Skip to main content

‘Ngalap Berkah’ Bintang Sembilan

PRIA 58 tahun ini disambut bak kiai. Minggu pagi pekan lalu, puluhan orang menyalaminya, sebagian mencium tangan, saat ia tiba di panggung yang berada di lapangan berdebu depan rumah susun Sombo, Simokerto, Surabaya. Achmady, calon yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa, hari itu memulai kampanye hari pertamanya sebagai calon Gubernur Jawa Timur.

Sebelum Achmady datang, juru kampanye sudah mengenalkannya sebagai calon yang resmi didukung Ketua Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid. Bekas Bupati Mojokerto dua periode ini datang bersama calon wakil gubernur Suhartono. Menjajakan konsep “Jawa Timur Adil Makmur”, pasangan ini menjual kupon berlogo PKB seharga Rp 2.000, yang bisa ditukar dengan dua kilogram beras.

Dalam pekan-pekan ini, Achmady-Suhartono dan empat pasang calon lainnya menggelar kampanye akhir sebelum hari pencoblosan 23 Juli. Empat lainnya adalah Soekarwo-Sjaifullah Yusuf, Soenaryo-Ali Maschan Moesa, Sutjipto-Ridwan Hisyam, dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono. Soekarwo diusung Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat, Soenaryo oleh Golkar, Sutjipto oleh PDI Perjuangan. PPP dan sejumlah partai kecil mengusung Khofifah.

Dalam kampanyenya, semua calon menjanjikan perbaikan dan perubahan. Soekarwo mengusung slogan “APBD untuk Rakyat”. Soenaryo menjanjikan tiga bebas: bebas biaya pendidikan, bebas biaya kesehatan, dan bebas agunan jika meminjam uang ke bank. Sutjipto mengkampanyekan slogan “Gotong Royong Mbangun Deso Noto Kutho (membangun desa, menata kota)”. Sedangkan Khofifah mengusung “Manteb” (Makmur Aman Tenteram Bersama).

Tema kampanye boleh berbeda, tapi semua mengharapkan kucuran suara dari organisasi berlambang bintang sembilan, Nahdlatul Ulama. Suara warga nahdliyin memang cukup signifikan: sekitar 11 juta dari 29 juta pemilih di Jawa Timur adalah warga NU.

Berkaca dari pengalaman pemilihan kepala daerah sebelumnya, sejumlah tim sukses berkeyakinan bahwa figur calon lebih memiliki nilai jual dari tema kampanye. Heru Sudibjo, ketua tim sukses Soenaryo, mengatakan calonnya punya kans besar karena cukup dikenal di Jawa Timur. Selain wakil gubernur, dia juga dalang kondang. Masuknya Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Ali Maschan Moesa juga diharapkan dapat menggenjot suara sampai lebih dari 30 persen. Pada pemilu 2004, Golkar mendapat suara 15 persen. Jumlah yang hampir sama diharapkan bisa didapat dari warga nahdliyin. “Kan suara nahdliyin berbagi dengan Achmady, Khofifah, dan Syaifullah Yusuf,” kata bekas Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat ini.

Achmady maju sebagai calon resmi dari PKB. Tim suksesnya berharap bisa mendulang suara sampai 40 persen, meski Pemilu 2004 suara PKB hanya 30 persen. Suara tambahan diharapkan berasal dari militer melalui calon wakil gubernur Suhartono, yang pernah menjadi bekas Kepala Staf Kodam V Brawijaya.

Khofifah maju berkat dukungan PPP dan sejumlah partai kecil. Partai-partai itu dalam Pemilu 2004 mendapat 17 persen suara. Sedangkan Syaifullah maju menjadi calon wakil Soekarwo, yang diusung PAN dan Partai Demokrat. Dalam Pemilu 2004, keduanya mendapat suara 15 persen.

Heru Sudibjo optimistis dengan popularitas calonnya. Dalam survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia, nama Soenaryo bersaing ketat dengan Soekarwo. Berdasarkan hasil survei itu popularitas Soekarwo 18,2 persen, Soenaryo menyusul dengan 17,8. Calon lainnya di bawah 15 persen. “Kami bekerja lebih keras setelah melihat hasil itu,” kata Heru.

Sutjipto didukung PDI Perjuangan, yang dalam Pemilu 2004 mendapat suara 21 persen. Ketua tim sukses Sutjipto, Ali Mudji, mengatakan ia optimistis bisa mengantongi 40 persen suara. Selain dari Partai Banteng Moncong Putih, dia yakin bisa menarik limpahan suara dari Partai Golkar melalui Ridwan Hisyam. “Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Tengah dan Bali juga memberikan tambahan semangat buat kami,” kata Ali.

Meski Sutjipto dan Ridwan bukan warga nahdliyin, pasangan ini juga optimistis bisa mendapatkan limpahan suara dari warga NU. Salah satunya melalui lobi ke kiai-kiai. Akhir Mei lalu, mereka menyambangi Kiai Abdulah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Salah satu kiai Langitan ini sempat meledek Sujtipto, “Tak kira kowe lali karo aku (Saya kira kamu lupa sama saya).” Menurut Ali, saat Faqih dirawat di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya dua tahun silam, Sutjipto juga menjenguknya.

“Dari segi kultural, Jawa Timur itu kan NU,” kata pengamat politik dari Universitas Airlangga, Kacung Marijan. Tapi, kata dia, pilihan warga nahdliyin tak selalu kepada partai-partai yang didirikan tokoh NU. Ia juga tak yakin bantuan dana dan fasilitas yang diberikan calon kepada NU dan pengurusnya akan membuat suara nahdliyin mengalir deras ke kubu dia. Kata Kacung, “Yang memilih kan orang, bukan lembaga.”

Abdul Manan, Kukuh S. Wibowo, Yekthi Hesti Murthi

Majalah Tempo, 14 Juli 2008

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236