Close Menu
abdulmanan.netabdulmanan.net
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
Facebook X (Twitter) Instagram
23 May 2025
abdulmanan.netabdulmanan.net
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
abdulmanan.netabdulmanan.net
Home»Bukan Salah Bunda

Bukan Salah Bunda

Abdul Manan9 August 1997
Default Image
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email
UU Kewarganegaraan dinilai menyengsarakan wanita. Sudah banyak kasusnya.

KEKHAWATIRAN kerap menghantui sanubari Waty. Karyawati sebuah perusahaan di Jakarta itu waswas bila anak semata wayangnya, Atiq Rahman, lima tahun, hilang dari pelukannya. Soalnya, bekas suaminya, Ali, tetap berupaya meraih Atiq secara tidak sah.

Waty, warga negara Indonesia, dan Ali, warga Pakistan–keduanya kini berusia 34 tahun– menikah di Bogor pada tahun 1992. Belakangan, rumah tangga mereka oleng. Ketika Atiq berusia sembilan bulan, bocah itu dilarikan Ali ke Pakistan.

Tentu saja Waty galau. Dia melapor ke polisi, tapi Ali tak terjangkau hukum Indonesia. Di imigrasi, Ali juga tak bisa dicekal karena ia dan Atiq sama-sama berkewarganegaraan Pakistan.

Saking kesalnya, Waty segera mengajukan perceraian dengan Ali ke Pengadilan Agama Bogor, dan dikabulkan pada Oktober 1993. Setelah itu, dia menyusul Atiq ke Pakistan.

Melalui pengadilan di Lahore, Pakistan, Waty bisa memperoleh hak perwalian atas Atiq. Maka, setelah satu setengah tahun memburu Atiq, pada 1994, Waty berhasil membawa kembali buah hatinya itu ke Tanah Air.

Ternyata, derita Waty masih panjang. Kini, dia harus tetap mengurus perpanjangan izin tinggal sementara dan paspor Atiq di Indonesia. Dia juga mesti membayar pajak Atiq selaku orang asing. Itu semua dilakukannya sampai Atiq berusia 18 tahun. Kalau tidak, Atiq bisa dideportasi.

* Atiq-Atiq Lain

Ternyata pula, banyak wanita bernasib seperti Waty. Sebut saja pengalaman pahit Erna Wouthuysen, 30 tahun, yang menikah dengan Arnold, warga Belanda. Pada 16 November 1991, buah perkawinan mereka, Samantha, empat tahun, diboyong secara paksa oleh ibu Arnold, Ny. Ochtman, ke Belanda dengan bantuan imigrasi Bandung. Lewat perjuangan gigih nan lama, akhirnya Erna bisa membawa pulang Samantha.

Demikian pula derita Atik Kristia Yuliani, 28 tahun, di Surabaya. Anaknya, Andrea, empat tahun, hasil perkawinan dengan warga Jepang, Mitsuo Miyakoshi, akan dideportasi oleh imigrasi pada 5 September 1996. Karena reaksi masyarakat, untunglah, imigrasi bisa mengerti dan tak menerbangkan Andrea ke luar Indonesia.

Selalu, begitu problemnya bagi wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing. Itu bila mereka punya anak, lantas perkawinannya retak atau bahkan bercerai. Dan, si ibu lalai mengurus izin tinggal sementara anaknya di Indonesia.

Belum lagi bila si anak harus dididik di sekolah asing di sini. Tentu biayanya tinggi, sementara uang nafkah dari bekas suaminya tak besar atau malah tak kunjung dikirimkan.

Sewaktu kasus Samantha atau Andrea mencuat, orang kerap tergugah rasa kemanusiaannya. Sementara pihak imigrasi yang merasa sekadar menjalankan aturan hanya berujar, “Itulah risiko kawin dengan orang asing.”

Padahal, kasus begitu akan selalu terjadi. Sebab, “Akar persoalannya ada pada Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. UU itu mendiskriminasikan perempuan, menghilangkan hak si ibu untuk ikut menentukan kewarganegaraan anaknya,” kata Nursyahbani Katjasungkana dari
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).

