Skip to main content

Kompetisi Setelah Cetak Jarak Jauh

Kompas menyerbu Jawa Tengah lebih pagi dengan cetak jarak jauh. Jawa Pos terpukul pasarnya, tapi Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan Bernas tak terganggu.

TIBA-TIBA, awal September lalu, harian Kompas melancarkan promosi besar-besaran di Jawa Tengah. Spanduk-spanduk bertebaran di Semarang hingga ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Ada apa gerangan?

Menyusul Republika yang lebih dulu menggunakan cetak jarak jauh (CJJ) di Solo, Kompas memulai CJJ di Jawa Tengah awal September lalu. Percetakan koran terbesar tirasnya itu didirikan di Bawen, kota kecamatan di Kabupaten Semarang yang letaknya tepat di simpang Semarang, Solo,Yogyakarta. Ini artinya, Kompas bisa dibaca pembaca di kota-kota Jawa Tengah paling lambat pukul lima pagi.

Tak ayal, sejumlah koran daerah terguncang juga. Pasar Jawa Pos di Solo, misalnya, terpukul setelah eceran Kompas bisa dijajakan para pengecer di jalan-jalan Kota Bengawan itu pagi-pagi sekali. Jawa Pos yang dikirim dari Surabaya baru bisa dibaca di Solo pukul delapan pagi. Jelas di pasar eceran, Jawa Pos sulit laku, karena pada jam itu jalan-jalan sudah sepi dan orang-orang keburu membeli koran yang beredarnya lebih pagi.

Menurut data yang dikumpulkan D&R dari seluruh agen dan perwakilan surat kabar di Solo, selama hampir sebulan ini, tiras Jawa Pos turun hingga 1.500 eksemplar. Di Solo, Jawa Pos bisa dipasarkan sebanyak 15 ribu eksemplar. Kompas mengalami kenaikan dengan mencuri pembaca Jawa Pos. Pertengahan September lalu, oplah Kompas di Solo sudah mencapai sembilan ribu eksemplar.

Haryanto, pemilik agen surat kabar Maju Mapan, Solo, menuturkan permintaan terhadap Kompas belakangan memang naik. "Di agency saya, oplah Kompas naik dari 1.200 eksemplar menjadi 1.800 eksemplar, Jawa Pos turun, dan Suara Merdeka tetap," katanya.

Namun, menurut Haryanto, angka-angka ini masih bisa berubah. Mengapa Jawa Pos anjlok, kata Haryanto, karena datangnya belakangan. Bagi para agen, koran yang datang pagi-pagi lebih meringankan kerja para loper dan pengecernya. "Bisa sekali angkut," kata Haryanto.

Peter Permadi, Kepala Pemasaran Jawa Pos Biro Solo, mengakui pasarnya dicuri Kompas. "Tiras kami turun sampai 10 persen," katanya. Penyebabnya, kata Peter, karena datangnya kalah cepat. Belum lagi, konsumen Jawa Pos di Solo 60 persen adalah pembeli eceran. "Pembeli eceran sangat rentan karena sifatnya cepat berubah," ujar Peter.

Jawa Pos Biro Solo memang sudah siap-siap. Dengan bekal 40 persen pelanggannya yang belum beranjak pergi, mereka optimistis bisa mempertahankan pasar Jawa Pos di Solo. "Lagi pula, kenaikan Kompas terjadi karena tengah melakukan promosi untuk konsumen dan pengecer," ujar Peter.

Meski kehilangan 10 persen pasar ecerannya di Solo, Dahlan Iskan, Pemimpin Umum Jawa Pos, mengatakan pasar koran itu di Jawa Tengah belum terpengaruh. Sebab, kata Dahlan, Jawa Pos memang sejak dulu tak bisa menandingi Kompas di Jawa Tengah, bahkan sebelum Kompas menerapkan CJJ. Tiras Jawa Pos di JawaTengah selama ini mencapai 40 ribu eksemplar. "Oplah itu tidak cukup besar karena Jawa Tengah memang pangsa pasar yang mininal," katanya.

Anehnya, Suara Merdeka, harian yang terbit di Semarang ini, tak terpengaruh sama sekali dengan serbuan koran Ibu Kota ini. Di Solo, oplah Suara Merdeka tetap 16 ribu eksemplar. Di wilayah bekas Karesidenan Surakarta tetap beredar 35-40 ribu eksemplar per hari, sama sekali tidak turun.

"Mungkin koran daerah masih dianggap sebagai santapan pokok karena memuat berita-berita daerah. Istilah orang Solo, sudah telanjur gathuk," kata Ny Ibnu Shaleh, pemilik agen koran TB Matahari di Solo yang sudah mengageni surat kabar sejak tahun 1963.

Akan tetapi, menurut Bambang Chadar, Kepala Pemasaran Suara Merdeka di Solo, koran milik keluarga Budi Santoso itu tidak terguncang pasarnya karena adanya perbedaan segmentasi. "Kompas hanya menjangkau kalangan menengah ke atas, koran kami sampai ke lapisan bawah. Selain itu, kami menjangkau seluruh pelosok Jawa Tengah, sedangkan Kompas tidak," katanya menambahkan.

Suara Merdeka memang tak perlu cemas karena 70 persen konsumennya adalah pelanggan yang secara tradisional telah terbentuk seleranya. Begitu pula Bernas dan Kedaulatan Rakyat, dua koran terbitan Yogyakarta, pasarnya juga tidak ikut terusik. Yang ketiban sial justru Republika. Koran milik Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu, yang memulai CJJ pertama kali di JawaTengah, malah mandek oplahnya. Oplahnya selalu naik-turun, tapi tak lebih dari empat ribu eksemplar."Sebelum Republika mengoperasikan CJJ, saya hanya bisa memasarkan 250 eksemplar. Sesudah CCJ, naik menjadi 700 eksemplar. Tapi kini, setelah Kompas juga memakai CJJ, turun menjadi 400 eksemplar," kata Haryanto, pemilik salah satu agen besar di Solo.

Koran lainnya yang ikut terpukul adalah Surya, harian yang terbit di Surabaya. Koran yang bernaung di bawah Grup Kompas itu, yang selama ini tak mempu menandingi Jawa Pos dalam hal jumlah edar di Jawa Tengah itu, tampaknya tak akan bertambah tirasnya di Jawa Tengah.

Namun, para agen yakin jika Jawa Pos jadi mengoperasikan CJJ di Kartosuro, Oktober nanti, situasi pasar surat kabar di Jawa Tengah akan kembali seperti biasanya. Yang diuntungkan tentu saja pembaca karena bisa memperoleh informasi sepagi mungkin.

Irawan Saptono/Laporan Dwi Arjanto (Solo) dan Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 971004-007/Hal. 69 Rubrik Media

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236