Skip to main content

Surat Rahasia Orang Dalam

Kwik Kian Gie diperiksa kejaksaan berkaitan dengan dugaan korupsi program Jaring Pengaman Sosial. Pemerintah terpaksa mengembalikan dana yang sebelumnya dikucurkan Bank Dunia.

ADA pekerjaan rumah yang kini sedang dikebut Kejaksaan Tinggi Jakarta, yaitu kasus dugaan korupsi dana hibah Proyek Penguatan dan Pengaman Program Jaring Pengaman Sosial. Sedikitnya sudah 15 saksi yang diperiksa tim penyidik kejaksaan untuk memastikan siapa yang layak diajukan ke meja hijau dalam kasus ini. “Sampai kini kami masih mendalami dokumen dan hasil pemeriksaan,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Darmono, Jumat pekan lalu.

Dana hibah bank dunia ini menjadi pembicaraan setelah kejaksaan mulai memeriksa para pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), termasuk bekas kepalanya, Kwik Kian Gie. Dalam proyek senilai Rp 5,1 miliar tersebut, Bank Dunia menaksir Rp 1,8 miliar yang dikorupsi. Bank Dunia menuntut dana itu dikembalikan dan pemerintah akhirnya memenuhinya.

Kasus ini mulai diusut setelah ada surat tak dikenal masuk ke kantor Bank Dunia pada Oktober 2002. Surat itu membeberkan fakta: beberapa pejabat Bappenas terlibat kecurangan dan korupsi dalam proyek yang dimulai 26 November 2001 dan berakhir 31 Agustus 2002 itu.

Agustus 2003, Bank Dunia pun melakukan investigasi dan melakukan pelacakan dokumen. Hasilnya, sebuah laporan setebal 200 halaman. Di situ disebutkan bahwa memang terjadi kecurangan dan korupsi dalam proyek yang didanai Bank Dunia itu.

Kendati dana hibah itu senilai Rp 5,1 miliar, tapi dana yang sudah dicairkan sebenarnya baru Rp 1,8 miliar. Dalam rancangan proyek itu disebutkan, sebesar Rp 1,07 miliar untuk jasa konsultan, Rp 320 juta untuk pelaksanaan lokakarya dan pelatihan, serta Rp 584 juta untuk pembelian serta penyewaan peralatan.

Nah, dari hasil pelacakan Bank Dunia ternyata penyelewengan itu terjadi dalam bentuk proyek fiktif dan manipulasi harga. Soal jasa konsultan, misalnya, honor yang diberikan ternyata tak sesuai. Di kuitansi ditulis Rp 9,5 juta, tapi yang diberikan cuma Rp 8 juta. Bank Dunia juga mengecek sampai ke pengeluaran untuk hotel. Dalam salah satu lokakarya di Bandung, tertulis pengeluaran di kuitansi Rp 18 juta. Setelah dicek, ternyata pihak hotel hanya menerima Rp 8 juta.

Bappenas tentu saja kelimpungan mendapat serangan dari Bank Dunia ini. Badan ini lantas meminta audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektur Utama Bappenas. Dalam laporan 26 Juni 2003, BPKP memberikan penilaian wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan proyek. Tapi, temuan inspektur utama sedikit beda, yakni terjadi inefisiensi Rp 58 juta. Kwik Kian Gie yang saat itu masih menjabat Kepala Bappenas tak sudi mengembalikan dana hibah tersebut. “Kalaupun dikembalikan, harusnya yang diduga dikorupsi itu saja,” kata Kwik.

Menurut Kwik, dugaan penyelewengan yang dibuat Bank Dunia itu tak disertai bukti cukup. Walau begitu, World Bank tak bergeming. Lembaga ini tetap menuntut semua dana hibah dikembalikan. Alasannya, soal ini sudah diatur dalam panduan pemberian hibah. “Memang ada dalam panduan, tapi penafsirannya suka-suka mereka,” kata Kwik kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Sikap keras Kwik tak melunakkan sikap Bank Dunia. Pada 26 Juli 2004, Pejabat Bank Dunia di Indonesia berkirim surat kepada Menteri Keuangan Boediono. Mereka minta seluruh dana tetap dikembalikan. Pemerintah akhirnya menyerah, mengembalikan dana itu.

Sekretaris Utama Bappenas, Syahrial Loethan, mengaku tak tahu pasti mengapa akhirnya pemerintah mengembalikan dana hibah itu. “Mungkin ada tekanan dari Bank Dunia,” kata Syahrial. Saat proyek dilaksanakan, Syahrial menjabat inspektur di Bappenas. Perwakilan Bank Dunia di Jakarta tak mau memberikan komentar untuk soal ini.

