Masih Belum Titik, Baru Koma
Penduduk Desa Wedoroanom merasa tertipu karena harga pembebasan tanah mereka jauh di bawah yang sudah ditetapkan. Bantuan Rp 450 juta pun tak kunjung datang. Mereka terus memprotes ke berbagai instansi.
KESUNYIAN pagi masih melingkupi Desa Wedoroanom, Kamis dua pekan lalu, ketika sayup-sayup terdengar suara buldoser sedang bekerja. Tiga buah buldoser terlihat dijalankan maju-mundur, bukan untuk meratakan jalan, melainkan sawah milik penduduk. Pekerjaan yang dimulai pada pukul 04.00 itu sempat terhenti sejenak, tapi diteruskan lagi ketika matahari mulai meninggi.
Melihat sawahnya diratakan, pukul 09.00, warga bersama anak-anaknya berbondong-bondong mendatangi lokasi. Poster besar dari triplek berbunyi "Gubernur kan ngomong, tanah ini masih bermasalah" dan "ABRI dari rakyat dan rakyat tidak akan melawan militer" dibawa. Tindakan itu mereka lakukan karena menganggap proses pembebasan 240 hektare tanah mereka, untuk dijadikan pangkalan Kodam V/Brawijaya, belum tuntas.
Namun, aksi itu tak sampai ke lokasi. Pasukan anti-huru-hara, yang sudah ada di desa itu sehari sebelumnya, menghadang mereka. Tak ketinggalan pula pasukan dari Yon Zipur V Malang, yang sejak seminggu lalu berkemah di lokasi. Penduduk terus berupaya menuju ke lokasi melalui jalan lain, sementara itu petugas mengejarnya dengan trailer. Tentu saja mereka kalah. Beberapa warga sempat dipukuli sebelum diangkut ke Kodim Gresik.
Tiga belas penduduk yang dibawa itu baru kembali keesokan harinya. Diterima lurah, Danramil Driyorejo, dan bintara pembina desa (babinsa), mereka dipesan agar tidak bicara kepada siapa pun. "Tapi, kami tidak bisa mengelak ketika warga desa menanyakan kondisi tubuh dan wajah kami," kata Juwaini, 21 tahun. Wajah sebelah kiri mahasiswi semester III Universitas Sunan Giri, Surabaya, itu memang bengkak, yang menyebabkannya sulit makan.
Kondisi yang sama menimpa Fasihin, 15 tahun, siswa madrasah sanawiah kelas II. Hingga sekarang, ia kerap merasa pusing. Bahkan, ketika baru datang, mulut dan hidungnya masih mengeluarkan darah. Anak muda tersebut dianggap terlibat dalam aksi itu dengan mengatapel petugas. Padahal, katapel itu selalu dibawanya untuk mencari burung.
Kondisi Fasihin yang harus dibawa ke dokter itu menyulitkan ibunya, Homsatun, seorang buruh tani. Sehari-hari saja, ibu dari tiga anak itu sering menunggak uang sekolah Fasihin, kadang sampai tiga bulan, meskipun ia hanya diharuskan membayar setengah dari yang seharusnya. Kini, mereka terpaksa mengungsi ke rumah salah seorang saudaranya karena rumah mereka sudah mau ambruk.
Peristiwa yang menimpa ketiga belas warga Desa Wedoroanom itu adalah buntut dari pembebasan tanah yang sudah berlangsung sejak tahun 1989. Tanah seluas 240 hektare akan dijadikan pangkalan Kodam V/Brawijaya. Urutan kejadian sejak tujuh tahun lalu sebagai berikut.
* Tahun 1989
Desa Wedoroanom yang terdiri dari lima dusun dan berjarak 40 kilometer dari Surabaya dipilih oleh Kodam V/Brawijaya untuk dijadikan pangkalannya. Hanya 240 hektare dari 600 hektare, luas Wedoroanom seluruhnya, yang akan dibebaskan. Penduduk tidak keberatan, dengan harga pembebasan Rp 2.250 per meter persegi. Apalagi, orang yang membebaskan tanah berjanji dihadapan warga dan aparat keamanan untuk memberi bantuan pembangunan sarana desa dan masjid, sebesar Rp 450 juta. Panitia pembebasan tanah ditunjuk langsung oleh kodam, tanpa perundingan lebih dulu dengan warga.
