Skip to main content

Pada Sebuah Layar 121

EMPAT layar monitor itu seperti teronggok saja di sisi kanan lobi gedung Mahkamah Agung. Kendati terpasang rapi di sebuah meja besar dan tampak mencolok mata, monitor berteknologi layar sentuh ini-biasa disebut layar 121-tetap saja tak ada yang menghiraukan. Padahal, komputer ini terbilang amat penting. Di dalam "perutnya" berjubel informasi penanganan perkara di MA.

Veronika Sianipar, misalnya, sama sekali tidak tahu jika di MA ada fasilitas canggih semacam ini. Proyek yang diberi nama cukup elok, Simari (akronim dari Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia), ini telah diluncurkan sejak 2001. "Saya baru tahu ini dari Anda," ujar Veronika kepada Tempo. Wanita 54 tahun ini mengaku memiliki kasus yang kini sedang ditangani MA.

Bukan hanya Veronika yang "buta" tentang adanya fasilitas ini. Banyak orang yang beperkara di MA juga tidak tahu fungsi Simari. Banyak tamu yang lebih suka duduk bergerombol di sofa lobi dan menunggu seorang pegawai MA memberi informasi soal perkembangan penanganan perkaranya. Mungkin juga karena layar sistem informasi terpadu yang ada itu kerap ngadat dan sulit diakses.

Perihal sulitnya sistem ini diakses, menurut Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan, Gunanto Suryono, bisa jadi disengaja orang-orang tertentu. Gunanto mencurigai ada pihak-pihak yang tak suka jika program ini berjalan mulus. "Karena itu diutak-atik sehingga rusak terus," katanya. Situasi semacam inilah yang dapat menyuburkan para calo perkara bergentayangan di MA.

Menurut Gunanto, jika sistem ini berfungsi maksimal, semua orang yang beperkara di MA dapat mengakses langsung proses penanganan perkaranya tanpa perantaraan siapa pun. "Teknologi ini upaya kita untuk memotong mata rantai percaloan itu," ujarnya.

Selain ngadat, isi Simari juga kadang-kadang ngaco. Misalnya, ada sebuah kasus perkara yang sudah ditolak, tapi di layar malah tertera "dikabulkan", atau sebaliknya, sudah diputus, tapi di layar dinyatakan "masih dalam proses penyelesaian berkas".

Seorang pegawai MA menunjukkan kepada Tempo perihal kacaunya isi komputer canggih ini. Sang pegawai itu mengetik sebuah perkara bernomor 400k/PTUN/1999. Begitu layar monitor menampilkan data, pegawai tersebut langsung tertawa mencibir. "Tuh, lihat. Di sini dikatakan belum diputus, padahal setahun perkara itu sudah diputus," katanya sembari telunjuknya menuding-nuding layar monitor.

Dalam catatan Gunanto, hingga kini lebih dari 2.000 perkara yang ditampilkan di layar monitor MA berindikasi palsu atau menyesatkan. "Saya curiga, jangan-jangan memang ada yang mainin ini supaya nggak bener," ujarnya.

Menurut Gunanto, layar 121 hanyalah salah satu bagian dari rencana besar MA untuk memberi layanan ke publik sekaligus melenyapkan calo perkara. Rencana besarnya: kelak akan ada jaringan online yang menghubungkan MA dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di seluruh Indonesia.

Jaringan online ini juga akan dilengkapi semacam perpustakaan virtual untuk memudahkan masyarakat memahami seluk-beluk hukum. Namun, hingga kini baru Pengadilan Negeri Medan dan Bali yang memiliki fasilitas online. Itu pun belum tersambung ke MA.

Layar 121 sebenarnya telah digagas sejak 1996. Pencetusnya Ketua MA Sarwata lewat sebuah nota kesepahaman dengan Dirjen Perhubungan yang langsung memberi akses nomor 121. Layanan informasi ke publik ini kemudian dikembangkan lewat proyek Simari pada 2001.

Selain menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja negara APBN, proyek ini juga mendapat dukungan duit negara donor. "Sudah gonta-ganti pimpro dan penanggung jawab pengelola, proyek ini tetap rusak," kata Gunanto.

Seperti di induknya, layanan online di Pengadilan Negeri Denpasar keadaannya juga tidak jauh berbeda. Publik sulit menemukan data terbaru dari sebuah perkara lewat fasilitas itu. Informasi tentang vonis, misalnya, paling baru sampai April 2005. "Soalnya, tidak ada yang bertanggung jawab secara khusus untuk mengelola data informasi yang disampaikan itu," kata R.R. Astuti Soegarso, Wakil Sekretaris PN Denpasar, mengajukan alasan.

Di kalangan pengacara yang berpraktek di PN Denpasar, layanan informasi ini ternyata juga tidak populer. "Lebih baik menggunakan media lain seperti buletin atau informasi yang dipasang di dinding PN-lebih akurat dan kredibel," ujar Agus Samijaya, salah seorang pengacara di Denpasar. Soalnya, informasi versi online kerap kedaluwarsa.***

Cahyo Junaedy, Abdul Manan, dan Rofiqi hasan

TEMPO Edisi 051106-036/Hal. 103 Rubrik Hukum

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236