Close Menu
abdulmanan.netabdulmanan.net
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
Facebook X (Twitter) Instagram
10 July 2025
abdulmanan.netabdulmanan.net
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Beranda
  • About
  • Reportase
  • Artikel
  • Spy Stories
  • Publikasi
abdulmanan.netabdulmanan.net
Home»A. Junaidi: Saya Yakin Uangnya Sudah Sampai ke Jaksa

A. Junaidi: Saya Yakin Uangnya Sudah Sampai ke Jaksa

Abdul Manan15 May 2006
Default Image
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email
“SAYA tidak mau bicara soal ini lagi, semua sudah jelas,” kata mantan Direktur PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, 63 tahun, saat ditemui di Kejaksaan Agung. Sore Kamis pekan lalu, hujan mengguyur lebat Jakarta. Djunaidi, yang ketika itu diizinkan salat di masjid Kejaksaan Agung, terperangkap hujan, tak bisa kembali ke ruang tahanannya. Sembari menunggu hujan mereda, wartawan Tempo L.R. Baskoro dan Abdul Manan mewawancarai Djunaidi. Berikut petikannya:

Semua jaksa yang disebut-sebut menerima duit dari Anda membantah menerimanya. Komentar Anda?
Jawabnya begitu, biar saja. Tapi, yang penting, semua sudah ketahuan, kan?

Anda yakin uang yang Anda berikan lewat Aan itu sudah sampai ke tangan jaksa?
Yakin. Saya pernah bertemu jaksa Cecep Sunarto dan Burdju Roni di pengadilan. Saya katakan, ada kiriman dari Aan. Sudah terima belum? Sudah, katanya. Terus juga soal adanya SMS (layanan pesan singkat) yang keliru (dari jaksa Cecep Sunarto kepada Aan Hadi Gunanto). Isinya, uangnya kurang Rp 50 juta. Itu kan juga suatu bukti.

Apa tujuan pemberian uang itu? Supaya Anda bebas dari hukuman?
Tidak. Ceritanya begini. Waktu Aan menjenguk, saya tanya sampai di mana kasus saya ini. Aan bilang dia kenal seseorang di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Saya minta cobalah ditanya-ditanya kasus saya dan jelaskan ini perkara perdata. Saya bilang nanti saya kasih bahan dan dokumen-dokumennya. Aan ke sana dan dia lapor butuh dana. Lalu saya kasih Rp 100 juta. Terus dia balik lagi minta uang untuk ngatur-ngatur semua, jumlahnya sekitar Rp 250 juta.

Uang itu untuk jaksa saja atau untuk hakim juga?
Saya tidak tanya sampai ke sana. Terus Aan bilang jaksa minta lagi untuk biaya operasional sebesar Rp 250 juta. Saya tak ada duit lagi. Cuma ada Rp 200 juta. Kok kurang, kata jaksa. Itulah terus ada SMS ke Aan yang menduga uangnya diambil Aan karena kurang dari permintaan. Akhirnya mau juga jaksa menerima itu.

Yang menentukan jumlah itu siapa? Anda?
Tidak. Yang minta itu jaksa.

Anda kenal Aan dari siapa?
Teman kecil. Orang tuanya dan orang tua saya bersahabat waktu kami tinggal di Lahat, Sumatera Selatan.

Menurut Anda, ini penyuapan atau pemerasan?
Semula saya tak berpikir begitu. Cuma mau membantu. Kalau nggak kasih uang, mana mau dia baca-baca dokumen yang saya berikan kepada dia. Kalau saya memang menyuap, tentu saya perhitungkan ini untungnya apa. Biasanya ada janji-janji. Kalau tak berhasil, bagaimana? Biasanya saya catat. Saya nggak ada catatan, karena tak ada niatan (menyuap) itu.

Saat putusan Anda dibacakan pada 27 April lalu, Anda marah dan melempar jaksa dengan papan nama. Kenapa bisa terjadi?
Pertama, ini soal perdata, bukan pidana. Kedua, saat jaksa mengajukan tuntutan 16 tahun, itu sudah membuat kesal. Ini sudah nggak benar. Saksi ahli jaksa sendiri tak bisa jelaskan medium term note (MTN) yang dilakukan PT Jamsostek dilarang. Jadi, jelas perdata. Pertimbangan itu tak masuk sama sekali dan MTN tetap dinyatakan dilarang. Itu membuat saya jengkel.

Usai pembacaan putusan, saya ditanya. Saya bilang akan banding. Pengacara saya menyampaikan sikap
“pikir-pikir dulu” kepada hakim. Tujuannya, agar waktu untuk membuat memori banding lebih lama. Tapi jaksa langsung menyatakan banding. Tujuannya, apa lagi kalau bukan supaya saya langsung masuk tahanan lagi. Saya emosi. Mereka ingin membunuh saya. Saya lempar papan nama ke arah Heru Chaeruddin, ketua jaksa penuntut umum.

