Skip to main content

Kado untuk Hari Ibu

Undang-Undang Perdagangan Orang sedang dibahas di DPR. Definisi dan hukumannya lebih luas dan berat ketimbang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

***-
JIKA saja pembahasannya rampung bulan depan, undang-undang ini bisa disebut kado untuk kaum ibu. Dibahas sejak pertengahan Juli lalu, rancangan undang-undang (RUU) yang melarang perdagangan orang ini bak meluncur di jalan tol. Mulus, bebas hambatan, dan tak ada pertentangan antara pemerintah dan DPR. “Sikap anggota Dewan dan pemerintah sama, perdagangan manusia harus disetop,” ujar Ketua Panitia Khusus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Latifah Iskandar, kepada Tempo pekan lalu.

Meutia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, yang mewakili pemerintah, mengharap RUU ini secepatnya diselesaikan. Jika melihat pembahasannya di DPR, putri mantan wakil Presiden Mohammad Hatta ini optimistis, RUU tersebut selesai bulan depan, dalam suasana peringatan Hari Ibu, 22 Desember. ”Undang-undang ini telah lama ditunggu karena korbannya terus meningkat,” ujar Meutia.

Sebenarnya ini bukan RUU baru. RUU perdagangan manusia ini sudah dikirim Presiden Megawati ke DPR periode 1999-2004. Namun pembahasan di parlemen berhenti seiring dengan pergantian anggota Dewan. “Akhirnya, kami ajukan kembali sebagai hak inisiatif,” ujar Latifah.

Praktek perdagangan orang di Indonesia sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Berkali-kali aparat hukum membekuk pelakunya, toh praktek ini terus berjalan. Selama enam tahun terakhir, jumlah kasus perdagangan orang yang ditangani polisi dan masuk pengadilan naik-turun. Korbannya kebanyakan wanita dan anak-anak perempuan di bawah umur. Pada 1999, misalnya ada 173 kasus. Pada 2000 turun menjadi 24 kasus, tapi pada 2001 naik lagi 179 kasus. Adapun pada 2004 turun lagi, “hanya” 43 kasus. Rata-rata pelakunya diganjar hukuman maksimal empat tahun. Terhitung ringan jika melihat kejahatannya, misalnya memaksa anak menjadi pelacur.

Di mata Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan Bidang Perlindungan Anak, Sumarni Dawam Rahardjo, angka dari kepolisian ini tidak menunjukkan fakta sebenarnya. “Ini seperti fenomena gunung es, angka sesungguhnya lebih tinggi,” ujarnya. Sumarni punya metode untuk menghitung jumlah korban perdagangan orang. “Dengan melihat perbandingan permintaan tenaga kerja dan yang dikirim,” ujarnya. Jika yang dibutuhkan 100 orang tapi yang dikirim 1.500 orang, ujar Sumarni, kelebihannya itu potensial menjadi kasus perdagangan orang.

Organisasi dunia yang menangani masalah anak, United Nations Children's Fund (UNICEF), memiliki taksiran sendiri tentang jumlah kasus perdagangan orang di Indonesia. Menurut Kendartanti Subroto, juru bicara UNICEF Indonesia, rata-rata setiap tahun ada 100 ribu perempuan dan anak-anak Indonesia yang diperdagangkan. “Kebanyakan sebagai pekerja seks, baik di dalam maupun di luar negeri,” katanya. Salah satu akar dari masalah ini, menurut Kendartanti, karena faktor kemiskinan. “Lalu rendahnya tingkat pendidikan.”

Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum untuk mencegah kejahatan ini, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak, misalnya, mengancam siapa pun dipenjara hingga 15 tahun jika terbukti memperdagangkan anak atau orang yang berusia 18 tahun ke bawah.