* Tahun 1991
Sudah 160 hektare lahan yang dibebaskan. Tapi, janji bantuan Rp 450 juta tak kunjung datang.
* 27 Februari 1996
Sekitar 300 warga berunjuk rasa di DPRD II Gresik karena mereka sudah bosan dengan janji pemberian uang tambahan Rp 450 juta. Mereka juga mempersoalkan harga tanah yang cuma Rp 2.250 per meter persegi. Rupanya, warga sudah mendapat bocoran harga yang ditetapkan untuk tanah mereka. Menurut SK Dirjen Material, Fasilitas, dan Jasa Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) No. 44 Tanggal 11 Desember 1989, taksiran harga di Wedoroanom sebesar Rp 4.660 per meter persegi. Itu membuat warga merasa tertipu.
* 7 Maret 1996
Diadakan dialog antara warga, Bupati Gresik Soewarso, dan pihak kodam. Selain menuntut soal uang Rp 450 juta, warga meminta kepastian harga tanah, ganti rugi tanaman, dan keinginan mereka untuk bertemu investor. Keinginan yang terakhir itu muncul karena warga yakin bahwa tanah Wedoroanom dibebaskan oleh investor yang me-ruislag tanah kodam seluas 60 hektare di Gunungsari.
Siapa investor tersebut, menurut warga, dalam SK Dephankam tahun 1989 itu dinyatakan bahwa tanah di Wedoroanom merupakan tanah pengganti dari PT Ari Daka Perwira. Keyakinan warga makin bertambah ketika, 1 Maret lalu, Pangdam V/Brawijaya Mayjen Imam Utomo mengatakan bahwa, dalam rangka ruislag tanah di Gunungsari, kodam diberi tanah pengganti oleh investor seluas 240 hektare di Wedoroanom. Untuk merealisasinya, kodam mempercayakannya ke PT Ari Daka Perwira.
Bupati Soewarso mencoba menjelaskan bahwa harga tanah mengalami perubahan setiap tahun, sesuai dengan yang ditetapkan DPRD. Untuk tahun 1992/1993, harga dasarnya Rp 2.250 per meter persegi. Tapi, warga tetap berpegang pada taksiran harga dalam SK Dephankam itu. Akhirnya, hanya tuntutan pembangunan sarana desa yang dipenuhi. Itu pun dengan catatan: warga ikut membantu menyelesaikan 90 hektare tanah yang masih belum dibebaskan. Tuntutan warga lainnya dijanjikan akan dibahas pada pertemuan berikutnya.
* 18 Maret 1996
Janji yang dilontarkan dalam dialog tak kunjung terealisasi. Maka, sekitar 200 warga berunjuk rasa ke kantor gubernur. Warga hanya ditemui Samijat dari Direktorat Sosial Politik Jawa Timur. Rencananya, mereka akan dipertemukan dengan Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Abdul Hamid Mahmud, tapi beberapa wakil saja. Penduduk tak bersedia, wakil gubernur pun tak mau turun dari lantai delapan. Sekitar tiga jam, warga lesehan di depan kantor gubernur.
Karena gagal bertemu wakil gubernur, warga hanya bisa menyampaikan tuntutannya yang tertuang dalam "Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditotohi Pati" (Menolak Tunduk, Menuntut Tanggung Jawab). Warga kemudian melakukan long march selama dua jam, sampai di wisma PLN.
* 26 Maret 1996
Tuntutan warga untuk mendapat tambahan dana dipenuhi sebesar Rp 100 juta. Diserahkan oleh Wakil Ketua DPRD Gresik Kahfan Arifin kepada Kepala Desa Wedoroanom Abdul Qodir Yasin. Tapi, warga menganggap masalah belum selesai.
* 15 Mei 1996
Sembilan wakil warga bertemu dengan bupati, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan pihak kodam. Rapat itu tidak membuahkan hasil karena tuntutan ganti rugi sama sekali tak dibicarakan. Namun, Bupati Soewarso menganggap itu bukan jalan buntu, cuma perlu diadakan pertemuan lagi agar titik temu dicapai. Dalam acara itu, bupati menyatakan bahwa investor proyek itu adalah Kodam V/Brawijaya, maka segala masalah pembebasan tanah akan ditangani instansi tersebut, bukan oleh investor.