Nah, waktu melempar itu, di belakang ramai sekali. Ada yang bilang jaksa bodoh, jaksa mau duit. Saya terpancing. Orang kalau lagi emosi tinggi, stres, mana bisa terkontrol. Saya waktu itu juga masih sakit. Tapi, untuk menghormati hakim, terpaksa hadir.

Anda kecewa divonis tinggi padahal Anda sudah memberi duit untuk jaksa?
Nggak. Saya ngasih duit bukan dengan tujuan agar saya dibebaskan. Cuma agar jaksa mempercepat sidang karena saya kan sakit, bahkan sempat menjalani operasi prostat. Supaya jaksa paham ini kasus perdata.

Kalau ini lari ke perdata, hukumannya jadi ringan, begitu?
Paling ditugasi menyelesaikan tugas. Bukan dipenjara.

Selain divonis delapan tahun penjara, kini Anda kan juga dihukum membayar denda Rp 66 miliar?
Ya, itulah. Memang duit dari mana saya? Mereka sudah kotor semua. Saya dikira banyak duitnya kayak konglomerat BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) atau direksi bank swasta. Dipikirnya, uang yang jatuh tempo dan belum lunas, kami yang ambil. Kan ada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Bisa dilacak, ada nggak duit saya. Cek juga, saya tidak punya rumah di Pondok Indah. Rumah di Menteng itu kan rumah dinas. Sekarang saya cuma ngontrak, mobil saya juga satu.

Apa yang Anda harapkan dari terungkapnya kasus ini?
Saya ingin para jaksa disiplin. Supaya jaksa kalau melihat permasalahan harus berdasarkan fakta, bukan karena ambisi si ini harus dihukum, setelah itu dia dinilai berprestasi dan bisa naik. Dalam kasus ini, ada unsur itu.

Gara-gara pernyataan Anda, kejaksaan kini menjadi sorotan, dan Anda kini menjadi tahanan Kejaksaan Agung. Anda tidak takut?
Tidak. Kenapa harus takut? Memangnya mereka akan meracun saya? Jaksa yang tidak benar yang harus diungkap. ***

Majalah Tempo, 18 Mei 2006

Law
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email WhatsApp

Related Posts

ICW: Politisi Terganggu Sepak Terjang Satgas Anti Mafia

1 December 2010

Greenpeace: Kontribusi AS Kurang dari Kebutuhan Indonesia

9 November 2010

Tak Siap, tapi Harus Jalan Terus

30 April 2010

Denny Indrayana: Bukti Tuduhan ke Pimpinan KPK Sangat Lemah

16 July 2009

Greenpeace Discovers Illegal Logging in Nabire

18 October 2008

Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri

15 September 2008
Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply

About
About

Memulai karir sebagai koresponden Majalah D&R di Surabaya pada 1996 sampai 1999. Setelah itu menjadi editor Harian Nusa, Denpasar (1999-2001), bergabung ke Tempo sejak 2001 sampai sekarang.

Facebook X (Twitter) Instagram
Artikel Populer

Bebas Memilih di Bilik Wartel

24 April 2007

Cek Palsu di Manhattan

25 September 2007

Naga Hijau: Antara Ada dan Tiada

25 January 1997
Arsip
Artikel Lainnya

Korea Selatan Luncurkan Satelit Mata-mata ke-4 untuk Awasi Korea Utara

26 April 2025

Mantan Manajer Petronas Didakwa dengan Spionase Bisnis

24 April 2025

Protes AP ke Gedung Putih dan Isu Amandemen Pertama

15 February 2025
Label
Al-Qaeda Alexander Litvinenko Amerika Serikat Arab Saudi Barack Obama Barisan Nasional Biro Penyelidik Federal (FBI) AS Central Intelligence Agency (CIA) CIA Cina Donald Trump Edward Snowden Federasi Rusia GCHQ Greenpeace Hamas Indonesia Inggris Iran Israel Jerman Joko Widodo Journalism KGB Korea Selatan Korea Utara Mahatir Mohamad Malaysia Mossad Najib Razak National Security Agency (NSA) Osama bin Laden Pakatan Harapan Pakistan Palestina Politics Rusia Secret Intelligence Service (MI6) Security Service Inggris (MI5) Serangan 11 September 2001 spionase Uni Eropa Uni Sovyet US Navy SEALs Vladimir Putin
© 2025 abdulmanan.net | blog personal abdul manan

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.