Independen — Perbincangan soal sertifikasi wartawan kembali marak belakangan ini, di tengah pergunjingan ramai soal menjamurnya media dan wartawan yang punya karakter abal-abal. Abal-abal adalah sebutan berkonotasi negatif untuk menyebut media dan wartawan yang sebenarnya hanya alat untuk kepentingan ekonomi atau politik semata. Tujuan utamanya bukan untuk menjalankan fungsi jurnalistik.
Kita bisa berdebat soal definisi media atau jurnalis abal-abal. Tapi sebagian besar kita –mungkin– punya kekhawatiran sama soal berita hoax, berita bohong, yang diproduksi dan disebarkan ‘media abal-abal’ itu. Karena sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Karakter berita semacam itu tak hanya merusak citra jurnalisme tapi juga mengancam keragaman. Karena isinya memprovokasi dan mengobarkan intoleransi. Membludaknya produksi berita hoax dan bohong itu, yang umumnya tersebar melalui internet, mendorong Presiden Joko Widodo memerintahkan adanya evaluasi terhadap media online karena dianggap sengaja memproduksi berita- berita bohong, memakai judul provokatif, dan mengandung fitnah.
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi, saat ini, ada sekitar 700-800 ribu situs yang menyebarkan kabar bohong di internet. Soal media abal-abal ini menjadi isu penting dan rencana Dewan Pers untuk melakukan verifikasi, patut dukung. Namun saya akan lebih fokus pada soal bagaimana memerangi wartawan abal-abal ini.
Nilai Sertifikasi Wartawan
Kegelisahan terhadap wartawan abal-abal ini sudah berlangsung lama. Ada yang menyebut wartawan model ini sebagai wartawan “bodrex”. Ini adalah sebutan terhadap seseorang yang memanfaatkan kartu pers, status bekerjanya di perusahaan media, untuk mencari uang semata dan tak ada urusan dengan soal jurnalisme. Ada yang meminta uang dengan baik-baik, tapi ada juga yang memakai metode ancaman.
Obat dari Dewan Pers untuk mengatasi soal ini, yaitu melalui sertifikasi wartawan. Dibahas pada 2008, sertifikasi wartawan akhirnya dilaksanakan sejak 2010 dengan keluarnya Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2000 tentang Standar Kompetensi Wartawan pada 2 Februari 2010. Sertifikat, secara sederhana, adalah seleksi formal menentukan seseorang itu wartawan profesional atau bukan.
Ide dasar dari sertifikasi ini mirip dengan lisensi untuk lulusan Fakultas Hukum yang ingin mendapat izin melakukan pembelaan kasus di pengadilan, atau lulusan Fakultas Kedokteran yang ini mendapatkan izin membuka praktik layanan kesehatan pada masyarakat. Salah satu tujuan utama sertifikasi wartawan–yang ditandai dengan pemberian sertifikat sesuai dengan jenjangnya– untuk memastikan wartawan memiliki kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai untuk bekerja di sektor media. Sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis cum media memiliki fungsi mendidik, menghibur, dan menjalankan kontrol sosial.
Sertifikasi ini juga bisa digunakan sebagai sistem evaluasi bagi perusahaan atau organisasi atas kualitas seorang wartawan. Sertifikasi itu juga akan mendorong adanya standarisasi terhadap pekerja di bidang media massa, yang dalam jangka panjang diharapkan menjaga nama baik profesi wartawan. Salah satu tujuan, meski tak dirumuskan tertulis, adalah mencegah wartawan abal-abal memanfaatkan profesi ini.
Pelaksana sertifikasi ini bukan Dewan Pers. Tapi didelegasikan kepada sejumlah organisasi atau lembaga. Ada empat jenis lembaga atau organisasi yang bisa menjadi lembaga uji kompetensi wartawan (UKJ) atau lembaga sertifikasi wartawan, yaitu perusahaan pers, perguruan tinggi, organisasi wartawan, dan lembaga pelatihan jurnalisme.
Dewan Pers telah mengeluarkan empat surat keputusan tentang kriteria dan tata cara yang harus dipenuhi lembaga atau organisasi itu untuk dapat menggelar uji kompetensi wartawan. Organisasi wartawan, yang memiliki sertifikat menguji ada tiga, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Lembaga lain yang memiliki sertifikat penguji antara lain Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), London School of Public Relation (LSPR), Universitas Indonesia dan lain-lain. (Daftar lengkap lembaga penguji, ada di sini).
Lembaga yang memiliki sertifikasi itulah yang melakukan ujian terhadap wartawan yang ingin mendapatkan sertifikat, baik level muda, madya maupun utama. Daftar nama wartawan yang dinyatakan lulus ujian itu nantinya akan diserahkan lembaga penguji ke Dewan Pers untuk dibuatkan sertifikatnya. Hingga kini ada hampir 10 ribu wartawan yang sudah mengikuti ujian sertifikasi. (Data lengkap wartawan yang telah mendapatkan sertifikat lihat di sini)
Pertanyaannya kemudian, apakah mereka yang sudah memiliki sertifikat itu memiliki kompetensi sesuai standar Dewan Pers sebagai jurnalis profesional? Tentu saja jawabannya ‘belum tentu’. Dewan Pers memang sudah merumuskan secara jelas soal siapa saja wartawan yang bisa mengikuti uji kompetensi dan materi apa saja yang harus masuk dalam ujian. Hal yang perlu diperiksa adalah, apakah semua ketentuan yang disahkan Dewan Pers itu dipatuhi lembaga penguji?