* 24 Juni 1996
Dengan empat truk, warga berniat ke DPRD, tapi diblokade oleh dua mobil polisi dan motor trail pasukan anti-huru-hara, sekitar empat kilometer dari desa. Warga ingin melanjutkan perjalanan, tapi kepala seksi intelijen kodim mengatakan cara-cara warga itu sudah seperti yang dilakukan PKI. Karena tak membuahkan hasil, mereka membuat mimbar bebas. Setelah Dandim Gresik datang dan berjanji di atas kertas bermeterai akan mengantar warga dengan enam truk ke kantor gubernur, barulah mereka bubar.
* 26 Juni 1996
Janji Dandim Gresik dipenuhi. Tapi, mereka malah diantar ke DPRD. Maka, 300 warga itu berjalan kaki ke kantor gubernur dan segera menggelar mimbar bebas. Kepala Humas Pemda Jawa Timur Tonny Soenarto menjelaskan bahwa Gubernur Basofi Sudirman sedang mengikuti kunjungan Pangab ke Malang. Warga tak peduli. Sambil menungggu, mereka menggelar upacara bendera, pembacaan puisi, dan pembacaan "Sumpah Warga Wedoroanom". Spanduk Paguyuban Penderitaan Warga Wedoroanom pun dibentangkan. Akhirnya, mereka dipertemukan dengan sekretaris wilayah daerah, yang menjanjikan akan mempertemukan dengan gubernur pada tanggal 12 Juli.
* 12 Juli 1996
Warga memang bertemu dengan Gubernur Basofi, tapi gubernur hanya mengucapkan salam dan meninggalkan ruangan karena ada acara di Gresik. Acara dilanjutkan dengan biro humas, yang membacakan jawaban tertulis gubernur. Pertanyaan warga tentang investor di Wedoroanom dijawab oleh gubernur bahwa yang melakukan pembebasan tanah adalah Kodam V/Brawijaya, sedangkan PT Ari Daka Perwira hanya sebatas mitra kerja.
Gagal bertemu gubernur, 16 wakil warga akhirnya berdoa bersama di Makam Sunan Ampel di Masjid Ampel Surabaya. "Karena sulit bertemu dengan penguasa daerah yang masih hidup, ya, kami menemui makam Sunan Ampel," kata salah seorang wakil warga.
* 9 Agustus 1996
Akhirnya, niat warga bertemu gubernur kesampaian. Atas undangan gubernur, 17 wakil warga berdialog dengan Basofi. Setelah mendengarkan penjelasan warga, gubernur minta Bupati Gresik, yang mendampingi, agar masalah itu cepat-cepat ditelusuri. "Dan, kata-kata gubernur waktu itu adalah 'tanah masih belum titik, tapi koma'," ujar Kamali, warga Wedoroanom. Kata-kata itulah yang dijadikan poster dalam aksi di atas.
* 17 Oktober 1996
Perkembangan yang diharapkan penduduk tak kunjung terjadi. Malah, beberapa orang dari Yon Zipur V Malang mendirikan tenda di lokasi yang sudah dan akan dibebaskan. Esok harinya, warga menemui kepala desa dan meminta agar dandim datang ke Wedoroanom, untuk mencegah bentrok dengan warga, namun dandim mengatakan tak bisa datang. Permohonan bertemu dengan komandan lapangan pun tak bisa dipenuhi. Yang hadir dalam pertemuan tanggal 21 Oktober hanya Danramil Driyorejo, yang sejak awal mengatakan tak punya wewenang untuk bicara soal itu.
* 22 Oktober 1996
Karena tak memperoleh jawaban, warga mendatangi DPRD I Jawa Timur untuk menemui Fraksi ABRI di Komisi A. Anggota DPRD minta agar warga membawa bukti-bukti otentik tentang kasus itu dan dijanjikan akan dibawa pada tanggal 25 Oktober. Mereka juga mengatakan jangan sampai terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan warga. Itu berarti tanah tersebut jangan digusur dulu.
* 23 Oktober 1996
Pasukan militer malah makin bertambah, dengan datangnya pasukan anti-huru-hara yang diangkut dengan empat buah truk dan 15 motor trail. Warga mulai bertanya-tanya.
