Close Menu
abdulmanan.netabdulmanan.net
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
Facebook X (Twitter) Instagram
14 June 2025
abdulmanan.netabdulmanan.net
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
abdulmanan.netabdulmanan.net
Home»Mandek di Tangan Mahkamah

Mandek di Tangan Mahkamah

Abdul Manan18 December 2006
Default Image
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email
Pemerintah bisa menerbitkan peraturan pengganti undang-undang untuk mengganti Undang-Undang Komisi Kebenaran. DPR akan merevisi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

PUTUSAN itu dengan cepat melompat dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi ke ruang kerja Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, di kawasan Senayan, Jakarta. Kamis dua pekan lalu, beberapa saat setelah Mahkamah mengetukkan palunya, Trimedya segera mendapat berita yang membuatnya terperanjat. Mahkamah mencabut Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Putusan ini menampar wajah Dewan,” ujar Trimedya.

Mahkamah Konstitusi menyatakan produk DPR tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR. Mereka otomatis ”minggir”. ”Kita harus mulai dari nol lagi,” ujar Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, mengomentari ”matinya” UU Komisi Kebenaran.

Putusan Mahkamah itu menjawab gugatan uji material yang diajukan, antara lain, LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Imparsial. Setahun silam lembaga-lembaga tersebut meminta Mahkamah membatalkan pasal 1 ayat 9, pasal 27, dan pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran. Mereka menyebut pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 45.

Pada pasal 1 ayat 9, misalnya, disebutkan amnesti diberikan presiden untuk pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi setelah memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Mahkamah, untuk pelaku pelanggaran berat hak asasi tidak ada ruang sama sekali untuk amnesti. Jadi, pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang sudah diterima oleh hukum Indonesia.

Adapun pasal 27 menegaskan, kompensasi dan rehabilitasi untuk korban diberikan jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Menurut Mahkamah, pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tidak bergantung pada satu kondisi, termasuk amnesti. Nah, pasal ini dinilai bertabrakan dengan konstitusi, yang memberikan jaminan warga Indonesia mendapat perlindungan hak asasi.

Sebenarnya hanya pasal 27 yang dibatalkan Mahkamah. Pasal itu, menurut Mahkamah, jelas bertubrukan dengan UUD 45. Namun, karena seluruh ”operasional” Undang-Undang Komisi Kebenaran dinilai bergantung dan bermuara pada pasal 27, Mahkamah pun ”membekukan” undang-undang tersebut. Menurut Mahkamah, dengan aturan-aturan seperti itu, undang-undang itu justru tidak mendorong pelaku menyelesaikan perkaranya lewat Komisi Kebenaran. ”Karena mengandung banyak ketidakpastian hukum,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.

Sidarto Danusubroto, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenar-an, menyambut putusan itu dengan kecewa. ”Itu vonis yang sangat saya sayangkan,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini. Menurut dia, undang-undang ini dulu dibuat untuk melengkapi pengadilan hak asasi yang tidak bisa retroaktif, berlaku surut. ”Dengan putusan itu, situasinya kini jadi pincang,” ujarnya.

Kritik pedas juga disuarakan Direktur Institut Titian Perdamaian, Ichsan Malik. Menurut dia, dengan ”membekukan” UU Komisi Kebenaran, Mahkamah Konstitusi seperti tak ingin mencari kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi. ”Sebaliknya, seperti ingin menutup kasus pelanggaran hak asasi masa lalu dengan melangkah di luar permintaan pemohon,” ujarnya.

Trimedya mencatat ini kedua kalinya Mahkamah Konstitusi membuat putusan berlebihan. Sebelumnya, putusan berlebih di luar permintaan pemohon (ultra petitum) pernah dijatuhkan saat menyidangkan gugatan uji material Undang-Undang Komisi Yudisial. Menurut Trimedya, jika ini terus terjadi, bisa gawat. ”Bukan hanya memboroskan uang negara karena untuk membuat satu undang-undang menghabiskan sekitar Rp 3 miliar, tapi ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum,” ujarnya.

Sejauh ini, kata Trimedya, dia belum tahu wadah untuk mengadakan rekonsiliasi setelah Komisi Kebenaran dibekukan. Komisi hukum, ujarnya, akan membicarakan soal ini lebih dulu dengan Mahkamah Konstitusi. ”Pada awal Januari, kami akan menggelar rapat konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. ”Ini prioritas.”

