Close Menu
abdulmanan.netabdulmanan.net
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
Facebook X (Twitter) Instagram
24 May 2025
abdulmanan.netabdulmanan.net
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
abdulmanan.netabdulmanan.net
Home»Gong Kasus Penculikan di Senayan

Gong Kasus Penculikan di Senayan

Abdul Manan20 November 2006
Default Image
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan kasus penculikan 1997-1998 sebagai pelanggaran berat HAM. Jaksa Agung menunggu keputusan politik DPR.

PENYEKAPAN itu tak mungkin hilang dari ingatan Mugiyanto. Pada Maret 1998, ia diculik oleh sejumlah orang tak dikenal dan beberapa hari disimpan di sebuah tempat rahasia di Cijantung, Jakarta Timur. Di sana, menurut pengakuannya, ia disiksa, ditendang, dan disetrum.

Tapi, dibanding sejumlah rekannya yang juga diculik, pria 33 tahun ini beruntung. Ia dibebaskan. Kini Mugiyanto memimpin Ikatan Orang Hilang Indonesia. Lembaga inilah yang kini terus mendesak pemerintah untuk membongkar kasus penculikan terhadap para aktivis yang terjadi selama 1997–1998. ”Karena itu, meski tak banyak temuan baru, laporan Komnas soal korban penculikan itu melegakan kami,” ujar bekas salah satu ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini.

Dua pekan lalu, Komnas HAM memang mengumumkan temuan perihal hilangnya 23 orang yang sebagian besar aktivis PRD. Komnas menyatakan kasus penculikan itu sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam laporan setebal lebih 1.000 halaman itu, Komnas menunjuk ada lima kejahatan dalam kasus penculikan tersebut, yakni pembunuhan, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.

Dari 23 korban penculikan itu, ada 10 orang yang selamat. Mereka adalah Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Riza, Raharjo Waluyo Jati, Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmon J. Mahesa, dan satu pria berinisial St. Adapun 14 orang lainnya yang masih hilang adalah Yanie Afri, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser.

Pengusutan kasus ini bermula dari dibentuknya Tim Penyelidik Penghilangan Orang Secara Paksa Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan Penculikan Aktivis oleh Tim Mawar. Di akhir masa kerjanya tahun lalu, tim ini memberi rekomendasi, perlu adanya tim ad hoc untuk menyelidiki kasus penculikan itu. Maka, dibentuklah Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997–1998.

Sejak dibentuk setahun silam, tim ini sudah memeriksa 77 orang. Dari jumlah itu, 58 orang di antaranya korban penculikan atau keluarganya. Tapi tak semua korban penculikan bersedia bersaksi. Andi Arief, Desmond J. Mahesa, dan Pius Lustrilanang, misalnya, menolak memberi keterangan. ”Saya tidak mau bersaksi untuk orang yang tak jelas siapa orangnya,” kata Desmon kepada Tempo.

Menurut tim, ada sekitar 20 orang yang bisa diminta pertanggungjawaban saat kasus penculikan itu terjadi. Mereka, antara lain, Komandan Jenderal Kopassus, Pangdam Jaya, Kepala Polri, Panglima TNI, hingga bekas presiden Soeharto. Laporan hasil kerja tim ad hoc itulah yang dibahas rapat pleno Komnas HAM, Rabu dua pekan lalu.

Rapat pleno itu berlangsung alot. Salah satu anggota, Mayor Jenderal (Purn.) Samsuddin, tak setuju dengan kesimpulan tim. ”Dia mempersoalkan bukti adanya BKO (Bawah Kendali Operasi) pasukan serta kata sistematis dari laporan tim,” ujar seorang anggota Komnas. Akhirnya, keputusan rapat diambil lewat voting. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara meminta anggota yang setuju angkat tangan. Hasilnya, 19 dari 20 anggota angkat tangan.

Saat dimintai konfirmasinya, Samsuddin menyatakan alasan yang disebutkan tim ad hoc soal BKO pasukan tidak meyakinkan. ”Saya menolak karena alasannya tidak kuat, bukan karena saya bekas Kopassus,” ujarnya. Menurut Samsuddin, kalaupun tak bisa mendapatkan bukti surat perintah BKO, paling tidak, ada analisis tentang soal itu.