Selama ini aparat kepolisian selalu mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP untuk membekuk para pelaku perdagangan orang. Tapi inilah soalnya: jerat hukum KUHP dipandang ketinggalan zaman untuk menangkap pelaku kejahatan ini. “Sudah tidak memadai lagi,” ujar anggota Panitia Khusus RUU Perdagangan Orang, Andreas Parera. Adapun UU Perlindungan Anak, “kelemahannya” karena hanya melindungi anak.

Andreas menunjuk bolong-bolongnya KUHP untuk menjerat pelaku kejahatan ini. Misalnya, pengertian perdagangan orang dalam KUHP sebatas untuk anak perempuan dan laki-laki di bawah umur. “Jadi, laki-laki dewasa tak dilindungi,” kata Andreas. Selain itu, kejahatan yang dimaksud hanya sebatas eksploitasi seksual. “Kemudian sanksi-sanksinya pun ringan,” ujarnya.

Dalam RUU yang tengah “dimasak” di DPR itu, definisi perdagangan orang diperluas. Kejahatannya tak sebatas eksploitasi seksual, juga eksploitasi lain, seperti cangkok anggota tubuh atau kerja paksa. “RUU ini menjawab kelemahan itu,” kata Andreas. Di luar itu, RUU yang terdiri dari 59 pasal ini mengamanatkan lembaga khusus yang menangani korban atau saksi. Lembaga ini akan berada di bawah Markas Besar Polri atau Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menangani masalah anak, M. Farid, menyebut pembahasan RUU ini sebagai langkah maju. Tapi ia memberikan beberapa kritik. Soal definisi, misalnya, ia menunjuk RUU ini tak membedakan anak-anak dan perempuan dalam kaitannya dengan unsur consent (persetujuan sadar). “Padahal, dalam perjanjian kerja unsur ini ada dalam perjanjian yang menyatakan kesediaan,” ujarnya.

Menurut Farid, untuk anak-anak, unsur consent itu harus tidak ada. “Persetujuan anak-anak harus dianggap tidak valid,” katanya. Dengan demikian, ujarnya, tetap akan dianggap sebagai kejahatan perdagangan orang, meski seorang anak memberikan persetujuan dirinya dipekerjakan. “Ini sesuai dengan protokol pencegahan, pemberantasan, dan penindakan perdagangan orang atau Protokol Palermo,” ujarnya. ***

Abdul Manan, Aqida Swamurti

----
BOKS:
Lebih Terperinci, Lebih Berat

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang mengatur kejahatan perdagangan orang. Tapi, dalam RUU Perdagangan Orang, definisi dan sanksi tindakan seperti ini lebih mendetail dan berat.

DEFINISI

KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa.
RUU: Proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi.

SANKSI

KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
RUU: Ancaman penjara minimal tiga tahun, maksimal seumur hidup. Denda minimal Rp 20 juta, maksimal Rp 5 miliar. Jika pelakunya korporasi, pidana dendanya jadi tiga kali lipat. Selain itu, izin usaha dicabut, harta kekayaan hasil kejahatan dirampas, pembatalan kontrak dengan pemerintah, pemecatan pengurus, dan pelarangan berusaha di bidang yang sama.

LEMBAGA PERLINDUNGAN

KUHP: Tidak ada
RUU: Saksi atau korban mendapat perlindungan atas keamanan pribadi, mendapat kerahasiaan identitas, hak mendapat penerjemah, dan hak mendapat penggantian biaya transportasi. Untuk melindungi saksi dan korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus di kantor
kepolisian.

Comments

Anonymous said…
Halo boz,
Msh ingat aku? Aku Jojo Rohi. Sahabat lama di Surabaya dulu. Gak sengaja aku temukan blog kamu pas cari2 topik soal hari ibu dng angle gerakan pemberdayaan perempuan.

ini alamat blog/web-ku: http://www.freewebs.com/jojorohi

Emailku: jojorohi@yahoo.com, atau engelbert.jr@gmail.com.

Keep in touch, ya.
Good luck!

Salam hormat,
JOJO ROHI
(KIPP Indonesia)
081.586.010.747

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236