* 24 Oktober 1996
Tanda tanya penduduk terjawab dengan didatangkannya tiga buldoser ke Wedoroanom pada dini hari. Mereka langsung bekerja dan terjadilah peristiwa seperti telah disebut di atas.
Tuntutan warga itu dianggap aneh oleh Pangdam V/Brawijaya Mayjen Imam Utomo, karena penduduk menuntut tanahnya dibeli dengan harga saat ini. Padahal, tuntutan warga sebesar Rp 450 juta sudah diberikan. Soal taksiran harga dalam SK Dephankam tahun 1989 itu, seperti yang diminta warga, Pangdam Imam Utomo mengatakan, "Maksimal kan boleh. Tapi, kami kan bisa menawar harganya dan memang uangnya tidak mencukupi untuk itu."
Soal ruislag? "Namanya ruislag, ya, jual-beli: tukar ganti dengan harga," ujarnya. Menurut dia, tanah itu dibeli dengan uang Angkatan Darat yang menjual lahan di Gunungsari untuk dibuat lahan yasan (real estate). "Kami minta tanah dengan harga keuangan yang dicukupkan," katanya.
Lokasi itu, menurut Pangdam Imam, dibutuhkan agar asrama prajurit tidak berpencar-pencar. Saat ini, mereka punya asrama prajurit di Mojokerto (60 hektare), Madiun (70 hektare), dan ada lagi di Malang. Karena sudah membayar sebagian tanah yang dibebaskan, Pangdam Imam menganggap tak mungkin lagi warga menuntutnya. "Masak, di tanah saya, saya buat lapangan tembak, nggak boleh," ujarnya, membantah kemungkinan bahwa tanah itu dijual ke para pengembang, untuk mencari untung.
Pangdam Imam juga membantah telah terjadi bentrok dengan warga pada hari Kamis dua pekan lalu. "Ada yang mengendalikan kasus ini. Ada mahasiswa ikut demonstrasi, menghasut-hasut untuk minta tambahan ganti rugi, seperti pahlawan kesiangan," katanya.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961109-013/Hal. 20 Rubrik Peristiwa & Analisa
KESUNYIAN pagi masih melingkupi Desa Wedoroanom, Kamis dua pekan lalu, ketika sayup-sayup terdengar suara buldoser sedang bekerja. Tiga buah buldoser terlihat dijalankan maju-mundur, bukan untuk meratakan jalan, melainkan sawah milik penduduk. Pekerjaan yang dimulai pada pukul 04.00 itu sempat terhenti sejenak, tapi diteruskan lagi ketika matahari mulai meninggi.
Melihat sawahnya diratakan, pukul 09.00, warga bersama anak-anaknya berbondong-bondong mendatangi lokasi. Poster besar dari triplek berbunyi "Gubernur kan ngomong, tanah ini masih bermasalah" dan "ABRI dari rakyat dan rakyat tidak akan melawan militer" dibawa. Tindakan itu mereka lakukan karena menganggap proses pembebasan 240 hektare tanah mereka, untuk dijadikan pangkalan Kodam V/Brawijaya, belum tuntas.
Namun, aksi itu tak sampai ke lokasi. Pasukan anti-huru-hara, yang sudah ada di desa itu sehari sebelumnya, menghadang mereka. Tak ketinggalan pula pasukan dari Yon Zipur V Malang, yang sejak seminggu lalu berkemah di lokasi. Penduduk terus berupaya menuju ke lokasi melalui jalan lain, sementara itu petugas mengejarnya dengan trailer. Tentu saja mereka kalah. Beberapa warga sempat dipukuli sebelum diangkut ke Kodim Gresik.
Tiga belas penduduk yang dibawa itu baru kembali keesokan harinya. Diterima lurah, Danramil Driyorejo, dan bintara pembina desa (babinsa), mereka dipesan agar tidak bicara kepada siapa pun. "Tapi, kami tidak bisa mengelak ketika warga desa menanyakan kondisi tubuh dan wajah kami," kata Juwaini, 21 tahun. Wajah sebelah kiri mahasiswi semester III Universitas Sunan Giri, Surabaya, itu memang bengkak, yang menyebabkannya sulit makan.