UU Kewarganegaraan, yang mengatur status kewarganegaraan berdasarkan asas keturunan (ius sangguinis), menentukan bahwa kewarganegaraan si anak mengikuti bapaknya. UU yang dibuat mengikuti UUD Sementara tahun 1950 itu, memang, menganut sistem kesatuan kewarganegaraan menurut budaya bapak (paternalistik).

* Ubah Undang-undang

Agar kasus-kasus tadi tak terulang, sebagaimana hasil diskusi yang diselenggarakan LBH APIK pada Senin, tanggal 21 Juli lalu, UU Kewarganegaraan yang sudah 39 tahun itu harus diubah.

Tapi, bukan dengan menggantikan status kewarganegaraan menurut asas keturunan (ius sangguinis) menjadi asas berdasarkan tempat kelahiran (ius soli)–seperti sebelum UU Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 berlaku.

Namun, “Dengan asas persamaan hak antara wanita dan pria untuk menentukan kewarganegaraan si anak,” ujar Nursyahbani. Asas persamaan hak sudah lama dikumandangkan oleh Konvensi PBB Tahun 1981, yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

Caranya, “Pengadilan yang memutuskan siapa yang lebih berhak menentukan: ibu atau bapaknya,” kata Asnifriyanti Damanik, juga dari LBH APIK.

Kalau perlu, “Pengadilan berani melakukan terobosan untuk menetapkan status kewarganegaraan si anak. Kalau menunggu UU penggantinya selesai dibuat, sampai kapan ada perubahan?” kata Ida Sampit Karo-karo, yang menangani perkara Andrea, kepada Abdul Manan dari D&R.

Laporan Multa Fidrus (Jakarta)

D&R, Edisi 970809-051/Hal. 86 Rubrik Hukum

Law
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email WhatsApp

Related Posts

ICW: Politisi Terganggu Sepak Terjang Satgas Anti Mafia

1 December 2010

Greenpeace: Kontribusi AS Kurang dari Kebutuhan Indonesia

9 November 2010

Tak Siap, tapi Harus Jalan Terus

30 April 2010

Denny Indrayana: Bukti Tuduhan ke Pimpinan KPK Sangat Lemah

16 July 2009

Greenpeace Discovers Illegal Logging in Nabire

18 October 2008

Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri

15 September 2008
Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

About
About

Memulai karir sebagai koresponden Majalah D&R di Surabaya pada 1996 sampai 1999. Setelah itu menjadi editor Harian Nusa, Denpasar (1999-2001), bergabung ke Tempo sejak 2001 sampai sekarang.

Facebook X (Twitter) Instagram
Artikel Populer

Bebas Memilih di Bilik Wartel

24 April 2007

Cek Palsu di Manhattan

25 September 2007

Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada

25 January 1997
Arsip
Artikel Lainnya

Korea Selatan Luncurkan Satelit Mata-mata ke-4 untuk Awasi Korea Utara

26 April 2025

Mantan Manajer Petronas Didakwa dengan Spionase Bisnis

24 April 2025

Protes AP ke Gedung Putih dan Isu Amandemen Pertama

15 February 2025
Label
Al-Qaeda Alexander Litvinenko Amerika Serikat Arab Saudi Barack Obama Barisan Nasional Biro Penyelidik Federal (FBI) AS Central Intelligence Agency (CIA) CIA Cina Donald Trump Edward Snowden Federasi Rusia GCHQ Greenpeace Hamas Indonesia Inggris Iran Israel Jerman Joko Widodo Journalism KGB Korea Selatan Korea Utara Mahatir Mohamad Malaysia Mossad Najib Razak National Security Agency (NSA) Osama bin Laden Pakatan Harapan Pakistan Palestina Politics Rusia Secret Intelligence Service (MI6) Security Service Inggris (MI5) Serangan 11 September 2001 spionase Uni Eropa Uni Sovyet US Navy SEALs Vladimir Putin
© 2025 abdulmanan.net | blog personal abdul manan

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.