Skip to main content

Terowongan Utara dan Kawat Berduri

Korea menawarkan tempat wisata di zona demiliterisasi. Ada pos pengamatan ke perbatasan dua negara sampai terowongan bikinan tentara Korea Utara.

DMZ-Panmunjeom. Kata-kata itu muncul dalam huruf kuning-putih dengan latar belakang merah. Sangat mencolok. Saya sendiri memperoleh infonya dari brosur yang dibi-kin Grace Travel itu di Pusat Informasi Turis di salah satu sudut Jalan Namdaemunno, Seoul, Korea Selatan. Ya, selain alam yang indah dan bangunan eksotik, Korea juga menjual daerah-daerah militernya sebagai tujuan pelesir, pariwisata.

DMZ atau Demilitarized Zone dibuat setelah perang Korea 1953. Membentang sepanjang 248 kilometer dari barat ke timur, lebar zona itu empat kilometer: dua kilometer di wilayah Korea Utara, dua kilometer di Korea Selatan. Zona istimewa—dibelah oleh garis demarkasi militer. Di sepanjang zona ini ada tiga tempat wisata yang ditawarkan: Terowongan Infiltrasi Ketiga, Dora Observatory, dan Panmunjeom.

Ketiganya berada di sisi barat zona demiliterisasi. Pintu masuknya melalui Paju, distrik bagian utara di Korea Selatan. Untuk mencapai Paju kita harus menempuh jarak 40 kilometer dari Seoul. Dari Paju, saya bersama sekitar 20 wartawan masuk ke zona demiliterisasi. Di sana, kami diperiksa di pos militer Tongil Border, lalu masuk sekitar empat kilometer ke area Terowongan Infiltrasi Ketiga. Banyak hal menarik, tapi sayang sekali kami dilarang memotret karena daerah ini masih menjadi basis militer.

Ada museum dan teater di areal terowongan itu. Untuk menandai bahwa ini adalah tempat wisata, sebuah toko suvenir dibuka. Kami mengawali tur dengan menonton film pendek tentang Perang Korea, 1950–1953, juga sejarah lahirnya zona demiliterisasi. Film berdurasi sekitar 10 menit itu dibuka dengan satu panorama sedih: seorang anak Korea menangis di sisi pagar kawat berduri di zona demiliterisasi.

Ya, berpisahnya dua Korea adalah kisah sejarah yang sedih: ada kecurigaan, juga kerinduan untuk rujuk, bersatu kembali. Sekarang kami berada di terowongan legendaris itu. Terowongan yang dibangun Korea Utara pada 1978 sepanjang 44 kilometer pada kedalaman 73 meter di bawah tanah. (Ingat, pada tahun itu Korea Utara telah membangun terowongan sepanjang 1.600 kilometer). Korea Utara beralasan pembangunan ini untuk mencari kekayaan tambang, tapi Korea Selatan tak percaya sebab ahli geologi tak menemukan tanda-tanda ada sumber alam tambang di daerah ini.

Terowongan itu tak begitu lebar, diameternya cuma 2 meter. Kami mencoba menjelajah dengan lori, sebuah lori panjang dengan beberapa tempat duduk; masing-masing hanya bisa diisi dua orang. Perjalanan cukup lama hingga akhirnya kami sampai pada bagian yang lebih lega. Kami turun dari lori, menyusuri terowongan dengan berjalan kaki.

Terowongan itu berakhir di garis demarkasi militer. Pada ujungnya kawat berduri menghadang. Pintunya juga digembok rapat dan bertulisan ”Area Terbatas”. Menurut Atena, pemandu wisata kami, Korea Utara membangun terowongan ini dengan cara meledakkan granat. Dinding-dinding terowongan itu memang berupa batu-batu granit yang tentu saja cuma bisa dirontokkan dengan bahan peledak.

