Kantor berita Amerika Serikat, Associated Press, melancarkan protes kepada Gedung Putih karena wartawannya dilarang meliput acara Presiden Donald Trump. Dalam surat tertanggal 12 Februari 2025, AP menyebut kantor presiden melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS yang memberi jaminan kebebasan bagi jurnalis dalam bekerja.
Julie Pace, redaktur AP mengatakan dalam surat yang ditujukan kepada Susie Wiles, kepala staf Gedung Putih, bahwa Gedung Putih melarang masuk jurnalis AP untuk menghadiri dua acara pers bersama Presiden Trump sehari sebelumnya, Selasa, 11 Februari 2025. Dua kegiatan itu meliputi penandatanganan perintah eksekutif di Ruang Oval dan acara malam pers di Ruang Diplomatik.
Pace mengatakan bahwa sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, memberi tahu reporter AP bahwa akses organisasi berita tersebut ke Ruang Oval akan dibatasi jika kantor berita tersebut tidak mulai menggunakan istilah “Teluk Amerika” untuk “Teluk Meksiko”. Seperti diketahui, pada hari pertamanya menjabat sebagai presiden, Trump memerintahkan otoritas AS untuk mengubah nama pada peta resmi melalui perintah eksekutif.
AP tak mengikuti kebijakan trump itu. AP, dalam panduan penulisannya, tetap menyebut kawasan perairan itu sebagai Teluk Meksiko. Kata AP, perintah Trump tersebut hanya berlaku di Amerika Serikat. Sedangkan Meksiko serta negara-negara lain dan badan-badan internasional, tidak harus mengakui perubahan nama tersebut.
Menurut AP, Teluk Meksiko telah menyandang nama tersebut selama lebih dari 400 tahun. AP akan menyebutnya dengan nama aslinya sambil mengakui nama baru yang dipilih Trump. Sebagai kantor berita global yang menyebarkan berita ke seluruh dunia, AP harus memastikan bahwa nama tempat dan geografi mudah dikenali oleh semua khalayak.
Sikap itulah yang membuat Gedung Putih tidak senang dan melarang jurnalis AP meliput kegiatan Trump. Bagi AP, tindakan ini jelas merupakan hukuman. Pace dalam surat tersebut menyatakan. “Salah satu prinsip paling mendasar dari Amandemen Pertama adalah bahwa pemerintah tidak dapat membalas dendam terhadap publik atau pers atas apa yang mereka katakan. Ini adalah diskriminasi dari sudut pandang berdasarkan pilihan editorial organisasi berita dan pelanggaran yang jelas terhadap Amandemen Pertama.”
Presiden Asosiasi Koresponden Gedung Putih, Eugene Daniels, mengkritik langkah Gedung Putih. Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, Daniels menyatakan bahwa Gedung Putih “tidak dapat mendikte bagaimana organisasi berita melaporkan berita, dan tidak boleh menghukum jurnalis yang bekerja karena tidak senang dengan keputusan editor mereka.”
Gedung Putih membela diri atas tindakannya. Karoline Leavitt menegaskan bahwa pemerintah berhak untuk secara khusus menyoroti AP. “Merupakan suatu keistimewaan untuk meliput Gedung Putih ini,” katanya sembari menambahkan bahwa tidak semua orang mendapatkan hak masuk ke Ruang Oval dan mengajukan pertanyaan kepada presiden AS. “Kami berhak memutuskan siapa yang boleh masuk ke Ruang Oval,” kata dia.
Foundation for Individual Rights and Expression (FIRE) setuju dengan klaim AP. Menurut FIRE, Amandemen Pertama memang tidak mengharuskan Gedung Putih untuk membuka pintunya bagi media atau mengadakan konferensi pers. Presiden juga tidak harus melakukan wawancara empat mata dengan CNN hanya karena dia pernah melakukannya dengan Fox News. Namun, keputusan pengadilan yang berlaku selama beberapa dekade memperjelas bahwa setelah pemerintah memberikan akses media, pemerintah harus mematuhi aturan konstitusional.
Kata FIRE, itu tidak berarti Gedung Putih harus mengizinkan setiap wartawan di dunia masuk ke Ruang Oval atau ruang konferensi pers. Keterbatasan ruang jelas membuat hal itu mustahil dan tidak semua wartawan bisa mendapatkan kartu tanda liputan. Namun, alasan dari penolakan akses itu penting. Ketika pemerintah secara eksplisit melarang wartawan karena tidak menyukai laporan atau pandangan politik mereka, itu melanggar Amandemen Pertama.
FIRE mengutip pernyataan salah satu pengadilan federal yang menyatakan, “Baik pengadilan maupun cabang pemerintah lainnya tidak boleh diizinkan mempengaruhi konten atau isi berita dengan mengatur organisasi berita mana yang memiliki akses ke informasi yang relevan.”
Karena penolakan akses pers melibatkan potensi pencabutan hak Amandemen Pertama, kata FIRE, maka setiap keputusan tentang siapa yang boleh masuk atau keluar juga harus memenuhi proses hukum yang wajar. Itu berarti pemerintah harus menetapkan kriteria dan prosedur yang jelas dan tidak memihak. Wartawan juga harus menerima pemberitahuan tentang alasan penolakan akses mereka dan memiliki kesempatan yang adil untuk mempersoalkan keputusan tersebut.
Kasus ini menjadi sorotan luas karena AP merupakan kantor berita utama yang memproduksi dan mendistribusikan laporan ke ribuan surat kabar, radio, dan penyiar TV di seluruh dunia yang telah lama memiliki akses ke Gedung Putih. Kalau sekarang AP kehilangan akses itu karena kebijaksanaan editorialnya tidak sejalan dengan pemerintah, kata FIRE, itu adalah tindakan diskriminasi dan inkonstitusional.
Ini bukan pertama kalinya Gedung Putih mengusir seorang jurnalis karena laporannya yang kritis, atau mengajukan pertanyaan sulit, atau tidak mengikuti arahan pemerintah. Menurut data FIRE, selama masa jabatan pertama Trump, Gedung Putih menangguhkan izin meliput reporter CNN Jim Acosta setelah menginterogasi presiden tentang pandangannya tentang isu imigrasi. Setelah jaringan tersebut mengajukan gugatan, pengadilan federal memerintahkan akses Acosta dipulihkan.