Menguji Lembaga Penguji
Menguji kepatuhan lembaga penguji terhadap ketentuan penyelenggaraan UKJ dapat merujuk pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2015 tentang Peserta Uji Kompetensi Wartawan yang disahkan pada Jakarta, 17 April 2015. Inilah daftar periksa yang bisa dipakai untuk menilai apakah wartawan itu layak mengikuti uji kompetensi, yang kemudian berhak mendapatkan sertifikat:
– Apakah wartawan itu bisa menunjukkan bukti dengan kartu pers atau surat keterangan dari perusahaan pers, dan menunjukkan hasil kerja atau karya jurnalistiknya tiga bulan terakhir?
– Apakah ia telah menjadi wartawan sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun?
– Apakah ia bekerja sebagai wartawan di perusahaan pers dan lembaga penyiaran yang sesuai standar Dewan Pers?
Berdasarkan standar Dewan Pers, perusahaan pers dan lembaga penyiaran yang dianggap sesuai ketentuan itu apabila memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
– Berbadan hukum Indonesia dalam bentuk perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi, atau badan hukum pers lain, yang dibentuk oleh negara dan disebutkan atau disiarkan secara terbuka melalui media masing-masing.
-Media itu memuat nama penanggung jawab dan alamat (termasuk nomor telepon dan alamat surat elektronik) secara terbuka.
-Media itu melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
-Media itu dikelola untuk kepentingan umum, bukan media kehumasan, dan bukan media internal organisasi atau perusahaan.
-Media itu tidak menggunakan nama dan atau logo penerbitan, laman, atau lembaga penyiaran yang menyerupai nama lembaga negara atau badan publik.
Ketentuan di atas salah satu daftar uji untuk melihat apakah lembaga penguji seperti AJI, PWI, IJTI, dan lainnya, mematuhi ketentuan yang ditetapkan Dewan Pers. Selain soal syarat untuk menjadi peserta, hal krusial lain dari sertifikasi wartawan adalah ketaatan lembaga penguji terhadap pelaksanaan ujian. Bobot dan materi ujian untuk level muda, madya dan utama, berbeda-beda. Pengetahuan dan keterampilan yang dituntut dalam tiga jenjang itu berbeda. Hal krusialnya adalah, apakah materi ujian terhadap ketiga jenjang itu diterapkan secara ketat, atau longgar dalam pelaksanaannya?
Ketaatan dalam pelaksanaan ujian penting karena menentukan kualitas lulusannya. Tapi bagi saya, yang tak kalah penting adalah kepatuhan lembaga penguji untuk menerapkan persyaratan secara ketat dalam menjaring peserta uji kompetensi.
Cabut Lisensi
Dalam diskusi peneliti Indeks Kemerdekaan Pers-Dewan Pers 2015, pada Oktober 2016, peneliti dari beberapa daerah menyampaikan terdapat lembaga yang menguji dan memberikan sertifikat pada peserta yang bukan wartawan, atau mereka yang bekerja di media yang tak memenuhi ketentuan Dewan Pers. Fakta ini adalah pelanggaran terang-terangan yang dilakukan lembaga penguji terhadap ketentuan yang dibuat Dewan Pers.
Pelanggaran itu sekaligus menunjukkan lembaga penguji justru memberi status legal kepada ‘wartawan abal-abal.’ Karena itu Dewan Pers perlu melakukan review rutin terhadap lembaga penguji. Lembaga penguji yang tak patuh pada ketentuan soal peserta dapat menggerogoti semangat yang diusung dan menjadikan program sertifikasi ini kurang ada gunanya.
Lisensi sebagai lembaga penguji pada lembaga yang tidak taat pada regulasi sertifikasi sudah sepatutnya dicabut. Sebab, tindakan seperti itu tak hanya mencoreng citra Dewan Pers dan lembaga penguji lainnya, tapi juga mengacaukan niat baik program sertifikasi, yang salah satunya mencegah masuknya wartawan abal-abal ke dalam profesi yang mulia ini.
Pengawasan publik atas kepatuhan lembaga penguji dalam menjalankan ketentuan sertifikasi wartawan, menjadi sangat penting. Jika masyarakat menemukan sesorang yang bukan wartawan, atau dia bekerja di media yang tak memenuhi ketentuan Dewan Pers, sebaiknya memberikan laporan kepada Dewan Pers. Ini adalah salah satu mekanisme kontrol masyarakat bagi lembaga penguji agar tak main-main dan tetap taat aturan.*
Tulisan dimuat di media Independen.id