Jumat pekan lalu, kesimpulan Komnas ini sudah disampaikan ke Kejaksaan Agung. ”Harus ditindaklanjuti dengan penyidikan,” kata Abdul Hakim kepada Tempo. Menurut Abdul Hakim, jika DPR tak memberi rekomendasi untuk memeriksa kasus penculikan 10 orang yang selamat itu, maka lain lagi dengan 13 orang yang masih hilang. ”Tanpa rekomendasi DPR, Kejaksaan harus menyidik karena mereka sampai kini masih hilang,” ujar Abdul Hakim.

Jaksa Agung Abdul Rahman tak sependapat dengan Abdul Hakim. Menurut Abdul Rahman, pendapat Komnas itu membingungkan. ”Semua itu kan kasus masa lalu,” kata Jaksa Agung. Menurut Abdul Rahman, yang dibutuhkan kini pernyataan politik dari DPR bahwa kasus ini pelanggaran HAM berat sehingga proses hukumnya berlaku surut (retroaktif). ”Gong kasus ini bukan di Kejaksaan, tapi di Senayan,” katanya.

Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid, waswas kasus ini bernasib sama seperti kasus Trisakti dan Semanggi, mogok di jalan lantaran tak ada rekomendasi DPR. ”Ini memang soal kemauan,” ujar Usman.

Markas Besar TNI, lembaga yang namanya ikut terseret dalam kasus memalukan ini, akan meminta Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI mempelajari laporan Komnas HAM tersebut. ”Babinkum yang akan meng-kaji semuanya dengan proses hukum yang ada,” kata Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto kepada Dimas Adityo dari Tempo.

Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, salah seorang yang namanya disebut-sebut dalam laporan Komnas HAM itu, juga menyatakan menyerahkan semuanya kepada Babinkum. ”Apa pun akan saya hadapi,” ujar mantan Panglima Kodam Jaya yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan itu.

Abdul Manan, Maria Hasugian, Ramidi

Majalah Tempo, Edisi. 39/XXXV/20 – 26 November 2006

Law
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email WhatsApp

Related Posts

ICW: Politisi Terganggu Sepak Terjang Satgas Anti Mafia

1 December 2010

Greenpeace: Kontribusi AS Kurang dari Kebutuhan Indonesia

9 November 2010

Tak Siap, tapi Harus Jalan Terus

30 April 2010

Denny Indrayana: Bukti Tuduhan ke Pimpinan KPK Sangat Lemah

16 July 2009

Greenpeace Discovers Illegal Logging in Nabire

18 October 2008

Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri

15 September 2008
Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

About
About

Memulai karir sebagai koresponden Majalah D&R di Surabaya pada 1996 sampai 1999. Setelah itu menjadi editor Harian Nusa, Denpasar (1999-2001), bergabung ke Tempo sejak 2001 sampai sekarang.

Facebook X (Twitter) Instagram
Artikel Populer

Bebas Memilih di Bilik Wartel

24 April 2007

Cek Palsu di Manhattan

25 September 2007

Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada

25 January 1997
Arsip
Artikel Lainnya

Korea Selatan Luncurkan Satelit Mata-mata ke-4 untuk Awasi Korea Utara

26 April 2025

Mantan Manajer Petronas Didakwa dengan Spionase Bisnis

24 April 2025

Protes AP ke Gedung Putih dan Isu Amandemen Pertama

15 February 2025
Label
Al-Qaeda Alexander Litvinenko Amerika Serikat Arab Saudi Barack Obama Barisan Nasional Biro Penyelidik Federal (FBI) AS Central Intelligence Agency (CIA) CIA Cina Donald Trump Edward Snowden Federasi Rusia GCHQ Greenpeace Hamas Indonesia Inggris Iran Israel Jerman Joko Widodo Journalism KGB Korea Selatan Korea Utara Mahatir Mohamad Malaysia Mossad Najib Razak National Security Agency (NSA) Osama bin Laden Pakatan Harapan Pakistan Palestina Politics Rusia Secret Intelligence Service (MI6) Security Service Inggris (MI5) Serangan 11 September 2001 spionase Uni Eropa Uni Sovyet US Navy SEALs Vladimir Putin
© 2025 abdulmanan.net | blog personal abdul manan

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.