Kondisi yang sama menimpa Fasihin, 15 tahun, siswa madrasah sanawiah kelas II. Hingga sekarang, ia kerap merasa pusing. Bahkan, ketika baru datang, mulut dan hidungnya masih mengeluarkan darah. Anak muda tersebut dianggap terlibat dalam aksi itu dengan mengatapel petugas. Padahal, katapel itu selalu dibawanya untuk mencari burung.
Kondisi Fasihin yang harus dibawa ke dokter itu menyulitkan ibunya, Homsatun, seorang buruh tani. Sehari-hari saja, ibu dari tiga anak itu sering menunggak uang sekolah Fasihin, kadang sampai tiga bulan, meskipun ia hanya diharuskan membayar setengah dari yang seharusnya. Kini, mereka terpaksa mengungsi ke rumah salah seorang saudaranya karena rumah mereka sudah mau ambruk.
Peristiwa yang menimpa ketiga belas warga Desa Wedoroanom itu adalah buntut dari pembebasan tanah yang sudah berlangsung sejak tahun 1989. Tanah seluas 240 hektare akan dijadikan pangkalan Kodam V/Brawijaya. Urutan kejadian sejak tujuh tahun lalu sebagai berikut.
* Tahun 1989
Desa Wedoroanom yang terdiri dari lima dusun dan berjarak 40 kilometer dari Surabaya dipilih oleh Kodam V/Brawijaya untuk dijadikan pangkalannya. Hanya 240 hektare dari 600 hektare, luas Wedoroanom seluruhnya, yang akan dibebaskan. Penduduk tidak keberatan, dengan harga pembebasan Rp 2.250 per meter persegi. Apalagi, orang yang membebaskan tanah berjanji dihadapan warga dan aparat keamanan untuk memberi bantuan pembangunan sarana desa dan masjid, sebesar Rp 450 juta. Panitia pembebasan tanah ditunjuk langsung oleh kodam, tanpa perundingan lebih dulu dengan warga.
* Tahun 1991
Sudah 160 hektare lahan yang dibebaskan. Tapi, janji bantuan Rp 450 juta tak kunjung datang.
* 27 Februari 1996
Sekitar 300 warga berunjuk rasa di DPRD II Gresik karena mereka sudah bosan dengan janji pemberian uang tambahan Rp 450 juta. Mereka juga mempersoalkan harga tanah yang cuma Rp 2.250 per meter persegi. Rupanya, warga sudah mendapat bocoran harga yang ditetapkan untuk tanah mereka. Menurut SK Dirjen Material, Fasilitas, dan Jasa Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) No. 44 Tanggal 11 Desember 1989, taksiran harga di Wedoroanom sebesar Rp 4.660 per meter persegi. Itu membuat warga merasa tertipu.
* 7 Maret 1996
Diadakan dialog antara warga, Bupati Gresik Soewarso, dan pihak kodam. Selain menuntut soal uang Rp 450 juta, warga meminta kepastian harga tanah, ganti rugi tanaman, dan keinginan mereka untuk bertemu investor. Keinginan yang terakhir itu muncul karena warga yakin bahwa tanah Wedoroanom dibebaskan oleh investor yang me-ruislag tanah kodam seluas 60 hektare di Gunungsari.
Siapa investor tersebut, menurut warga, dalam SK Dephankam tahun 1989 itu dinyatakan bahwa tanah di Wedoroanom merupakan tanah pengganti dari PT Ari Daka Perwira. Keyakinan warga makin bertambah ketika, 1 Maret lalu, Pangdam V/Brawijaya Mayjen Imam Utomo mengatakan bahwa, dalam rangka ruislag tanah di Gunungsari, kodam diberi tanah pengganti oleh investor seluas 240 hektare di Wedoroanom. Untuk merealisasinya, kodam mempercayakannya ke PT Ari Daka Perwira.
Bupati Soewarso mencoba menjelaskan bahwa harga tanah mengalami perubahan setiap tahun, sesuai dengan yang ditetapkan DPRD. Untuk tahun 1992/1993, harga dasarnya Rp 2.250 per meter persegi. Tapi, warga tetap berpegang pada taksiran harga dalam SK Dephankam itu. Akhirnya, hanya tuntutan pembangunan sarana desa yang dipenuhi. Itu pun dengan catatan: warga ikut membantu menyelesaikan 90 hektare tanah yang masih belum dibebaskan. Tuntutan warga lainnya dijanjikan akan dibahas pada pertemuan berikutnya.
