragam, adakah mereka berani, misalnya, meminta kartu identitas atau KTP yang bisa menunjukkan umur mereka?

Soal yang lain, di toko itu dijual cukup lengkap minuman beralkohol, dari yang kelas A (menurut keppres) dengan kadar alkohol sampai lima persen, sampai kelas C yang berkadar alkohol sampai 55 persen. Nah, bila para remaja itu tak sekadar membeli bir (kadar alkohol di bawah lima persen), tapi misalnya wiski, akankah juga dilayani?

Lihat saja, di sini ada wiski dan vodka yang kadar alkoholnya sekitar 40 persen. Kemasannya pun bermacam: dari botol seukuran botol kecap besar, botol tanggung, botol gepeng, hingga yang kalengan. Dan, bila Anda bergaul degan remaja yang suka teler, di sini tersedia juga merek-merek lokal yang ngetop di kalangan remaja: Mansion House, Drum, Red Labels, John Roben, Robinson, Columbus, dan Columbia.

Sampai lama, wartawan D&R memang tak melihat ada yang belanja miras di toko swalayan itu. Tapi, di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, juga di sebuah toko swalayan, wartawan D&R melihat petugas keamanan dan kasir tak melakukan apa pun ketika enam remaja yang kira-kira berusia tak lebih dari 15 tahun membeli dua botol bir Bintang: satu besar, satu kecil. “Yang penting, mereka tidak pakai seragam dan tidak minum di sini. Terserah kalau mereka mau nungging di luar,” kata sang petugas keamanan enteng.

Kala itu belum lagi pukul 11.00 siang .”Sepagi ini, mereka sudah dua kali balik membeli miras,” tutur kasir yang melayani anak-anak itu. Masih untung, kalau mau dibilang untung, di sini hanya dijual miras berkadar alkohol di bawah lima persen. Kalau toh ada satu-dua botol yang lebih berasa daripada itu, hanyalah dari jenis B, yang kadar alkoholnya di bawah 20 persen.

Yang lebih ekstrem lagi adalah yang berlaku di sebuah pasar swalayan di bilangan Gunungsahari, Jakarta Pusat. Di tempat itu, menurut pengakuan Darmanto, salah seorang pengawas di toko itu, mereka tidak membatasi siapa saja yang akan membeli miras yang mereka pajang. “Di sini, sih, bebas. Kami tidak pernah melarang pelajar yang berseragam sekolah dan anak yang belum dewasa membeli miras. Kami juga tidak pernah tanya-tanya dan memaksa mereka menunjukkan KTP. Asal mereka punya duit dan tidak minum di tempat ini, silakan saja” kata Darmanto tanpa beban.

Apakah memang tidak ada larangan untuk hal itu? “Ada. Lihat tuh,” kata Darmanto sambil menunjuk pengumuman plastik yang tergantung di langit-langit. Tulisannya jelas: “Minuman Keras. Tidak Dijual kepada Pembeli yang Berumur di Bawah 16 Tahun dan Berseragam Sekolah”.

Lo? “Habis gimana, mereka menang. Mereka selalu bilang kalau mereka punya duit,” jawab Darmanto. Itu bukanlah soal baru: peraturan dikalahkan oleh duit.

Soal pembatasan umur, wartawan D&R yang ditugasi meliput penjualan miras di seantero Jakarta melaporkan macam-macam. Ada yang mencantumkan batas usia 16 tahun, 17 tahun, dan 21 tahun. Tapi, sebagaimana terjadi di Gunungsahari, bisa diduga, pengumuman itu sekadar basa-basi. Menurut seorang penjaga toko swalayan yang tak bersedia dicantumkan identitasnya, mereka memilih melanggar peraturan daripada harus berurusan dengan remaja-remaja itu. Maka, ya, asal ada duit, mabuk pun jadilah. Kenapa tak memilih untuk tak menjual miras saja? Kata Darmanto, menjual miras untungnya lumayan. “Kalau lagi rame, bisa habis dua karton,” katanya. Satu karton biasanya terdiri dari dua belas minuman.

Soal izin? “Kami punya, termasuk untuk miras impor,” jawabnya sambil menunjukkan fotokopi izin menjual miras untuk toko itu.

Dan, yang dia sebut-sebut sebagai minuman impor adalah yang berkadar alkohol di atas 30 persen. Wiski, vodka, gin, rum, cognac, tequila, dan champagne berjejer di dua lemari besar yang disusun dengan berbentuk leter L.

