Skip to main content

Jaksa-jaksa di Balik Penyidikan

Antonius Sujata masih ingat betul kondisi Soeharto, delapan tahun silam. Bekas penguasa Orde Baru itu diperiksa sebagai saksi selama empat jam oleh tim Kejaksaan Agung pada 9 Desember 1998. “Saat itu ia sehat, nada bicaranya lancar dan berwibawa. Kini kesehatannya sudah jauh menurun,” katanya pekan lalu.

Ketika itu Sujata menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Lelaki yang kini berusia 65 tahun ini ditugasi oleh Jaksa Agung Andi M. Ghalib menjadi Ketua Tim Penyelidik, Peneliti, dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto. Masuk dalam tim 13, ia berkonsentrasi menyelidiki berbagai yayasan yang dipimpin oleh bekas jenderal berbintang lima itu. Dari temuan yang didapat, Sujata menyimpulkan: cukup alasan untuk meneruskan kasus itu ke tahap penyidikan.

Dengan kata lain, Soeharto bisa segera dijadikan tersangka. Sujata menargetkan penyidikan bisa dilakukan mulai Januari sampai Mei. Penuntutannya bisa dimulai Juni. Menurut dia, penjadwalan semata-mata pertimbangan profesionalitas jaksa.

Hanya, rencana itu kandas setelah Jaksa Agung memutasi Sujata, delapan bulan kemudian. Dari Jaksa Agung Muda, dia dilempar menjadi staf ahli Jaksa Agung. “Itu bukan promosi, tapi demosi,” kata Sujata, yang kemudian memilih mundur. Sulit dipastikan mutasi itu berkaitan dengan kasus Soeharto. Tapi dia mengakui, saat itu ada keengganan kejaksaan mengusut kasus korupsi tersebut.

Penyidikan terhadap yayasan Soeharto akhirnya memang dilakukan. Tim yang menangani saat itu terdiri dari 13 jaksa. Mereka adalah Ramelan, M.A. Rachman, M. Yusuf Kartanegara, Bismar Mannu, Chairuman Harahap, Bagio Supardi, Sudhono Iswahyudi, Chairul Imam, Muzammi M. Hakim, Soewandi, Dalipang, Suriansjah, dan Ferry Silalahi. Tapi kasus ini dihentikan lagi pada masa pejabat sementara Jaksa Agung, Ismudjoko. Pada Oktober 1999, dia mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan minimnya bukti-bukti yang diperoleh.

Setelah Abdurrahman Wahid jadi presiden, situasi berubah. Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman, mencabut SP3 tersebut dan memulai lagi penyidikan. Ada delapan jaksa yang diberi tugas, yakni Chairul Imam, Suriansjah, Ferry Silalahi, Antasari Azhar, Fatuan Siahaan, M. Yamin, Purwanto, dan Ibnu Haryadi. Akhirnya Soeharto dinyatakan sebagai tersangka pada 31 Maret 2000.

Dua bulan kemudian, Soeharto mengajukan gugatan praperadilan atas pencabutan SP3. Menghadapi tim pengacara Soeharto yang dipimpin Juan Felik Tampubolon, Jaksa Agung menugasi jaksa Umbu Lage Lozara, Barman Zahir, Y. Mia Amiati, Y. Mere, dan Antasari Azhar. Gugatan ini akhirnya dimenangkan oleh jaksa.

Kasus Soeharto pun bergulir ke pengadilan. Tapi majelis hakim Pengadilan Jakarta Selatan, yang dipimpin Lalu Mariyun, menyatakan penuntutan terhadap Soeharto tidak bisa dilakukan karena tersangka mengalami gangguan otak permanen, pada 28 September 2000. Putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung, lima bulan berselang.

Walau dalam keadaan sakit parah, Soeharto sampai sekarang masih bisa bertahan hidup. Yang sudah meninggal justru sebagian jaksa yang dulu pernah memeriksanya. Umbu Lage Lozara tewas di sebuah hotel di Raha, Sulawesi Tenggara, tahun lalu. Setahun sebelumnya, Ferry Silalahi mati tertembak di Palu, Sulawesi Tengah. Kematian Umbu tidak jelas penyebabnya. Adapun kematian Ferry selama ini diduga berhubungan dengan kasus Poso yang ditanganinya.

Antonius Sujata mengaku tak mengalami intimidasi sama sekali saat menyelidiki kasus Soeharto. Bukankah pencopotannya sebagai Jaksa Agung Muda sebagai bentuk tekanan? “Nggak tahu juga, ya,” kata Sujata, yang menjadi Ketua Komisi Ombudsman, sambil tertawa.

Abdul Manan

Majalah Tempo, 29 Mei 2006

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236