Skip to main content

Tahun Depan, Sidang Lagi

PDI Perjuangan mengalah, tahun 2004 tetap ada Sidang Umum MPR untuk mendengarkan laporan presiden.

HARI beranjak siang saat enam anggota Komisi B dan Komisi C MPR dari Fraksi PDI Perjuangan datang ke Jalan Teuku Umar 27, Jakarta, Rabu pekan lalu. Kader banteng itu ingin mendengar pendapat Presiden yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, tentang perlunya Sidang Umum MPR 2004 yang akan meminta pertanggungjawabannya.

"Mau disuruh membuat laporan pertanggungjawaban, pertanggungjawabannya dinilai, mau ditanggapi, terserah. Enggak ada masalah," kata Megawati seperti ditirukan Agus Condro, yang saat itu ikut konsultasi. Titah inilah yang mengakhiri sikap ngotot PDI Perjuangan sehingga tak ada voting dalam pengambilan keputusan pada Sidang Tahunan MPR 2003.

Selain soal rehabilitasi nama baik Sukarno, agenda Sidang Umum MPR 2004 ini jadi perdebatan alot. Sedari awal PDI Perjuangan menilai MPR tak perlu menggelar sidang tahun depan, apalagi sampai minta laporan pertanggungjawaban presiden. Sebab, kata Agus Condro, UUD 1945 hasil amandemen tak lagi memberi wewenang MPR untuk itu.

Pada hari ketiga sidang di Komisi Tata Tertib yang membahas soal ini, Fraksi PDIP berjuang sendirian. Sepuluh fraksi lainnya, masing-masing Fraksi Utusan Golongan, Utusan Daerah, Partai Golkar, PPP, Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia, Kebangkitan Bangsa, Reformasi, Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah, dan Fraksi TNI/Polri, berada di seberangnya.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Akil Mochtar, menilai permintaan fraksi-fraksi yang sejalan dengannya sesuai dengan amanat UUD 1945 pada aturan peralihan. Dalam aturan itu disebutkan, kata Akil, sebelum lembaga baru terbentuk, lembaga lama masih tetap berfungsi. Selain itu, dalam Ketetapan Nomor III/MPR/2001 tentang pengangkatan Wakil Presiden Megawati
menjadi presiden, dikatakan presiden wajib memberikan laporan tentang pelaksanaan GBHN kepada Majelis.

Pandangan kedua kubu tak bisa dipertemukan, sekalipun ditempuh usaha lobi-lobi. Lobi dan beberapa kali rapat komisi tak membuahkan kesepakatan, kecuali draf keputusan MPR tentang tata tertib dan Pasal 103 Ayat 1 yang berisi persetujuan adanya sidang MPR yang diselenggarakan September 2004. Sedangkan Pasal 103 Ayat 2, belum diperoleh kata sepakat tentang perlunya presiden menyampaikan pertanggungjawaban. Akhirnya, pada hari kelima, muncul tiga opsi.

Pertama, sidang MPR 2004 perlu mendengarkan pidato presiden tentang pelaksanaan GBHN 1999-2004 dan putusan Majelis lainnya. Kedua, mengenai pidato presiden tentang laporan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN dan putusan Majelis lainnya, penilaiannya dilakukan tiap-tiap fraksi dan tidak menjadi putusan Majelis. Ketiga, untuk pidato presiden tentang laporan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN dan putusan Majelis lainnya, penilaiannya dilakukan tiap-tiap fraksi.

Fraksi PDI Perjuangan satu-satunya yang mendukung alternatif pertama. Fraksi Partai Golkar, Fraksi TNI/Polri, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Fraksi Utusan Golongan memilih opsi kedua. Alternatif ketiga diusung Fraksi Reformasi, Kebangkitan Bangsa, Persatuan Pembangunan, Bulan Bintang, Utusan Daerah, dan Fraksi Daulatul Ummah.

Konstelasi semacam itu tak membuat PDI Perjuangan goyah. PDIP bertekad maju terus karena ide itu dinilainya tak sesuai dengan semangat UUD 1945 hasil amendemen. "Karenanya, kami akan minta voting. Enggak apa-apa, meski kami kalah, kan nanti rakyat tahu siapa yang bermain-main dengan kekuasaan," kata Agus. Rencananya, soal ini akan dibawa ke sidang paripurna MPR untuk diambil kata akhir.

Namun, pertemuan konsultasi satu jam antara Megawati dan enam kadernya itu membuat sidang paripurna MPR terhindar dari adanya voting. Redaksional Pasal 103 Ayat 2 akhirnya disepakati berbunyi "Pidato presiden tentang laporan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN tahun 1999-2004 dan putusan majelis lainnya yang ditanggapi oleh masing-masing fraksi". Pandangan akhir fraksi pada 7 Agustus itu langsung ditutup dengan menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung dan Padamu Negeri.

Menurut pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jimly Assidiqi, masalah ini jadi pelik karena masuknya kepentingan politik. Ada kekhawatiran, kata Jimly, "Ini menjadi bola liar yang bisa menjadi pintu untuk dilakukannya penilaian-penilaian yang bisa merugikan kewibawaan politik presiden."

Fraksi Partai Golkar menampik bahwa desakan ini untuk menjatuhkan citra politik Megawati, yang juga calon presiden pada pemilu tahun depan. PDI Perjuangan juga menepis tudingan bahwa sikapnya itu untuk melindunginya dari goyangan lawan-lawan politiknya.

Jimly sendiri menilai sidang MPR tahun depan diperlukan. Selain sebagai sidang perpisahan dan selamat datang dari sistem lama ke sistem baru, forum itu juga untuk mendengarkan hasil kerja Komisi Konstitusi. Lembaga ini, berdasarkan hasil Sidang Tahunan MPR 2003 ini, mendapat mandat untuk mengkaji hasil empat kali amendemen UUD 1945.

Abdul Manan, Wuragil (Tempo News Room)

TEMPO Edisi 030817-024/Hal. 40 Rubrik Nasional

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236