Syahrial menilai penilaian Bank Dunia tidak adil. “Hasil laporan itu berdasarkan sampel yang terbatas,” ujarnya. Menurut dia, perbedaan nilai dugaan korupsi itu karena terjadi perbedaan tafsir yang disebut korupsi. “Kami mengecek bukti laporan dengan barangnya,” kata dia. “Kalau barang ada, tentu tak bisa dibilang korupsi.” Karena itulah, Inspektorat Bappenas hanya menyebut ada inefisiensi yang nilainya Rp 58 juta. Syahrial juga mengaku sudah mengklarifikasi semua temuan dan dugaan kecurangan yang dilaporkan Bank Dunia ini kepada para pelaksana proyek. “Tak ada indikasi mereka memperkaya diri.”

Menurut Darmono, kasus ini membuat negara rugi Rp 1,8 miliar. Dugaan korupsinya macam-macam, dari soal lokakarya fiktif hingga kuitansi yang diduga direkayasa. Darmono tak mempermasalahkan perbedaan dugaan korupsi yang berbeda antara Bank Dunia, BPKP, dan Inspektur Bappenas. “Dalam kasus korupsi, jumlah tak begitu penting,” kata dia.

Walau sudah memeriksa Kwik, Darmono belum bisa memastikan apakah pengurus PDI Perjuangan ini bakal jadi tersangka. “Dari segi pertanggungjawaban masih jauh,” ujarnya. Dalam tindak pidana, kata dia, pertanggungjawabannya ada pada yang melakukan. “Ini murni yuridis, tak ada kepentingan politik,” kata Darmono.

Abdul Manan, Fanny Febriana

Bukti Korupsi Dua Versi
Nilai Hibah:US$ 573.025 (Rp 5,1 miliar).
Dicairkan:US$ 203,636 (Rp 1,8 miliar)
Masa Hibah:26 November 2001–31 Agustus 2002

Pengeluaran Pos Individual Konsultan Rp 594 Juta

* Bank Dunia (BD): Dari 20 konsultan, cuma tiga yang bisa ditemui dan bekerja di proyek. Honor lebih besar dan tak sesuai dengan kuitansi. Tertulis Rp 9,5 juta, diterima Rp 8 juta.
* Inspektur Bappenas (IB): Konsultan lain yang bekerja belum dihubungi oleh Bank Dunia.


Biaya Perjalanan Konsultan Rp 409 Juta

* BD: Perjalanan dinas konsultan tumpang-tindih dan direkayasa. Ada konsultan yang tiba di Jakarta pukul 09.30, tapi pada hari yang sama berangkat dari Jakarta pukul 08.30.
* IB: Perjalanan dinas dilaksanakan, tapi konsultan pulang tak sesuai dengan jadwal. Kerugian Rp 1 juta.


Lokakarya dan Pelatihan Rp 320 Juta

* BD: Pemenang tender tidak melaksanakan kegiatan. Hanya menerima fee yang besarnya 6–10 persen. Juga ditemukan bahwa di kuitansi tercatat Rp 18 juta, tapi hotel cuma menerima Rp 8 juta.
* IB: Nama rekanan dipakai untuk pencairan anggaran. Soal perbedaan biaya riil dengan kuitansi hotel karena ada biaya lain yang tak ada anggarannya, seperti honor panitia daerah. Inefisiensi Rp 32 juta.


Sewa Kendaraan Rp 55 Juta

* BD: Tidak dilaksanakan dengan benar alias fiktif.
* IB: Bank Dunia meminta konfirmasi penghuni rumah yang tak tahu mobilnya pernah disewakan.


Sewa Komputer dan Printer Rp 110 Juta

* BD: Fiktif. Rekanan hanya menerima fee yang besarnya 10 persen. Selebihnya uang kembali ke staf Bappenas.
* IB: Penyewaan dilakukan, tapi bukti pertanggungjawaban direkayasa. Inefisiensi Rp 11 juta.


Sewa Rumah Rp 158 Juta

* BD: Penyewaan rumah diragukan.
* IB: Rumah disewa, tapi dokumentasi pengadaan dan perjanjian direkayasa.


Sewa Furniture Rp 25 Juta

* BD: Tidak dilaksanakan dengan benar alias fiktif.
* IB: Furniturnya ada, tapi proses pertanggungjawabannya direkayasa. Inefisiensi Rp 2,5 juta.


Pembuatan Buku Panduan Rp 114 Juta

* BD: Tidak dilaksanakan dengan benar alias fiktif. Rekanan hanya menerima fee yang sebesar 10 persen. Selebihnya kembali ke staf Bappenas.
* IB: Buku benar dicetak, proses pengadaan dan bukti pertanggungjawabannya direkayasa. Inefisiensi Rp 11,4 juta.


Komunikasi dan Lain-lain Rp 108 Miliar

* BD: Fiktif. Sebagian bukti berupa fotokopi.
* IB: Bukti asli hilang saat pemeriksaan. Pengeluaran seperti konsumsi rapat tanpa kuitansi sehingga dibuat bukti administrasi yang direkayasa.


Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXIIIIIII/07 - 13 Mei 2007

Comments

Anonymous said…
Ohhh, ada sewa Komputer nya segala ya mas.

Makasih, baca2 nih, sambil numpang komen. Salam.

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236