Skip to main content

Bila Maut Menjemput di Penjara

Sejumlah tahanan polisi tewas di penjara. Antara lain, terjadi di Bandung dan Probolinggo. Akibat perlakuan dan kelalaian petugas?

MATI dalam tahanan polisi, mestinya, tak pernah terlintas dalam benak Dwi Purnomo, 29 tahun. Tapi, justru itulah yang dialami warga Kelurahan Jati Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur, itu pada akhir Agustus lalu. "Kalau memang anak saya salah, kan harusnya diadili. Tapi, mosok dibegitukan (dibunuh, red)," kata Tatik Sugiarti, ibunda Purnomo, yang sebelumnya tak pernah diberitahu polisi mengenai penangkapan puteranya.

Ketidaktahuan perihal penangkapan Purnomo juga dialami istrinya, Winarni. Pasalnya, saat penangkapan suaminya, 28 Agustus lalu, ia sedang membantu bibinya berjualan di sebuah acara karaoke dalam memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia di Kelurahan Jati. Ketika dia pulang ke rumah,
sekitar jam 12.00 malam, ternyata suaminya belum pulang. Saat itulah dia diberitahu seorang teman Purnomo, bahwa suaminya ditangkap polisi di Jalan Merpati, saat nonton ludruk. Menurut informasi yang diterima Winarni, penangkapan Purnomo dilakukan dengan kasar. Setelah tertangkap, tangannya diikat ke belakang, lalu dinaikkan ke atas becak. Kaki dan pahanya diduduki petugas yang menangkapnya. "Dan, ketika mobil polisi datang, dia dilemparkan keatas mobil seperti melempar wedus (kambing)," cerita Winarti dengan berurai air mata.

Padahal, siang harinya, Purnomo sudah merencanakan pergi ke Surabaya untuk melakukan operasi tato yang menghiasi sebagian tubuhnya. Bapak satu anak, yang dikenal sebagai penjahat kambuhan, itu telah menyatakan niatnya untuk bertobat. Niat tersebut, tentu saja, disambut baik sang istri. Malah, untuk keperluan membersihkan tato itu Winarni merelakan kalung emasnya untuk dijual. Dan, siang hari sebelum tertangkap, Purnomo memang menjual kalung itu senilai Rp 800 ribu. "Uang itu sempat ditunjukkan kepada saya," kata Winarni. Tapi, bukannya langsung berangkat ke Surabaya, Purnomo malah singgah nonton wayang dulu. Naasnya, di sana ia justru tertangkap polisi, dan sehari kemudian tewas.

Pihak keluarga Purnomo, tentu saja, tak bisa menerima kematian "misterius" itu. Apalagi, menurut Joko Sugiarto (paman Purnomo), saat pertama kali melihat jenazah keponakannya di Rumah Sakit (RS) Dr. Mohammad Saleh, Probolinggo, ia tidak melihat luka tembak di dada dan kepala Purnomo, seperti yang diungkapkan polisi. Ia hanya melihat luka tembak pada dua lutut. Yang justru disaksikannnya adalah memar-memar di tubuh Purnomo, yang terdapat hampir di semua sendi. Bahkan, di belakang punggungnya, terlihat bekas bakaran plastik. "Wajah mayat Purnomo seperti menahan sakit," kata Joko.

Kecurigaan Joko sebenarnya sudah muncul pad a saat sebelum masuk ke kamar mayat. Ketika itu, ia terlebih dahulu bertemu dengan polisi berpakaian preman dan Kepala Desa Jati, yang mendesaknya agar segera membelikan lawon (kain kafan, red.). Jenazah juga tidak boleh dibawa, sebelum dimandikan di rumah sakit. Mereka juga menginstruksikan agar mayat Purnomo langsung dikuburkan saja. "Berdasarkan informasi petugas kamar mayat, Purnomo dibawa ke situ saat sudah menjadi mayat," kata Joko lagi.

Berbagai kecurigaan tersebut, tentu saja, dibantah pihak kepolisian. Menurut Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Probolinggo, Letnan Kolonel Ferial Manaf, ketika akan ditangkap Purnomo mengadakan perlawanan dan berkelahi dengan petugas. Akibatnya, terjadi baku hantam antara Purnomo dengan 2 petugas Polres, Sersan Mayor Siagian dan Sersan Dua Bambang, serta satu orang petugas brigade mobil. "Mungkin karena itu, banyak memar di tubuhnya," kata Ferial, yang didampingi Kepala Satuan Reserse (Kasatserse) Polres Probolinggo, Kapten Karijanto.

