Skip to main content

Buron Terhormat dari Tolitoli

Tujuh anggota DPRD menghilang saat akan dieksekusi. Jaksa menyesalkan lambatnya pengiriman putusan dari Mahkamah Agung.

HILANG sudah kesabaran Kepala Kejaksaan Negeri Tolitoli, Sulawesi Tengah, Fachruddin Siregar. Setelah diberi waktu sepekan untuk masuk penjara secara baik-baik tapi tidak menggubris, kini tujuh bekas anggota DPRD Tolitoli dimasukkan ke daftar buron kejaksaan. ”Tidak ada jalan lain, mereka harus dijemput paksa, di mana pun mereka berada,” ujar Fachruddin.

Tujuh orang tersebut adalah terpidana kasus korupsi dana anggaran pendapatan dan belanja daerah sebesar Rp 4,5 miliar. Mahkamah Agung menghukum mereka lima sampai enam tahun penjara, 22 Desember 2005. Namun kejaksaan baru menerima putusan itu 18 bulan kemudian, tetapnya 22 Mei lalu. Rupanya, waktu sepanjang itu dipakai para terpidana untuk kabur.

Dalam kasus korupsi dana APBD itu, sebenarnya ada 14 anggota DPRD periode 1999-2004 yang jadi tersangka. Kasusnya dipecah menjadi dua berkas. Berkas pertama: Umar Alatas, Zainal Daud, Norma Donggio, Yamin Tinango, Barnabas Pato, Alwi Kama, dan Azhar Samsuddin. Berkas kedua: Dahyar Alatas, M.A. Muluk, Irwan A.R. Moh. Said, Sarpan M. Said, A.R. Katiandago, Hasbi Bantilan, dan Abd. Halik.

Tidak semua terdakwa itu bekas anggota DPRD. Ada dua yang kini masih menjabat pada periode 2004-2009. Abd. Halik kini wakil ketua DPRD dan Sarpan M. Said tetap anggota Dewan. Pada saat kasus ini diperiksa, kejaksaan sempat menahan Dahyar dan kawan-kawan. Namun mereka dilepaskan setelah ada penangguhan penahanan saat para anggota Dewan itu mengajukan permohonan kasasi. Kini kejaksaan akan mengeksekusi Dahyar Alatas dkk karena putusan kasasinya sudah keluar pada 2005. Sedangkan putusan terhadap Umar Alatas dkk hingga kini belum keluar.

Sebelumnya, di pengadilan negeri, ke-14 anggota DPRD itu dituntut 9-12 tahun penjara. Pada April 2005, pengadilan memvonis mereka satu hingga dua tahun penjara. Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah pada Juni 2005 memperberat hukuman mereka menjadi lima sampai enam tahun penjara plus denda Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 100 juta. Putusan terhadap Dahyar Alatas dkk itu dikuatkan Mahkamah Agung.

Tapi putusan Mahkamah Agung pada 2005 itu tak lantas membuat mereka masuk bui. Saat kejaksaan menerima putusan itu pada 22 Mei 2007, semua terpidana sudah tak ada di rumah. Sebelumnya, kejaksaan sudah berkirim surat meminta mereka secara sukarela menjalani eksekusi.

Di rumah Abdul Muluk, misalnya, jaksa yang akan mengeksekusi hanya ditemui istrinya, Arif Muluk. Menurut Arif, suaminya pergi berobat, tapi ia tak tahu di mana. ”Katanya ke Makassar, tapi sampai sekarang saya tidak tahu, di Makassar atau di Jakarta,” kata Arif.

Kejaksaan Tolitoli sudah meminta polisi di Jakarta mengejar mereka. Awal bulan lalu, polisi menyatroni Hotel Borobudur, Jakarta. Ada info, Dahyar, Sarpan, Hasbi Bantilan, dan Katiandago menginap di sana. Namun, saat akan ditangkap, para buron keburu kabur. ”Polisi datang jam 10 malam, ternyata mereka sudah check-out sekitar jam tujuh malam,” kata Fachruddin.

Kejaksaan menyesalkan lambatnya pengiriman putusan. ”Mestinya sudah tiba awal tahun 2006,” kata Fachruddin. Pengadilan Negeri Tolitoli baru menerima putusan itu pada 20 Mei 2007. Dua hari kemudian, putusan itu disampaikan ke kejaksaan. Ketua Pengadilan Negeri Tolitoli Firzal Arzy mengaku tak tahu penyebab terlambatnya pengiriman putusan itu. ”Tugas dan kewenangan kami kan hanya menyampaikan putusan Mahkamah Agung,” katanya.

Putusan dari Mahkamah Agung memang baru dikirim pada 17 April 2007. Menurut Kepala Bidang Hukum dan Humas Mahkamah Agung Nurhadi, lamanya proses pengiriman putusan itu karena ada mekanisme internal yang harus dilewati.

Setelah putusan diucapkan majelis hakim, ujar Nurhadi, itu bukan berarti langsung sudah ada petikan putusan. Putusan itu akan disusun dulu oleh panitera pengganti yang dimiliki masing-masing hakim agung. Setelah putusan diketik dan dikoreksi, baru disampaikan kepada ketua majelis hakim untuk dikoreksi lagi, kemudian baru ditandatangani anggota hakim lainnya. Nurhadi menyatakan lamanya proses penyusunan putusan bergantung pada beban masing-masing panitera pengganti. ”Kalau sebulan ada 100 perkara yang diputus hakim agung, ya, sebanyak itu beban yang diselesaikan,” katanya.

Jika ada putusan Mahkamah Agung yang baru sampai pengadilan negeri 18 bulan kemudian—seperti ”kasus Tolitoli”— menurut Nurhadi, itu mungkin saja terjadi. ”Tapi lambatnya pengiriman putusan itu soal yang berbeda dengan kaburnya terpidana,” kata dia. ”Kalau tak punya niat baik, mereka bisa kabur kapan saja. Bahkan sebelum putusan keluar.”

Abdul Manan, Darlis Muhamad

Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni - 01 Juli 2007

Comments

Anonymous said…
Seperti itulah unjuk kerja Lembaga Peradilan Indonesia.Dimana jaman maju seperti ini, teknologi informasi bisa menjangkau dunia dalam hitungan milidetik. Ada telp, fax, komputer, email,dsb.Masih saja soal komunikasi birokrasi yg dijadikan alasan. Makanya Bapak2 Hakim dan Jaksa : Jangan heran kalau Buron Terhormat lainnya akan bermunculan dimana mana, mereka tidak akan takut dan segan2 berbuat hal yang sama, akibat lemahnya system peradilan kita.
Firman said…
Yah mau diapakan lagi bangsa ini.... sebagian besar pejabat sudah ditakdirkan seperti itu. Sebaiknya kita kum muda pernagi saja kaum tua ini daripada mereka hanya bikin rusak masyarakat.

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236