Skip to main content

Lenyapnya Pasal Peninggalan Ratu

SENYUM mengembang lebar di wajah Eggy Sudjana. Bekas Ketua Umum Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesia itu kemudian mengepalkan tangannya. Sejurus kemudian ia mendatangi rekannya, Pandapotan Lubis dan para penasihat hukumnya. Satu per satu disalaminya. Sejumlah pengunjung sidang bertepuk tangan gembira . ”Hidup hakim!” teriak salah seorang pengunjung.


Siang itu, palu majelis hakim Mahkamah Konstitusi baru saja memenangkan gugatan Eggy. Mahkamah beranggota sembilan orang hakim tersebut ”membekukan” pasal-pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal itu dinyatakan tak sesuai dengan konstitusi. ”Ini memang putusan sejarah,” ujar Eggy.

Pada Juli lalu, Eggy dan Lubis mengajukan uji materil terhadap Pasal 134, 136 bis, dan 137, pasal-pasal tentang penghinaan presiden, ke Mahkamah Konstitusi. Eggy dan Lubis ”menyeret” pasal-pasal itu ke Mahkamah lantaran keduanya didakwa melakukan penghinaan terhadap presiden. Dalam gugatannya, kedua orang itu menilai pasal-pasal yang dijeratkan ke diri mereka tak sesuai dengan semangat demokrasi. ”Awalnya, pasal-pasal peninggalan Belanda itu dipakai untuk melindungi Ratu,” ujar Eggy.

Hakim konstitusi, meski tak bersuara bulat, sepakat dengan Eggy. Dalam putusan setebal 76 halaman, majelis hakim menyatakan, pasal-pasal itu sudah tak sesuai dengan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Hakim konstitusi juga mengutip pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mardjono Reksodipuro, yang menyatakan delik khusus untuk melindungi presiden itu tak diperlukan lagi. Menurut dia, siapa pun yang merasa dihina bisa memakai Pasal 310 KUHP untuk melindungi nama baiknya. ”Dalam negara republik, kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden, seperti untuk raja dalam kerajaan,” ujar Mardjono.

Mahkamah juga menilai ”trio pasal” penghinaan presiden itu membuat ketidakpastian hukum. Alasannya, pasal-pasal itu bisa dengan mudah menjadikan kegiatan unjuk rasa, pernyataan pendapat, dan kritik sebagai bentuk penghinaan terhadap presiden. Pasal-pasal itu dianggap juga berpeluang menghambat kebebasan menyatakan pikiran serta ekspresi.

Dengan lenyapnya ”trio pasal” itu, maka aparat keamanan kini tak bisa menangkap siapa pun dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap presiden. Delik ini berubah menjadi delik aduan seperti yang diatur Pasal 310. Ancaman pelanggar Pasal 310 ini pun jauh lebih ringan ketimbang Pasal 134, 136 bis, dan 137. Pelanggar pasal penghinaan presiden bisa dihukum enam tahun penjara, sedangkan pelanggar Pasal 310 hanya diancam hukuman maksimal 1 tahun 4 bulan penjara.

Seorang hakim konstitusi yang tak mau namanya ditulis menyebutkan, perbedaan pendapat perlu-tidaknya pasal itu dihilangkan sudah terjadi sejak kasus ini dibahas, September lalu. ”Sampai putusan itu dibaca, mereka yang tak setuju pasal itu dihapuskan tak berubah,” ujar hakim itu. Suara yang setuju dan tak setuju pasal itu dilenyapkan memang tipis. Lima banding empat. Para hakim yang berkukuh pasal-pasal itu dipertahankan adalah I Dewa Gde Palguna, Soedarsono, H.A.S Natabaya, dan Achmad Roestandi. Keempatnya melakukan dissenting opinion, pernyataan perbedaan pendapat.

