Close Menu
abdulmanan.netabdulmanan.net
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
Facebook X (Twitter) Instagram
23 May 2025
abdulmanan.netabdulmanan.net
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
abdulmanan.netabdulmanan.net
Home»Karena Wartawan Bukan Intel

Karena Wartawan Bukan Intel

Abdul Manan4 December 2006
Default Image
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email
Jaksa Agung meminta wartawan yang mewawancarai koruptor buron melapor. Bisa mengancam kredibilitas wartawan.

STATUSNYA buron, tapi tak keberatan diwawancarai wartawan. Inilah gaya pelarian Dharmono K. Lawi. Selain diwawancarai media cetak, bekas Ketua DPRD Banten yang kini anggota DPR RI itu juga muncul di layar televisi. Lewat media itulah Dharmono mengeluarkan unek-uneknya. Ia mengaku memilih kabur lantaran diperlakukan tidak adil oleh aparat hukum.

Munculnya Dharmono di hadapan wartawan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh gusar. ”Ada yang bilang wartawan saja bisa bertemu, masak kejaksaan nggak bisa,” katanya. Karena itu Jaksa Agung meminta wartawan yang berhasil menemui buron itu melapor ke kejaksaan. ”Sebaiknya wartawan membantu aparat penegak hukum,” katanya.

Menurut Jaksa Agung, koruptor merupakan buron negara dan bukan hanya buron kejaksaan. Jadi, wartawan punya kewajiban sama. ”Memang ada soal kode etik wartawan dan hak tolak. Tapi ada kewajiban asasi warga negara,” kata Abdul Rahman.

Arman, demikian Jaksa Agung ini biasa dipanggil kolega dekatnya, menunjuk kewajiban itu ada pada Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 13 undang-undang itu, kata Abdul Rahman, menegaskan bahwa setiap orang harus membantu dalam bentuk memberikan kesaksian dalam kasus korupsi. Tak terkecuali wartawan. ”Yang boleh menolak hanya rohaniwan,” katanya.

Bagi praktisi media, permintaan seperti itu sulit dipenuhi. ”Ini menyangkut kepercayaan narasumber dan publik,” kata General Manager of Current Affair ANTV, Ivan Haris. Menurut Ivan, kode etik jurnalistik mewajibkan wartawan melindungi identitas narasumber yang minta dirahasiakan. ”Lagi pula, wartawan bukan intel,” kata Ivan. Setelah Dharmono muncul dalam acara Wanted di ANTV, pengelola televisi ini sempat dipanggil ke Kejaksaan Agung.

Anggota Dewan Pers, Leo Batubara, mendukung pendapat Ivan. Menurut Leo, tidak mungkin wartawan memberikan informasi kepada kejaksaan tentang keberadaan narasumber, termasuk koruptor. ”Kewajiban wartawan memenuhi kepentingan publik, bukan kejaksaan,” kata Leo. ”Kalau wartawan lapor, pers tidak akan dipercaya lagi karena dianggap sebagai agen aparat keamanan,” tambahnya.

Wartawan senior Atmakusumah Astraatmadja menekankan, bagi wartawan kepercayaan publik merupakan sesuatu yang sangat penting. Pelanggaran terhadap prinsip itu, ujarnya, sama dengan menerobos kode etik. ”Bobot dosanya sama dengan membuat berita bohong,” ujarnya. Jika dilanggar, kata Atmakusumah, tak hanya menghancurkan kredibilitas sang wartawan, juga media dan pers Indonesia.

Bekas redaktur senior harian Indonesia Raya ini berharap, para wartawan meniru almarhum H.B. Jassin dalam menjaga identitas narasumber. Jassin memilih bungkam saat dipaksa mengungkap siapa Ki Panjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung, yang dimuat di majalah Sastra pada 1968 dan dianggap menghina umat Islam. Jassin diadili dan divonis setahun penjara. Sampai kini, siapa itu Ki Panjikusmin tidak terungkap.

Atmakusumah memberikan contoh kasus yang hampir serupa di Amerika Serikat. Dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, selama 35 tahun menutup rapat narasumber yang memberi mereka informasi skandal Watergate yang melibatkan Presiden Nixon. Sang sumber itu, Mark Felt, yang akhirnya—setelah 30 tahun lebih—mengaku ke publik sebagai pemasok informasi kepada dua wartawan tersebut. ”Bagi wartawan, sangat penting menjaga kepercayaan publik. Jika tidak, dia kehilangan kredibilitasnya,” kata bekas Ketua Dewan Pers ini.

Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudi Satryo Mukantardjo mengatakan, jika permintaan Jaksa Agung itu sebatas imbauan, hal itu tak membawa persoalan. ”Sebab, wartawan punya kode etik yang tak membolehkan membuka narasumber yang minta dirahasiakan,” katanya. Berdasar pengamatan Rudi, wartawan biasanya siap dipenjara untuk memegang prinsip tersebut.

Abdul Rahman agaknya mafhum, tembok tebal menghalang di depan matanya jika ia memaksa wartawan melaporkan keberadaan para koruptor yang mereka wawancarai. Arman menyatakan bahwa ia memahami kode etik wartawan yang tak mengizinkan membuka identitas narasumber. ”Tapi, mari kita buka wacana itu,” katanya.

Abdul Manan, Maria Hasugian

Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXV/04 – 10 Desember 2006

Law
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email WhatsApp

Related Posts

ICW: Politisi Terganggu Sepak Terjang Satgas Anti Mafia

1 December 2010

Greenpeace: Kontribusi AS Kurang dari Kebutuhan Indonesia

9 November 2010

Tak Siap, tapi Harus Jalan Terus

30 April 2010

Denny Indrayana: Bukti Tuduhan ke Pimpinan KPK Sangat Lemah

16 July 2009

Greenpeace Discovers Illegal Logging in Nabire

18 October 2008

Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri

15 September 2008
View 2 Comments

2 Comments

  1. Anonymous on 17 December 2006 15:12

    Duh Om Arman..
    Jadi kerjaanya intel apa dong?

    Reply
  2. SEKJEN PENA 98 on 21 January 2008 09:31

    * Di sini ada cerita
    Tentang cinta
    Tentang air mata
    Tentang tetesan darah

    Disini ada cerita
    Tentang kesetiaan
    Juga pengkhianatan

    Disini ada cerita
    Tentang mimpi yang indah
    Tentang negeri penuh bunga
    Cinta dan gelak tawa

    Disini ada cerita
    Tentang sebuah negeri tanpa senjata
    Tanpa tentara
    Tanpa penjara
    Tanpa darah dan air mata

    Disini ada cerita tentang kami yang tersisa
    Yang bertahan walau terluka
    Yang tak lari walau sendiri
    Yang terus melawan ditengah ketakutan!

    Kami ada disini
    http://www.pena-98.com
    http://www.adiannapitupulu.blogspot.com

    Reply
Leave A Reply Cancel Reply

About
About

Memulai karir sebagai koresponden Majalah D&R di Surabaya pada 1996 sampai 1999. Setelah itu menjadi editor Harian Nusa, Denpasar (1999-2001), bergabung ke Tempo sejak 2001 sampai sekarang.

Facebook X (Twitter) Instagram
Artikel Populer

Bebas Memilih di Bilik Wartel

24 April 2007

Cek Palsu di Manhattan

25 September 2007

Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada

25 January 1997
Arsip
Artikel Lainnya

Korea Selatan Luncurkan Satelit Mata-mata ke-4 untuk Awasi Korea Utara

26 April 2025

Mantan Manajer Petronas Didakwa dengan Spionase Bisnis

24 April 2025

Protes AP ke Gedung Putih dan Isu Amandemen Pertama

15 February 2025
Label
Al-Qaeda Alexander Litvinenko Amerika Serikat Arab Saudi Barack Obama Barisan Nasional Biro Penyelidik Federal (FBI) AS Central Intelligence Agency (CIA) CIA Cina Donald Trump Edward Snowden Federasi Rusia GCHQ Greenpeace Hamas Indonesia Inggris Iran Israel Jerman Joko Widodo Journalism KGB Korea Selatan Korea Utara Mahatir Mohamad Malaysia Mossad Najib Razak National Security Agency (NSA) Osama bin Laden Pakatan Harapan Pakistan Palestina Politics Rusia Secret Intelligence Service (MI6) Security Service Inggris (MI5) Serangan 11 September 2001 spionase Uni Eropa Uni Sovyet US Navy SEALs Vladimir Putin
© 2025 abdulmanan.net | blog personal abdul manan

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.