* 18 Maret 1996
Janji yang dilontarkan dalam dialog tak kunjung terealisasi. Maka, sekitar 200 warga berunjuk rasa ke kantor gubernur. Warga hanya ditemui Samijat dari Direktorat Sosial Politik Jawa Timur. Rencananya, mereka akan dipertemukan dengan Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Abdul Hamid Mahmud, tapi beberapa wakil saja. Penduduk tak bersedia, wakil gubernur pun tak mau turun dari lantai delapan. Sekitar tiga jam, warga lesehan di depan kantor gubernur.
Karena gagal bertemu wakil gubernur, warga hanya bisa menyampaikan tuntutannya yang tertuang dalam "Sadhumuk Bathuk, Sanyari Bumi, Ditotohi Pati" (Menolak Tunduk, Menuntut Tanggung Jawab). Warga kemudian melakukan long march selama dua jam, sampai di wisma PLN.
* 26 Maret 1996
Tuntutan warga untuk mendapat tambahan dana dipenuhi sebesar Rp 100 juta. Diserahkan oleh Wakil Ketua DPRD Gresik Kahfan Arifin kepada Kepala Desa Wedoroanom Abdul Qodir Yasin. Tapi, warga menganggap masalah belum selesai.
* 15 Mei 1996
Sembilan wakil warga bertemu dengan bupati, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan pihak kodam. Rapat itu tidak membuahkan hasil karena tuntutan ganti rugi sama sekali tak dibicarakan. Namun, Bupati Soewarso menganggap itu bukan jalan buntu, cuma perlu diadakan pertemuan lagi agar titik temu dicapai. Dalam acara itu, bupati menyatakan bahwa investor proyek itu adalah Kodam V/Brawijaya, maka segala masalah pembebasan tanah akan ditangani instansi tersebut, bukan oleh investor.
* 24 Juni 1996
Dengan empat truk, warga berniat ke DPRD, tapi diblokade oleh dua mobil polisi dan motor trail pasukan anti-huru-hara, sekitar empat kilometer dari desa. Warga ingin melanjutkan perjalanan, tapi kepala seksi intelijen kodim mengatakan cara-cara warga itu sudah seperti yang dilakukan PKI. Karena tak membuahkan hasil, mereka membuat mimbar bebas. Setelah Dandim Gresik datang dan berjanji di atas kertas bermeterai akan mengantar warga dengan enam truk ke kantor gubernur, barulah mereka bubar.
* 26 Juni 1996
Janji Dandim Gresik dipenuhi. Tapi, mereka malah diantar ke DPRD. Maka, 300 warga itu berjalan kaki ke kantor gubernur dan segera menggelar mimbar bebas. Kepala Humas Pemda Jawa Timur Tonny Soenarto menjelaskan bahwa Gubernur Basofi Sudirman sedang mengikuti kunjungan Pangab ke Malang. Warga tak peduli. Sambil menungggu, mereka menggelar upacara bendera, pembacaan puisi, dan pembacaan "Sumpah Warga Wedoroanom". Spanduk Paguyuban Penderitaan Warga Wedoroanom pun dibentangkan. Akhirnya, mereka dipertemukan dengan sekretaris wilayah daerah, yang menjanjikan akan mempertemukan dengan gubernur pada tanggal 12 Juli.
* 12 Juli 1996
Warga memang bertemu dengan Gubernur Basofi, tapi gubernur hanya mengucapkan salam dan meninggalkan ruangan karena ada acara di Gresik. Acara dilanjutkan dengan biro humas, yang membacakan jawaban tertulis gubernur. Pertanyaan warga tentang investor di Wedoroanom dijawab oleh gubernur bahwa yang melakukan pembebasan tanah adalah Kodam V/Brawijaya, sedangkan PT Ari Daka Perwira hanya sebatas mitra kerja.