Terowongan kami tinggalkan dan sekarang kami menuju ke Dora Observatory. Selintas saya membayangkan Dora The Explorer, film kartun yang ba-nyak digandrungi anak-anak Indonesia. Namun, Dora Observatory tak selucu imajinasi saya. Ia adalah pos pengamatan Korea Selatan ke Gaesong City, kota di Korea Utara yang terdekat ke perbatasan.

Setiap pengunjung akan diminta masuk untuk mendapatkan informasi singkat tentang pos pemantauan yang dibangun pada 1986 ini. Dari dalam gedung saya bisa melihat perbatasan dua Korea seperti layaknya halaman depan rumah, meski jauh. Dari sini, garis demarkasi militer sekitar satu kilometer jauhnya.

Dengan mata telanjang kita hanya bisa melihat hamparan luas daratan yang didominasi rumput dan ladang kering. Di baliknya ada perbukitan yang tinggi menjulang. Kalau ingin melihat lebih detail, pilihannya cuma satu: pakai teleskop. Dora Observatory sudah menyediakannya. Tinggal merogoh kocek 5.000 won yang setara dengan Rp 4.000 per lima menit. Perbatasan lebih jelas terlihat dari sini. Bila beruntung, kita bisa melihat anak-anak sekolah dasar yang mendapat pelatihan militer.

Sersan Kim, petugas militer yang memandu kami di sini, mengatakan, kadang-kadang ada juga tentara Korea Utara yang mendekati perbatasan. Dia menggunakan jalan umum layaknya warga sipil. Karena, kata Kim, sebagian daerah ini masih banyak menyisakan ranjau darat. Ia menunjuk sebuah lokasi nun jauh di sana, di sisi barat. ”Di areal sekitar satu hektare itu saja bisa ada 150 ranjau darat,” katanya.

Meski kita leluasa melihat dengan teleskop, tak berarti kita bebas memotret. Kami dilarang memotret perbatasan dari dalam gedung. Maka, kita pun bergegas ke luar. Itu pun tak boleh dari tepian pos pengamatan.

Masih di zona demiliterisasi, ada satu tempat di zona demiliterisasi yang layak dikunjungi: Panmunjeom. Nama resminya Area Keamanan Bersama Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Korea Utara. Areal seluas 800 meter ini persis memotong garis demarkasi militer. Ada House of Peace, Freedom House, dan Ruang Konferensi di sini. Dibangun setelah Perang Korea, Panmunjeom merupakan mar-kas dan juga tempat bertemu kedua pejabat militer untuk membahas soal keamanan perbatasan.

Karena berada persis di tengah zona demiliterisasi Korea Utara dan Selatan, masing-masing punya pos pengawasan yang letaknya berseberangan. Korea Utara punya pos keamanan di sisi utara, PBB di sisi selatan. Awalnya, aparat militer dua pihak bisa saling melintas. Kebijakan ini dicabut setelah Kapten Auther G. Bonifas dari Amerika Serikat tewas dikapak oleh tentara Korea Utara pada 18 Agustus 1976. Nama Camp Bonifas, markas komandan Keamanan Pasukan Bangsa-Bangsa di Panmunjeom, ditahbiskan sebagai penghargaan terhadap Auther G. Bonifas.

”DMZ adalah perbatasan yang dibentengi selama ini, dan itu hanya ditawarkan oleh Korea,” begitu bunyi iklan Grace Travel. Saya tersenyum membacanya. Ini juga mengingatkan saya pada tips bagi turis yang diberikan Kris Shin, salah satu pemandu wisata kami. Menurut dia, jangan lupa tiga hal kalau pergi ke Korea: nikmati makanan khasnya, banyaklah berfoto, dan jangan lupa belanja. Membaca iklan itu, mestinya Kris perlu menambahkan satu hal lagi: jangan lupa masuk ke terowongan bikinan Korea Utara itu.

Rubrik: Selingan
Majalah Tempo, Edisi. 08/XXXIIIIII/16 - 22 April 2007

Comments

Anonymous said…
walah, cerita kunjungan ke korea ya mas

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236