Dalam pemeriksaan, Purnomo mengaku telah melakukan pencurian kendaraan bermotor sebanyak 7 kali, dan menjualnya ke Jember. "Dia memang bromocorah yang telah lama menjadi buronan kami," kata Ferial lagi. Karena itulah, untuk keperluan penyidikan, esok harinya Purnomo dibawa ke Jember. Tapi, di kota ini, ia malah memberikan keterangan yang menyesatkan petugas. Rupanya, ia ingin melindungi tukang tadah barang curiannya.

Akibat ulahnya itu, tim penyidik memutuskan kembali ke Probolinggo, dengan naik mobil pick-up. Namun, di tengah jalan Purnomo berusaha melarikan diri, menerobos kawalan 8 petugas. Petugas pun mengeluarkan tembakan peringatan 3 kali. Tapi, Purnomo terus berlari. Akhirnya, "Dor… dor…," beberapa peluru bersarang di tempurung kakinya. Ia pun buru-buru dibawa ke RS. Tapi, di tengah jalan Purnomo keburu menghembuskan napas terakhir. "Menurut visum dokter, mungkin karena kehabisan darah. Mungkin, lho, ya," kata Kapten Karijanto.

Toh, penjelasan itu tak memuaskan keluarga Purnomo. Karena itu, mereka mengadukan perkara tersebut ke Polisi Militer setempat. Selain itu, ibunda Purnomo melayangkan surat pengaduan ke Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. "Saya mohon keadilan kepada Bapak, atas tindakan petugas Polres Probolinggo yang menyebabkan kematian anak saya," begitu antara lain kata Sugiarti dalam surat yang ditembuskan ke berbagai instansi. Lebih jauh lagi, ia akan mengajukan tuntutan ke pengadilan. "Kami ingin hukum dan keadilan ditegakkan sebagaimana mestinya," ujar Joko.

Pihak Polres Probolinggo sendiri siap menghadapi tuntutan itu. "Silakan, itu hak mereka," kata Letkol Ferial. "Yang jelas, petugas kami melaksanakan tugas sesuai prosedur," kata dia lebih lanjut. Lagipula, seperti dikatakan Kapten Karijanto, masyarakat mengucapkan terima kasih atas tertangkapnya Purnomo, yang dikenal sebagai pencuri kendaraan bermotor.

Nasib serupa, tewas dalam penjara, juga menimpa Supriyanto, 25 tahun. Tersangka pembunuh Dadang Daud Suhana (lihat: D&R No.8/Oktober 1996) itu meninggal dunia di dalam tahanan Polsek Batujajar, Bandung, pada hari Selasa, dua pekan lalu. "Saat itu, ia mengeluh sakit perut biasa. Ia sempat diperiksa di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), lalu dibawa ke RS Sartika Asih Bandung. Tapi, tak lama kemudian ia meninggal," jelas Kapolsek Batujajar, Letnan Satu (Pol) Ihwan, yang mengaku kaget mendengar berita itu.

Yang lebih kaget lagi, tentunya, pihak keluarga Supriyanto dan pengacaranya, Johnmen Saragih. Apalagi, setelah diteliti lebih jauh, ada beberapa kejanggalan yang tak sesuai dengan laporan polisi. Misalnya, soal pemeriksaan di Puskesmas, ternyata tak diakui pihak Puskesmas Batujajar sendiri. Bahkan, Mantri Rahmat yang disebut-sebut dalam laporan polisi, tak terdaftar sebagai karyawan Puskesmas. "Berangkat dari sini, kami semakin penasaran ingin mengungkap kejadian yang sebenarnya," kata Saragih lagi.

Dari hasil penyelidikan pengacaranya, terungkap bahwa Supriyanto memang sempat dirawat di RS Sartika Asih Bandung. Dokter yang merawatnya adalah dr. Retno B., yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga. Ketika itu, Supriyanto sempat diinfus, disuntik dua kali, diberi bantuan pernapasan dengan tabung oksigen. Setelah itu, ia dibawa kembali ke kantor Polsek. Padahal, menurut Saragih, pemeriksaan itu membuktikan bahwa penyakit kliennya sudah kronis. "Kami menduga telah terjadi kesalahan diagnosa oleh dokter, dan kelalaian pihak Polsek yang tidak sedini mungkin membawa klien saya ke rumah sakit terdekat untuk diopname," kata Saragih.

Karena itulah, Saragih melayangkan surat protes kepada Polsek Batujajar, dengan tembusan kepada Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung. Pokoknya, "Kami dan pihak keluarga sepakat akan mengusut kasus ini melalui jalur hukum," kata Saragih lagi.

Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 961026-011/Hal. 86 Rubrik Romantika

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236