Pekan lalu Komisi Hukum sudah mengirim surat ke Badan Legislatif DPR. Mereka mengusulkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi direvisi. Komisi akan meminta kewenangan lembaga itu direvisi. Setelah itu, baru Komisi akan membahas mekanisme kontrol bagi Mahkamah Konstitusi. ”Ini didasari bahwa tidak ada lembaga yang memiliki impunitas,” ujarnya.

Tak semua kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Aktivis hak asasi yang juga bekas Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, misalnya, menganggap putusan Mahkamah tepat. ”Dari segi standar internasional, Undang-Undang Komisi Kebenaran memang kurang memadai,” ujarnya. ”Putusan ini juga menunjukkan rendahnya kualitas DPR dan pemerintah merumuskan undang-undang,” ujarnya lagi. Agar tak terjadi kekosongan hukum, Asmara mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). ”Atau masyarakat membuat sendiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.

Harapan ini pula yang merayap di hati Rukayyah. Warga Desa Lamroh, Kuta Baro, Aceh Besar ini mengharap masyarakat atau Pemerintah Daerah Aceh segera membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kepada Tempo, pekan lalu, perempuan ini menyatakan dirinya sangat sedih kala mendengar Mahkamah mencabut UU Komisi Kebenaran. ”Saya kecewa kepada pemerintah yang seperti menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi, khususnya di Aceh,” ujarnya.

Konflik Aceh memang membuat perempuan 38 tahun ini kehilangan adiknya, M. Amin. Sang adik tewas tertembak kepalanya sesaat setelah keluar dari pintu rumahnya. Rukayyah tak tahu pelakunya, aparat TNI atau anggota Gerakan Aceh Merdeka. ”Tapi saya akan terus berjuang menuntut keadilan, walau satu pintu telah tertutup,” ujarnya.

Keinginan Rukayyah—dan mungkin jutaan korban konflik Aceh lainnya—bisa jadi terwujud. Menurut Ketua Komisi Hukum dan Pemerintahan DPRD Aceh, Mukhlis Muchtar, Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan Helsinki memang mengamanatkan dibentuknya komisi kebenaran. ”Di Aceh komisi ini harus ada. Ini kewajiban konstitusional,” ujarnya.

Maria Hasugian, Abdul Manan, Sunariah, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Majalah Tempo, Edisi. 43/XXXV/18 – 24 Desember 2006

Law
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email WhatsApp

Related Posts

ICW: Politisi Terganggu Sepak Terjang Satgas Anti Mafia

1 December 2010

Greenpeace: Kontribusi AS Kurang dari Kebutuhan Indonesia

9 November 2010

Tak Siap, tapi Harus Jalan Terus

30 April 2010

Denny Indrayana: Bukti Tuduhan ke Pimpinan KPK Sangat Lemah

16 July 2009

Greenpeace Discovers Illegal Logging in Nabire

18 October 2008

Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri

15 September 2008
Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

About
About

Memulai karir sebagai koresponden Majalah D&R di Surabaya pada 1996 sampai 1999. Setelah itu menjadi editor Harian Nusa, Denpasar (1999-2001), bergabung ke Tempo sejak 2001 sampai sekarang.

Facebook X (Twitter) Instagram
Artikel Populer

Bebas Memilih di Bilik Wartel

24 April 2007

Cek Palsu di Manhattan

25 September 2007

Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada

25 January 1997
Arsip
Artikel Lainnya

Korea Selatan Luncurkan Satelit Mata-mata ke-4 untuk Awasi Korea Utara

26 April 2025

Mantan Manajer Petronas Didakwa dengan Spionase Bisnis

24 April 2025

Protes AP ke Gedung Putih dan Isu Amandemen Pertama

15 February 2025
Label
Al-Qaeda Alexander Litvinenko Amerika Serikat Arab Saudi Barack Obama Barisan Nasional Biro Penyelidik Federal (FBI) AS Central Intelligence Agency (CIA) CIA Cina Donald Trump Edward Snowden Federasi Rusia GCHQ Greenpeace Hamas Indonesia Inggris Iran Israel Jerman Joko Widodo Journalism KGB Korea Selatan Korea Utara Mahatir Mohamad Malaysia Mossad Najib Razak National Security Agency (NSA) Osama bin Laden Pakatan Harapan Pakistan Palestina Politics Rusia Secret Intelligence Service (MI6) Security Service Inggris (MI5) Serangan 11 September 2001 spionase Uni Eropa Uni Sovyet US Navy SEALs Vladimir Putin
© 2025 abdulmanan.net | blog personal abdul manan

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.