“Ini yang paling laris,” kata penjaga sudut itu sambil menunjuk Johnnie Walker Red Labels. Supermarket itu dan kelompoknya di berbagai tempat di Jakarta, mungkin yang paling lengkap menyediakan miras impor, di luar hotel, bar, dan restoran besar. Di antara koleksinya, yang paling banyak memang jenis wiski. Selain Johnnie Walker, beberapa yang lainnya misalnya, Wild Turkey, Jim Beam, Clan Mc. Gregor, Old Huckleberry, Ballantines, Bushmills, Old Grand Dad, The Famous Grouse, Vat 69, William Grants, Canadian Club, dan Four Roses.

Untuk tequila ada merek Conquislador, Mariachi, Cueruo Espe, dan Cancun. Jenis vodka, di antaranya adalah Finlandia Vodka, Smirnoff, Absolut Vodka, Stolichnaya Vodka, dan Gorbatschow. Jenis rum diantaranya: Malibu, Myers Rum, Old Oak, Captain Morgan, Bacardi, dan Negrita. Jenis champagne terdiri dari Cardon Verti, Moet and Chandon, dan Vevue Cliquot Ponsardi. Jenis cognac terpajang merek XO Supreme, Hennessy XO, Remi Martin, Otard, Napoleon, dan Cordon Bleu. Deretan terakhir adalah miras termahal dalam koleksi supermarket tersebut.

Dan, tampaknya, sebagian anak-anak muda di Jakarta membeli miras seperti membeli Coca-cola saja laiknya. Lihat saja, dua anak muda berusia sekitar 19 tahun masuk ke sebuah toko swalayan di kawasan Megaria, Jakarta Pusat. Di kepalanya bertengger topi pet, dipasang terbalik. Kaus oblong dan jins yang dikenakannya model kusam. Berdua dengan tenang menuju ke rak miras, lalu tiga botol gepeng dengan isi warna kuning seperti air teh mereka bawa ke kasir. Itulah wiski, yang kadar alkoholnya sekitar 40 persen.

“Kami mau naik gunung,” jawab salah satu di antaranya ketika ditanya kenapa membeli wiski, “kan, lumayan buat anget-anget.” Dua anak muda dari daerah Utankayu itu mengaku rutin naik gunung bersama rekan-rekan mereka. Apalagi sekarang mereka sudah tidak sekolah. Dan, untuk dua anak muda itu dan rekan-rekan, wiski tampaknya menjadi barang wajib yang perlu dibawa dan sejauh ini mereka mengaku tak penah mengalami kesulitan membeli miras.

Juga, di toko swalayan di kawasan Pasarminggu, Jakarta Selatan, tiga remaja 17-an tahun nongkrong di depan etalase miras yang ada di supermarket itu. Bir dan kerabatnya yang ada di sebuah rak ternyata tidak mereka lirik. Mereka lebih tertarik pada deretan miras di rak sebelahnya. Akhirnya, dua botol gepeng Red Labels (jenis wiski) seharga Rp 1.850 sebotol dan satu dry gin seharga Rp 2.500, serta dua botol Coca-cola kaleng mereka tenteng ke kasir.

“Kok, pakai Coca-cola?” tanya D&R. “Buat campuran,” jawab yang bertopi rapper, “kalau mau lebih enak, sebenarnya yang itu.” Itu dikatakan si rapper sambil menunjuk Mansion House. “Yang itu naiknya cepet. Malah, kadang kami sampai enggak bisa jalan kalau nenggak yang model begitu,” tutur si kacamata hitam menjelaskan.

Di toko itu, tak selembar pengumuman tentang miras terlihat. Anak-anak itu pun bilang, mereka selama ini tidak pernah ditolak membeli miras di tempat tersebut. “Di sini, harganya lebih murah. Kalau di warung, harganya sudah naik dua kali lipat. Kalau di toko grosir di sana itu, lebih paten. Enam ribu bisa dapat empat yang model beginian,” kata si rapper sambil tangannya menunjuk ke satu arah, ke toko grosir di arah selatan. Mungkin Goro, maksudnya.

Begitu di Jakarta, begitu pula di Surabaya. Tak susah orang Surabaya, siapa saja, asal punya uang bisa menikmati alkohol. Tinggal pilih: yang ringan, sedang, atau keras. Di sebuah supermarket di Tunjungan Center, misalnya, miras beralkohol di bawah lima persen sampai 40 persen ada. Dari bir Bintang dan San Miguel sampai vodka, Mansion House, dan Brandy gampang dibeli. Dulu, menurut kasir di situ, anak muda yang beli diminta menunjukkan KTP. “Sekarang, karena kebijaksanaan pemilik toko, ya, bebas saja,” katanya.

