Skip to main content

Sulitnya Memanggil Baju Hijau

BERPAYUNG hukum, tapi tak bergigi menghadapi tentara. Inilah nasib Komnas HAM yang berupaya memeriksa para anggota dan bekas anggota TNI yang diduga terlibat atau mengetahui kasus penculikan para aktivis. Dari 23 tentara yang dipanggil, hanya satu yang sudi memberi kesaksian.

Ini berbeda dengan saksi dari sipil dan polisi. Dari 61 warga sipil dipanggil, hanya tiga yang tak bersedia datang. Sedangkan dari 18 polisi yang dipanggil, semuanya datang, termasuk mantan Kepala Polri Jenderal (Purn.) Dibyo Widodo.

Komnas sudah menempuh berbagai cara untuk memanggil para anggota TNI itu. Surat panggilan pertama, misalnya, mereka kirim ke alamat anggota TNI itu lewat kurir khusus. Pemanggilan ini gagal. Ada yang alamatnya sudah pindah, ada penjaga rumah yang tak sudi menerima surat panggilan itu, dan ada pula aparat kelurahan yang tak mau dititipi.

Satu-satunya yang datang pada panggilan pertama adalah Letnan Jenderal (Purn.) Yusuf Kartanegara, bekas anggota Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa Prabowo Subianto dan Muchdi Pr. Tapi, Komnas tak bisa menggali keterangan banyak dari Yusuf. “Dia lebih banyak bilang lupa,” kata salah satu anggota tim ad hoc Komnas HAM.

Lantas panggilan kedua dibuat. Kali ini, yang alamatnya jelas tetap di kirim ke alamat rumahnya tersebut, sedang yang tak jelas tempat tinggalnya, surat panggilan itu dikirim ke instansinya. Ada pun yang tak pasti keberadaannya, surat panggilannya di pasang pada papan pengumuman Komnas HAM.

Panggilan kedua ini bernasib sama. Tak ada yang datang. Komnas lantas melayangkan surat kepada Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto untuk bertemu dan membahas sulitnya memanggil para tentara itu. Tapi, Lewat Badan Pembinaan Hukum TNI, Panglima menjawab: harus ada rekomendasi DPR terlebih dulu sebelum melakukan penyelidikan atas kasus itu.

Belum patah arang, pada awal Juli lalu Komnas meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil paksa satu perwira aktif dan lima anggota TNI yang dianggap bertanggung jawab dalam kasus ini, tapi pengadilan menolak permintaan Komnas. Alasannya, kewenangan paksa hanya dapat diterapkan pada penyelidikan dan pemeriksaan untuk tugas pemantauan.

Kenapa para anggota TNI itu membangkang? Kepada Tempo, Kepala Dinas Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI Kolonel Ahmad Yani Basuki, menegaskan tak ada pembangkangan dalam hal ini. TNI, katanya, hanya berpegang pada aturan yang ada. “Kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum Undang-Undang HAM memerlukan rekomendasi DPR. TNI mengikuti aturan itu,” katanya.

AM, Maria Hasugian

Majalah Tempo, Edisi. 39/XXXV/20 - 26 November 2006 

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236