Dari Istana Negara, juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghormati putusan ini. ”Apa pun putusan Mahkamah Konstitusi, kami terima,” kata Andi. Saat ini, ujar Andi, pihaknya masih mengkaji instrumen apa yang tersedia jika terjadi kasus-kasus penghinaan terhadap presiden. Menurut Andi, lenyapnya pasal itu tak berarti orang kemudian dengan sesuka hati bisa mengkritik atau menghina presiden. ”Harus ada etika dan masyarakat ikut menilai,” ujarnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi itu kini segera dijabarkan pemerintah. ”Ke depan, pasal itu tak boleh digunakan lagi,” ujar Direktur Harmonisasi Departemen Hukum dan HAM, Wicipto. Tapi, untuk kasus-kasus yang sudah terjadi dan sedang disidangkan, ujarnya, putusan Mahkamah tak berpengaruh. Pemerintah, ujar Wicipto, juga segera mengoreksi pasal-pasal serupa dalam RUU KUHP baru yang kini sedang disiapkan.

Dalam catatan Tempo, masih ada tiga kasus menyangkut penghinaan presiden yang sekarang sedang bergulir di ruang sidang, yaitu kasus Eggy Sudjana, Pandapotan Lubis, dan kasus menyangkut Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman. Eggy diadili karena menyebut Presiden mendapat mobil Jaguar dari seorang pengusaha, sedangkan Lubis diadili karena memasang spanduk dan stiker yang dianggap menghina Presiden dan Wakil Presiden di bundaran Hotel Indonesia, 16 Mei silam.

Adapun Supratman diadili karena Rakyat Merdeka dalam edisi Januari-Februari 2003 memuat berita yang dianggap menghina Presiden Megawati. Kasus Eggy dan Lubis saat ini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan Supratman sudah naik ke tingkat banding. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memvonis Supratman dengan hukuman 6 bulan penjara.

Menurut Firman Wijaya, pengacara Eggy, para hakim yang kini tengah menangani kasus-kasus penghinaan presiden harus mempertimbangkan putusan ini. ”Mereka harus berani memutuskan dakwaan jaksa tidak dapat diterima karena pasalnya sudah dinyatakan tak berlaku,” kata Firman. Tapi, dari Mahkamah Agung, juru bicara lembaga tertinggi peradilan itu, Djoko Sarwoko, menyatakan lembaganya belum mengeluarkan sikap atas putusan Mahkamah Konstitusi. ”Kami sedang mempelajari putusannya,” kata Djoko.

Abdul Manan, Sandy Indra Pratama

BOKS
Yang Lenyap

SETELAH sekian lama memakan korban, pasal tentang penghinaan presiden dihapus dari KUHP. Inilah pasal-pasal itu.

Pasal 134
Penghinaan dengan sengaja terhadap presiden dan wakil presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.

Pasal 136 bis
Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam pasal 315, jika itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik di muka umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi di hadapan lebih dari empat orang atau di hadapan orang lain, yang hadir tidak dengan kemauannya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Pasal 137
1. Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina presiden atau wakil presiden dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.
2. Jika si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi dua tahun sesudah hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang serupa, maka ia dapat dipecat dari jabatannya.


Dan Mereka yang Menjadi Korban

Tahun 2002

Nanang dan Muzakkir (Aktivis Gerakan Pemuda Kerakyatan).

* Diadili karena berdemo menginjak-injak foto Megawati dan Hamzah Haz di depan Istana Negara pada 14 Juni 2002.
* Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengganjarnya satu tahun penjara.


Tahun 2003

Iqbal Siregar (Aktivis Gerakan Pemuda Islam)

* Diadili karena menghina Presiden Megawati Soekarnoputri pada 15 Januari 2003.
* P.N. Jakarta Pusat, 16 Juni 2003, menjatuhkan hukuman lima bulan penjara.


Tahun 2004

Bai Harkat Firdaus alias Jonday (Mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar).

* Diadili karena menghina Presiden dan Wakil Presiden saat berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak, Desember 2004.
* Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, 10 Juni 2005, memvonisnya enam bulan penjara.


Tahun 2006

Fakhrul Rahman alias Paunk (Aktivis mahasiswa Universitas Islam Syarif Hidayatullah).

* Diadili karena menghina Presiden saat berunjuk rasa pada 16 Juni 2006.
* Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 30 Oktober 2006, mengganjarnya hukuman 3 bulan 23 hari.

Majalah Tempo, Edisi. 42/XXXV/11 - 17 Desember 2006

Comments

Unknown said…
This comment has been removed by the author.

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236