Kini, masyarakat Yahudi bisa dihitung dengan jari. Tak jelas kenapa. Yang jelas, komunitas terbesar kini tinggal di Jakarta, 85 keluarga, sementara di Surabaya tinggal lima keluarga: Kedudukan Surabaya telah tergeser bersamaan dengan tergeseraya Surabaya sebagai sentra bisnis. Namun di Kota Buaya tersisakan sebuah sinagoga yang tidak didapatkan di kota lain. Mini, sinagoga di Surabaya itu tampak kusam dan nyaris terlihat kegiatan. Setiap peribadatan hari Jumat (pukul 17.00-19.00) dan Sabtu (pukul 0.00-17.00) kelihatan tidak begitu istimewa. “Memang, kami tidak harus ke sinagoga. Umat Taurat bisa beribadah di rumahnya masing-masing,” kata penjaga Sinagoga itu; yang enggan disebut namanya.
Karena komunitas mereka yang semakin mengecil, masyarakat Yahudi di Indonesia seperti ta terpedulikan, bakan oleh umatnya sendiri. Misalnya, mereka ternyata tidak memiIiki rabi; pemimpin spiritual. Padahal, kedudukan rabi sangat penting. Baik daiam memimpin acara perkawinan, kematian, kebaktian, hingga pengajaran bawa Ibrani, yang menjadi bahasa resmi Taurat. Hanya, jika diperlukan, mereka mendatangkan rabi dari Australia atau dari Amerika Serikat. Misalnya upacara yang kippur, (peringatan: tahunan atas Pertolongan Tuhan kepada umat Yahudi di masa Musa).
Mungkin, itu pula yang menjadi salah satu penyebab merosotnya jumlah komunitas Yahudi. Fanatisme Yahudi yang biasanya terpelihara ikut luntur melalui perkawinan antar agama atau pengubahan agama. Di samping itu juga, kondisi politis, khususnya peristiwa Timur. Tengah, membuat kasus Yahudi di Indonesia sendiri ikut-ikutan terkena. Padahal, tidak semua Yahudi setuju dengan zionisme-Theodore Hezl yang kemudian melahirkan Israel itu. Itu pun mengena pada pelayanan pemerintah terhadap mereka. “Ini saya kira kesalahan pemimpin-pemimpin kami terdahulu, yang lalai mendaftarkan diri,”kata Saul Abraham, Wakil Ketua Komunitas Yahudi di Indonesia. Seingat dia; kala itu diadakan pendataan agama-agama namun diabaikan pemimpin mereka. Padahal, kepada Belanda; mereka telah menikmati perlakuan yang sama baiknya dengan agama lain. Misalnya mereka bisa mendapatkan pemakaman umum di Kembangkuning, Surabaya. “Kelalaian ini yang membuat agama Yahudi tak diakui secara resmi di sini,” ujarnya.
Karena itu; kini Saul akan berusaha keras secara administratif untuk bisa diakui keberadaan mereka. “Kami tak jauh beda dengan Islam. Kami sama-sama bertuhan satu, dikhitan, tidak memakan babi. Nabi-nabi kami pun, diakui dalam Islam kata Saul.
M.H./Laporan Titi A.S. (Jakarta) dan Abdul Manan (Surabaya)
D&R, Edisi 980905-003/Hal. 47 Rubrik Agama