Gagal bertemu gubernur, 16 wakil warga akhirnya berdoa bersama di Makam Sunan Ampel di Masjid Ampel Surabaya. "Karena sulit bertemu dengan penguasa daerah yang masih hidup, ya, kami menemui makam Sunan Ampel," kata salah seorang wakil warga.
* 9 Agustus 1996
Akhirnya, niat warga bertemu gubernur kesampaian. Atas undangan gubernur, 17 wakil warga berdialog dengan Basofi. Setelah mendengarkan penjelasan warga, gubernur minta Bupati Gresik, yang mendampingi, agar masalah itu cepat-cepat ditelusuri. "Dan, kata-kata gubernur waktu itu adalah 'tanah masih belum titik, tapi koma'," ujar Kamali, warga Wedoroanom. Kata-kata itulah yang dijadikan poster dalam aksi di atas.
* 17 Oktober 1996
Perkembangan yang diharapkan penduduk tak kunjung terjadi. Malah, beberapa orang dari Yon Zipur V Malang mendirikan tenda di lokasi yang sudah dan akan dibebaskan. Esok harinya, warga menemui kepala desa dan meminta agar dandim datang ke Wedoroanom, untuk mencegah bentrok dengan warga, namun dandim mengatakan tak bisa datang. Permohonan bertemu dengan komandan lapangan pun tak bisa dipenuhi. Yang hadir dalam pertemuan tanggal 21 Oktober hanya Danramil Driyorejo, yang sejak awal mengatakan tak punya wewenang untuk bicara soal itu.
* 22 Oktober 1996
Karena tak memperoleh jawaban, warga mendatangi DPRD I Jawa Timur untuk menemui Fraksi ABRI di Komisi A. Anggota DPRD minta agar warga membawa bukti-bukti otentik tentang kasus itu dan dijanjikan akan dibawa pada tanggal 25 Oktober. Mereka juga mengatakan jangan sampai terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan warga. Itu berarti tanah tersebut jangan digusur dulu.
* 23 Oktober 1996
Pasukan militer malah makin bertambah, dengan datangnya pasukan anti-huru-hara yang diangkut dengan empat buah truk dan 15 motor trail. Warga mulai bertanya-tanya.
* 24 Oktober 1996
Tanda tanya penduduk terjawab dengan didatangkannya tiga buldoser ke Wedoroanom pada dini hari. Mereka langsung bekerja dan terjadilah peristiwa seperti telah disebut di atas.
Tuntutan warga itu dianggap aneh oleh Pangdam V/Brawijaya Mayjen Imam Utomo, karena penduduk menuntut tanahnya dibeli dengan harga saat ini. Padahal, tuntutan warga sebesar Rp 450 juta sudah diberikan. Soal taksiran harga dalam SK Dephankam tahun 1989 itu, seperti yang diminta warga, Pangdam Imam Utomo mengatakan, "Maksimal kan boleh. Tapi, kami kan bisa menawar harganya dan memang uangnya tidak mencukupi untuk itu."
Soal ruislag? "Namanya ruislag, ya, jual-beli: tukar ganti dengan harga," ujarnya. Menurut dia, tanah itu dibeli dengan uang Angkatan Darat yang menjual lahan di Gunungsari untuk dibuat lahan yasan (real estate). "Kami minta tanah dengan harga keuangan yang dicukupkan," katanya.
Lokasi itu, menurut Pangdam Imam, dibutuhkan agar asrama prajurit tidak berpencar-pencar. Saat ini, mereka punya asrama prajurit di Mojokerto (60 hektare), Madiun (70 hektare), dan ada lagi di Malang. Karena sudah membayar sebagian tanah yang dibebaskan, Pangdam Imam menganggap tak mungkin lagi warga menuntutnya. "Masak, di tanah saya, saya buat lapangan tembak, nggak boleh," ujarnya, membantah kemungkinan bahwa tanah itu dijual ke para pengembang, untuk mencari untung.
Pangdam Imam juga membantah telah terjadi bentrok dengan warga pada hari Kamis dua pekan lalu. "Ada yang mengendalikan kasus ini. Ada mahasiswa ikut demonstrasi, menghasut-hasut untuk minta tambahan ganti rugi, seperti pahlawan kesiangan," katanya.
Laporan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 961109-013/Hal. 20 Rubrik Peristiwa & Analisa
Comments