Namun, tak semua toko swalayan di Surabaya seperti yang di Tunjungan itu. Kebanyakan toko swalayan di Ibu Kota Jawa Timur itu cuma menjual miras sejenis bir yang kadar alkoholnya di bawah lima persen. Di luar toko swalayan, miras bisa dibeli di warung-warung di Kompleks Pelacuran Dolly atau di Jarak. Di kompleks itu, hampir semua rumah yang menyimpan pelacur sekaligus menjual miras. Umumnya, memang hanya sejenis bir dan paling keras hanyalah bir hitam.

Cuma, di kompleks pelacuran, setidaknya sekali dalam sebulan, ada razia miras dari pemda. Masalahnya, razia itu bukannya mau membatasi peredaran minuman memabukkan itu. Benar, kata seorang pemilik warung di kompleks, aparat yang merazai menanyakan izin segala. Tapi, seandainya sebuah warung tak punya izin, ternyata urusan selesai setelah amplop berpindah tangan. Dan, esoknya, bisa dipastikan, semua warung kembali menyediakan bir sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Di Jakarta, di luar pasar swalayan dan kompleks pelacuran semisal di Kramattunggak, Jakarta Utara, miras dijual juga di kios-kios dan warung-warung kecil di kaki lima, pasar, terminal, dan stasiun kereta api. Untuk warung-warung di pasar, misalnya, sedikitnya bir pasti hadir di sisi Coca-cola, Sprite, dan Fanta. Bahkan, warung-warung rokok, terutama di ujung jalan kawasan permukiman, banyak yang menyediakan bir, Bintang atau Anker.

Yang ditakuti pemilik kios atau warung rokok yang menjual bir bukan razia dari aparat, tapi si pembeli sendiri. Soalnya, tak jarang pembeli meminum berbotol bir di situ juga. Dan, kalau mereka sudah mabuk–atau bisa jadi pura-pura mabuk–segalanya bisa terjadi: tak mau membayar atau minta rokok dan uang. Tidak diberi, wah, bisa-bisa kios hancur diobrak-abrik.

Seperti cerita seorang penjual rokok di daerah Pondokkopi, Jakarta Timur, dekat terminal, yang kini sudah berhenti menjual bir. “Saya takut kalau mereka pada minum-minum di sini. Kalau mereka mabuk, dagangan saya di rusak,” katanya.

Di sini, hukum dagang pun berlaku. Maksudnya, tak bakal warung-warung itu menjual miras bila tak ada pembelinya. Seorang penjual rokok di daerah Durensawit, Jakarta Timur, misalnya, yang memajang sembilan kaleng bir Anker, mengaku: “dalam dua minggu, bir itu pasti habis.”

Di lokasi yang lebih ramai, di kawasan Utankayu, dekat jalan by pass, seorang pemilik warung rokok yang tangannya bertato dan lehernya berkalung emas mengaku, dalam seminggu dia bisa menjual dua dus bir kaleng (satu dus berisi 12 kaleng) dan tiga krat botol bir. “Saya jual Anker, kalau Bintang kurang ‘jalan’,” katanya.

Hanya bir yang bisa dibeli di warung-warung itu? Sebentar; menurut beberapa anak muda, jika mereka telah kenal dengan pemilik warung dan hubungan tak ada masalah, kadang bisa juga pesan wiski atau vodka. Dua jenis minuman itu memang tak bakal dipajang. Jadi, sebenarnya, di bawah sadar, ada juga rasa bersalah para penjual itu bila menjajakan minuman yang lebih
keras daripada bir. Padahal, menurut mereka, tak pernah ada razia yang serius. Maksudnya, bila sekadar uang rokok disediakan, oknum aparat tak akan macam-macam.

Tampaknya, bila pemerintah memang serius berniat membatasi peredaran miras, apalagi yang kelas B dan C, diperlukan sanksi yang nyata dan dirasakan cukup berat oleh penjual, selain peraturan yang jelas dan tegas. Bila tidak, ya, akan seperti sekarang ini: di mana-mana Anda mudah membeli mabuk.

Laporan Muhammad Jaelani (Jakarta) dan Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 970222-027/Hal. 72 Rubrik Bisnis & Ekonomi

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236